KIDUNG PENJAGA DI WAKTU MALAM
1. Ana kidung rumeksa ing wengi
teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
miwah panggawe ala
gunane wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah mring mami
guna duduk pan sirna.
Ada kidung yang menjaga di waktu
malam
malam
kukuh selamat terbebas dari berbagai
penyakit
penyakit
terbebas dari semua malapetaka
jin setan kejahatan pun tidak berkenan
guna-guna pun tidak ada yang berani
juga perbuatan jahat
ilmu-ilmunya orang yang bersalah
api dan juga air
pencuri pun jauh tidak ada yang mengarah kepadaku
2. Sakabehing lara pan samya bali
sakeh ngama pan sami miruda
welas asih pandulune
sakehing braja luput
kadi kapuk tibaning wesi
sakehing wisa tawa
sato galak tutut
kayu aeng lemah sangar
songing landak guwaning wong lemah miring
myang pokiponing merak.
Segala penyakit pun bersama-sama kembali ke asal
berbagai hama pun terpaksa terkikis habis
dengan kasih sayang dipandang
terhindar dari semua senjata
seperti kapuk jatuhnya besi
semua bisa menjadi hambar
binatang buas pun menjadi jinak
kayu ajaib dan tanah keramat bahaya
relung landak guanya orang tanah miring
dan rumah tinggalnya merak.
3. Pagupakaning warak sakalir
nadyan arca myang segara asat
temahan rahayu kabeh
apan sarira ayu
ingideran sang widadari
rineksa malaekat
sakatahing rasul
pan dadi sarira tunggal
ati Adam utekku bagendha Esis
pangucapku ya Musa.
Kandangnya segenap badak
walau batu-batu dan lautan kering
pada akhirnya semua selamat sejahtera
sebab berbadan jelita keselamatan
dikelelilingi penuh bidadari
dijaga oleh para malaikat
juga segenap rasul
menyatu menjadi berbadan tunggal
hati Adam, otakku Baginda Sis
pengucapku ialah Musa.
4. Napasku nabi Ngisa linuwih
nabi Yakub pamiyarsaningwang
Yusup ing rupaku mangke
nabi Dawut swaraku
jeng Suleman kasekten mami
nabi Ibrahim nyawaku
Edris ing rambutku
bagendha Li kulitingwang
getih daging Abu Bakar Ngumar singgih
balung bagendha Ngusman.
Napasku mengalir Nabi Isa yang amat mulia
Nabi Yakub menjadi pendengaranku
Nabi Yusuf wajahku kini
Nabi Daud menjadi suaraku
Tuan Sulaiman menjadi kesaktianku
Nabi Ibrahim menjadi nyawaku
Nasbi Idris dalam rambutku
Baginda Ali menjadi kulitku
Darah dagingku Abu Bakar dan Umar
Tulangku baginda Usman.
5. Sungsumingsun Patimah linuwih
Siti Aminah bayuning angga
Ayub ing ususku mangke
nabi Nuh ing jejantung
nabi Yunus ing otot mami
netraku ya Muhammad
pamuluku rasul
pinayungan Adam sarak
sampun pepak sakathahing para nabi
dadya sarira tunggal.
Sumsumku Fatimah yang amat mulia
Siti Aminah menjadi kekuatan badanku
Nabi Ayub kini ada dalam ususku
Nabi Nuh di dalam jantungku
Nabi Yunus di dalam ototku
penglihatanku ialah Nabi Muhammad
wajahku rasul
terlindungi oleh hukum Adam
sudah mencakupi seluruh para nabi
berkumpul menjadi badan yang tunggal.
6. Wiji sawiji mulane dadi
apan pencar saisining jagat
kasamadan dening date
kang maca kang angrungu
kang anurat kang anyimpeni
dadi ayuning badan
kinarya sesembur
yen winacakna ing toya
kinarya dus rara tuwa gelis laki
wong edan nuli waras.
Terjadinya berasal dari biji yang satu
sebab-musabab kemudian berpencar ke seluruh dunia
terimbas oleh dzat-Nya
yang membaca dan yang mendengarkan
yang menyalin dan yang menyimpan
menjadi selamat sejahtera badannya
sebagai sarana mengusir
jikalau dibacakan di dalam air
sarana mandi perawan tua cepat mendapat jodoh
orang gila pun cepat sembuh.
7. Lamun ana wong kadhendha kaki
wong kabanda wong kabotan utang
yogya wacanen den age
nalika tengah dalu
ping sewelas wacanen singgih
luwar saking kabanda
kang kadhendha wurung
aglis nuli sinauran
mring hyang Suksma kang utang puniku singgih
kang agring nuli waras.
Apabila ada orang yang didenda, wahai cucuku
orang yang dihimpit keberatan hutang-piutang
seyogyanya engkau membaca dengan segera
pada waktu tengah malam hari
bacalah dengan sungguh-sungguh sebelas kali
terbebas dari jeratan
yang didenda pun urung
lekas kemudian terbayarkan
yang berhutang itu sungguh oleh Tuhan
yang sakit pun segera mendapat kesembuhan.
8. Lumun arsa tulus nandur pari
puwasa sawengi sadina
iderana galengane
wacanen kidung iku
sakeh ngama sami abali
yen sira lunga perang
wateken ing sekul
antuka tigang pulukan
musuhira rep sirep tan ana wani
rahayu ing payudan.
Jikalau akan lancar menanam padi
berpuasalah sehari semalaman
kelilingilah pematangnya
bacalah kidung ini
semua hama bersama-sama kembali ke asal
apabila engkau pergi berperang
bacakanlah ke dalam nasi
dapatkan tiga suapan
musuhmu tersihir tidak ada yang berani
selamat engkau di medan perang.
9. Sing sapa reke bisa nglakoni
amutiya lawan anawaa
patang puluh dina bae
lan tangi wektu subuh
lan den sabar syukur ing ati
insya Allah tinekan
sakarsanireku
tumrap sanak rakyatira
saking sawabing ngelmu pangiket mami
duk aneng Kalidjaga.
Siapa pun yang dapat melaksanakan
berpuasa mutih hanya (minum) air dan (makan) nasi
empat puluh hari saja
dan bangun pada waktu subuh
lalu berlaku sabar serta bersyukur di dalam hati
insya Allah dapat tercapai
atas izin kehendak Allah
bagi semua sanak-saudaramu
oleh daya kekuatan ilmu pengikatku
pada waktu berada di Kalijaga.
Tembang “Kidung Rumeksa Ing Wengi” di atas dikutip dari Serat Kidungan Warna-warni yang diterbitkan di Surakarta, oleh penerbit Boedi Oetomo, pada tahun 1919.
Menurut tradisi tutur, tembang dhandhanggula diciptakan oleh
Kanjeng Sunan Kalijaga (Saputra, 1992:21), seorang wali utama di tanah
Jawa pada abad 15–16 Masehi. Salah satu ciptaan tembang macapat metrum dhandhanggula karya
Sunan Kalijaga yang terkenal adalah “Kidung Rumeksa Ing Wengi” (lihat
Santosa, 1992 dan 2001). Namun, ada juga yang menyatakan bahwa nama
tembang dhandhanggula diambil dari nama raja Kediri pada abad ke-12, yaitu Prabu Dhandhanggendis (Laginem, et al., 1996: 18). Apabila ditelusuri dari jarwa dhosok-nya, kata dhandhanggula berasal dari kata dhandhang + gula. Kata dhandhang dapat memiliki arti, yaitu ‘burung gagak’ dan ‘terang sekali’ atau ‘jelas benar’ (Sudaryanto et al., 2001:217). Mardiwarsito et al. (1985:73) menambahkan satu arti lagi, yaitu ‘kapak’. Sementara kata gula, yang berarti juga ‘gula’, berkonotasi pada rasa manis atau hal-hal yang manis. Atas dasar pengertian di atas kata dhandhanggula dapat diartikan ‘kapak untuk menebang hal-hal yang gelap atau buruk agar menjadi terang dan terlihat manis’.
Jadi, sifat tembang dhandhanggula ini adalah manis, lembut, kasih,
menyenangkan, dan penuh harapan untuk memperoleh kemuliaan hidup. Fungsi
dan makna tembang dhandhanggula yang ditempatkan pada bagian
pertama dalam “Serat Warisan Langgeng” karya R. Soenarto Mertowardojo,
misalnya, ditulis dengan maksud dan tujuan untuk memberi ajaran,
nasihat, piwulang, wejangan, ataupun petuah--kepada
anak-anak dan cucu-cucunya yang percaya–yang bersifat manis, kasih,
lembut, menyenangkan, dan memberi harapan guna mencapai kasunyatan hidup semulia-mulianya di dunia hingga akhirat. Secara semiotis bentuk dhandhanggula
pada bagain awal “Serat Warisan Langggeng” ini juga memberi pemahaman
makna tentang watak budi luhur, yaitu watak keutamaan yang penuh kasih,
manis, lembut, menyenangkan, dan memberi harapan baik sebagai gambaran
manusia yang telah mencapai pamudharan atau kasunyatan-jati.
“Kidung Rumeksa Ing Wengi” di atas sudah terkenal di seluruh
wilayah nusantara, khususnya Jawa, bertahun-tahun yang lalu. Kidung
tersebut sering dinyanyikan atau didendangkan oleh saudara-saudara kita
di wilayah pedesaan pada waktu malam hari, terutama ketika ronda malam.
Sementara itu, diperkotaan juga sering dikidungkan oleh
perkumpulan-perkumpulan macapat, baik dalam acara pentas di panggung,
siaran di radio, maupun di televisi. Dalam pementasan kesenian Jawa,
seperti ketoprak, wayang kulit atau wayang orang, dan ludruk, “Kidung
Rumeksa Ing Wengi” juga sering didendangkan oleh si peronda, pelawak,
dan punakawan sebagai kawan menjaga ketentraman pada waktu malam hari.
Kidung karya Sunan Kalidjaga yang bersifat sufistik tersebut begitu
terkenalnya di seluruh nusantara karena berisi mantra penolak bala,
pembebas dari bencana, dan pelebur segala malapetaka, serta menjauhkan
dari segenap musibah. Pantaslah kiranya kalau kidung tersebut
direkomendasikan untuk dijadikan alternatif mengatasi kedahsyatan
kekuasaan zaman edan. Apabila kidung tersebut dicermati, lima bait
pertama berisi mantra penolak bala, dan bait keenam hingga kesembilan
merupakan petunjuk dan khasiat bagi orang yang menyanyikan,
mendengarkan, mengamalkan, menyalin, dan menyimpan kidung tersebut.
Sebagai suatu ikhtiar atau usaha yang tidak pernah mengenal putus asa,
kenapa tidak sebaiknya kita coba amalkan dalam menghadapi kekuasaan
zaman edan seperti sekarang ini.
No comments:
Post a Comment