Masjidil haram yang luas
di manakah tempatnya
di hatiku sempit
sementara di pelataranmu melepak
aku mabuk dalam kasih berka’bah
maka aku sembunyikan harapanku
pada lawang hajarul aswad
tapi menaramu yang jangkung
menghempaskan semua pintaku
terinjak oleh kaki-kaki penziarah
sebelum tersangkut di multazam
dengan mulut hitam terkunci
aku mundur bagai abrahah
tapi seratus pintumu terkunci
babussalam merapatkan tangannya
di tangga ma’la
izrail menghentakkan tongkat
sia-sia kugapai zamzam
karena sumur purba itu
lebih dulu tenggelamkan hasratku
ke dasarnya yang dalam
tak dengkat
aku pun tersedot lewat kran
masuk kerongkongan orang miskin
yang memuntahkannya sebagai dahak
tapi matahari mengangkatku
ke tapak ibrahim
cuma tak kulihat jejaknya
yang hilang bersama thawaf
bahkan di hijir ismail
aku dilapah kain lap askar
yang membuangnya
ke tong-tong sampah
muhammad muhammad ke mana engkau
tetapi hajar menghampiriku
dan menyuapi doa-doa ke mulutku
yang dikikisnya
dari kaki-kaki keledai berkurap
”kau bukan siapa-siapa
nyahlah!” kata pasir
~Taufik Ikram Jamil~
OASE
Republika Online, edisi : 18 Jul 1999
image by aryakuro http://aryakuro.wordpress.com/