Messina-Gibraltar
Rindu pun karena ujung dua benua Mengeras di julang perbatuan karang
Dendam pun karena biru teluk Lisboa Di dada mengenang serasa berlinang.
1958
____________________
Taman Di Tengah Pulau Karang
Di tengah Manhattan menjelang musim gugur Dalam kepungan rimba baja, pucuknya dalam awan Engkau terlalu bersendiri dengan danau kecilmu Dan pelahan melepas hijau daunan
Bebangku panjang dan hitam, lusuh dan retak Seorang lelaki tua duduk menyebar Remah roti. Sementera itu bekelepak Burung-burung merpati
Di lingir Manhattan bergelegar pengorek karang Merpati pun kaget beterbangan Suara mekanik dan racun rimba baja Menjajarkan pohon-pohon duka
Musim panas terengah melepas napas Pepohonan meratapinya dengan geletar ranting Orang tua itu berkemas dan tersaruk pergi Badai pun memutar daunan dalam kerucut Makin meninggi.
1963
____________________
Seorang Kuli Tua di Setasiun Yokohama
Seorang kuli tua di setasiun Yokohama Ketika ekspres tengah hari masuk dari ibukota Berdiri agak terbungkuk di depan peron Handuk kecil di lehernya
Beratus penumpang turun sepanjang ruangan Menari dalam kilau jendela kereta Ia pun menjamah koporku setelah menatapku Agak lama
Hari itu musim panas di bulan Agustus Udara sangat lembab dan angin tak bertiup Menyeka dahi ditolaknya lembaran uang ‘Aku dulu di Semarang’
Dengan hormat diucapkannya selamat jalan Ia pun kembali ke setasiun berbata-bata Berkaus dan bersepatu putih Tiba-tiba wajahnya sangat tua
Di kapal kenapa kuingat kakak sepupuku Opsir Peta di Jatingaleh berlucut senjata Terbunuh dalam pertempuran lima hari Dua belas tahun yang lalu
Hari itu musim panas di bulan Agustus Ketika ekspres tengah hari masuk dari ibukota Seorang kuli di setasiun Yokohama Tiba-tiba wajahnya sangat tua.
1963
____________________
Pelabuhan Sebelum Pasang
Jika kau bertanya, kesepian, maka lautlah jawabku Jika kau menyapa, kesedihan, maka topanlah ujarku Pelayaran panjang yang mengantarkan kita Dalam gelombang benua
Di kuala perairan, ketika malam sangat muda Lentera tiang palka, di ruang makan dan buritan Gemetaran dalam garis putus-putus di pelabuhan Anak arus yang naik dan turun pelahan
Menjelang pelayaran bila badai berbadai Bercurahan bintang di langit bersemu biru Gemulung mendung yang menyarankan napas gelombang Guruh lagumu, wahai pelayaran yang panjang!
Karena kau bertanya, tiga peluit di tiap pelabuhan Setiap kita bertolak kembali mengemas jangkar tali-temali Adalah jurang-jurang lautan dengan kandil bintang selatan Bertetaplah ngembara untuk pelayaran panjang sekali.
1964
____________________
Jalan Bukit Bintang
Ada sesuatu jadi, perlahan tengah jalan Ada langit. Ada tambang. Ada air. Ada hijauan Ada leher. Ada cakar Mata yang sayu memandangmu. Memandangku Seorang anak tukang sate pukul duabelas malam Berumur sebelas dan bersepatu abu-abu Dia memandang malam di luar kafe, dia memandangku Dia memandangmu Suara-suara malam metropolitan Cahaya yang melintas-lintas
Lelaki tua itu, ayahnya, atau pamannya barangkali Sedang memandamkan bara api Di depan kafe yang mulai sepi Ada bayang di jendela flat bermain Bayang-bayang hitam, bayang-bayang nyaris ungu Beberapa garis cahaya natrium Dan tiga lagu Mandarin Lelaki itu menyiram bara api
Berdesis Daun meja kafe dari pualam Ada sesuatu jadi, perlahan tengah jalan Ada langit. Ada tambang. Ada air. Ada hijauan Ada leher. Ada cakar Bayang berlarian sepanjang pertokoan Melompat dari jendela ke jendela Anak tukang sate itu membenahi piring Bayang-bayang beriring-iring Anak itu menjulurkan lehernya Lelaki itu mengais bara api Yang hangus Dan nyaris mati Depan kafe sepi Di sini.
1967
____________________
Fortaleza De Malaca
Ada batu karang, salib hitam di atasnya Segaris pantai dan ombak yang memburu Ada bukit, di bawahnya benteng tua Melintas pohon melaka angin pun menderu
Tiada lagi sejarah, mungkin tinggal sidik jari Sejumlah pertempuran dan sekian nama-nama Lalu laut lepas, padang-padang rumput membentang Dan meriam terpasang depan gereja
Ada batu karang, salib hitam di atasnya Segaris pantai dan ombak yang memburu Ada bukit, benteng tua dalam balada Melintas pohon melaka angin pun menderu.
1967
____________________
Kereta Malam Daratan Asia
Ada yang memburu-buru di belakang kereta malam Thai Express Ada yang menembus-nembus di antara jutaan dedaunan Angin meluncur, mersik gugur, bayang-bayang rawa malam Serasa bukit-bukit benua Serasa lewat jembatan tua Dentang-dentang suara Ada yang meloncat-loncat di bantalan rel kereta malam Ada yang menggores garis sinar di atas kelam Cahaya tak terjangkau,
mungkin sebutir bintang yang dilupakan Ada bulan lepas sabit, tegak lurus atas bukit Tanah-tanah hitam Padang-padang lalang Pagoda-pagoda tua Siul sunyi Di sini… Burung-burung hutan Bunyi air terjun Warna-warna yang hilang Warna-warna yang berlarian Siapa saling mengejar? Kini? Suara. Warna. Nafas. Cahaya. Musim kemarau yang terlampau keras Telah singgah di sebuah setasiun kecil Tak jauh dari danau. Di barat teluk yang menganga
Penjaja yang meneriakkan jajanan Debu September yang naik perlahan Ketika tiga rahib, berjubah merah muda Melintas di jalanan Pecahan-pecahan batu cadas Sebuah sinyal yang letih Dan bunyi peluit putih Ada yang menggariskan jalan paralel ini Malam diturunkan, bintang-bintang dipasang dan angin jadi dingin Bulan lepas sabit Pun terbit Serasa bukit-bukit benua Serasa lewat jembatan tua Tanah lalang Padang habis terbakar
Dentang-dentang suara Dan garis cahaya parabola, tipis dan tajam Mungkin sebutir bintang yang kulupakan
selama ini Gugus Bimasakti Jewat jendela kayu jati Meluncurkan angin dingin Ada kesunyian memburu di belakang itu dan
aku merasa ingin Menoleh. Tapi adalah kelam jutaan daunan Serasa mersik gugur Serasa di atas rawa malam Menggaris cahaya parabola
Tipis dan tajam Mungkin sebutir bintang yang terlupakan Selama ini.
1967
____________________
Semak-Semak Antena
Siapa itu mengacungkan tangan ke luar jendela Tingkat teratas Atmosfir penuh gelombang Awan di antara antena Gelombang elektronik, pita-pita magnetik Mimpi yang bising Siapa itu melambaikan tangan di sana Di antara jarum-jarum antena Sebuah getaran, baiklah …
Sia-siakah? Getaran lalu-lintas di bawah Di sana. Di antara aturan-aturan kepolisian Di antara gasing karburator Udara daerah industri yang kotor Dalam kerucut asap
Dan perumahan kotak-kotak Lelaki setengah usia di beranda Membaca koran sore yang mekanis Penyiar dengan berita otomatis
Hai! Yang melambaikan tangan itu! Hai!
1967
____________________
Panmunjom, Musim Panas 1970
Korea, semenanjung itu, matanya terpejam Silau musimpanas
dari matahari ia membaring, memanjang pada salah satu
tulang rusuknya, melintang dan menggelombang melintas
bukit
demi bukit yang berumput kering yang berkawat duri bagaikan sirip
lumba-lumba yang berenang
diam-diam di atas rumputan kering di atas lautan semak tidak ada suara tidak ada lalu lintas tidak ada kanak-kanak tidak ada gerobak air tidak ada
pemandangan desa inilah bukit-bukit yang termashyur itu bukit-bukit kubur yang ada adalah sepotong perut semenanjung dan cuaca di antaranya
ternyata tidak dapat kita menentukan segala-galanya
di sini sengketa
yang pernah membakar sumbu-sumbu logam dan lalu berpijaran
melompat dari satu bukit ke bukit lainnya
telah agak padam dan bersembunyi di antara rumput-rumput kering
dan menyelinap di antara semak-semak liar
atau bertengger jadi segumpal kanker pada sebatang pohon kastanye
di puncak sebuah bukit di sana
dan, di belakangnya adalah sungai dengan warna air sedikit keruh
saat ini semua diam
ada juga sesekali
margasatwa berbunyi
ataukah sedikit bernyanyi? tidak kukenal nama serangga itu tentunya dia akan keluar dari sarang musim-dinginnya, mengibas-ngibaskan sayapnya yang bagaikan kertas plastik, mengusap-ngusapkannya pada kakinya yang beruas-ruas dan mungkin sekali mengeluarkan bunyi yang aneh dari gesekan itu atau dari tali tenggorok
mungkin begitu mereka tentunya berjuta-juta di tanah ini lepas musim semi dan sebelumnya musim dingin yang kejam, sepatutnya di bulan Juli ini, pada siang ini mengeluarkan serempak bunyi yang bisa amat dahsyat
inilah angan-angan yang tidak sepantasnya terjadi siang hari siang ini
karena langit amat bersih cuaca 80 serta lembab dan di kawasan tak bertuan ini jalannya tanah, berdebu sedikit merah dan bisa mengepul
ketika dua orang anak muda itu mengenakan jaket tahan peluru mencoba membunyikan mesin jipnya sementara di lereng sana beberapa orang mengawasi ada yang mencangkung di gardu demarkasi
tidak kukenal nama-nama mereka tentunya mereka ketika keluar dari barak-barak musim-dingin, mengibas-ngibaskan lengan dan urat-urat pinggang yang pegal, menggosok-gosok corong-corong baja mereka dan mungkin sekali pernah menge-luarkan bunyi yang aneh itu dari picu-picu atau tidak seimbangnya komposisi bubuk mesiu
mungkin begitu mereka tentunya berpuluh-beratus-ribu di tanah ini
lepas musim semi, lepas musim dingin yang kejam dan menjelang musim rontok di padang lepas berbukit-bukit ini berpandang-pandangan dalam diam yang bisa akibatnya jadi amat dahsyat
inilah angan-angan yang tidak sepantasnya terjadi
inilah pilem-pilem tua yang tidak layak diputar lagi siang hari siang ini
sementera langit amat bersih lembab musimpanas yang pengap di atas sepotong tanah semenanjung di bawah setangkup langit demarkasi yang mengawasi bukit-bukit yang
menggelombung dan kering di sana-sini sedikit hijau
semak-semak liar
dengan kuntum-kuntum alit dan kabut jauh yang agak biru di sini kesunyian mengenalkan dirinya
dengan suasana sedikit tajam dan papan-papan penunjuk yang huruf-hurufnya terlalu persegi serta hitam, agak luntur mengenai divisi kedua
tetapi di manakah kawanan burung-burung itu yang layaknya berterbangan dalam formasi atau campur-baur seperti di katulistiwa dan sayap-sayap mereka yang sebentar nampak sebentar hilang atau semacam elang yang mengapung bagaikan menggantung dalam gerakan yang hampir tanpa gerakan tetapi di manakah kawanan itu sekarang di atas bukit-bukit di bawah setangkup langit awan pun tiada langit pun bagai baki perak yang menyilaukan terlalu polos adanya lengang ini terasa
tajam
amat sehabis peperangan udara dengan unggas-unggas logam yang bisa
menjerit-jerit garang dan mencecerkan ledakan
ledakan luarbiasa dengan asap
asap dan kerusakan-kerusakan yang matematis
dan putus-putuslah siklus biologi ini karena sirkulasi darah dipotong-potong, sistim tulang dan saraf diobrak-abrik, silsilah pohon keluarga ditebang-tebang, panen biji-bijian dan buah-buahan dirusak, migrasi burung-burung jadi kacau, air minum bau kelong-song dan air mata dan air mata …
tapi sudah itu
… angin …
kini pun
nampaknya ada sedikit angin
lewat rendah, membuat garis-garis lengkung pada pohon nue tee
di pundak bukit itu
dan juga di lerengnya
pada punggung akarnya dan
di dalam ketiak daun-daun
pasti ada unggas kecil berteduh
serta beberapa insekta, yang
menyiapkan bunyi-bunyian untuk beberapa jam lagi bila malam turun
tentunya juga beberapa hewan bersayap rapuh
yang bisa menyalakan lampu fosfor alit
di badannya, sedang istirahat untuk penerbangan sebentar malam
mereka tengah membenahi sarang-sarang
kecil di kulit-kulit kayu
sementara angin sore yang enggan
begitu saja membentuk garis-garis lengkung
lewat semak-semak liar menggelombang sepanjang barangkali 240 kilometer dan singgah di setiap check-point, sekali pun check-point
yang paling sepi dan paling dikhawatiri…
dan sebuah truk menderum
dan mengipaskan debu
pada sebuah lembah ini suatu komposisi yang agak aneh tetapi pasti ada saat itu beberapa serdadu yang jemu memikirkan tentang bunyi-bunyian gitar, transistor saku atau bunyi kelamin
beberapa jam lagi
bila malam turun
pada kedua sisi
perbatasan, yang lebar
empa tribu meter dan Korea, semenanjung itu, matanya terpejam mengantuk pada
malam musimpanas
dengan sebuah bulan
yang sempurna bulatnya
dan menguraikan benang-benang
sutera cahayanya
yang berserak
pada bukit-bukit
yang termasyhur itu
sementara
tunggul
sebatang
pohon kastanye ingat pada peluru-peluru sinyal cahaya dua puluh tahun yang lalu.
1970
____________________
Musim Gugur Telah Turun di Rusia
Seekor burung raksasa pada suatu malam cuaca mengembangkan sayapnya yang perkasa mengibas-ngibaskannya gemuruh dan lena maka rontoklah bulu beledru di langit tua dan biru gugur dan gugur melayang dan berbaur
Musim gugur telah turun di Rusia
Berjuta bintik kapas warna putih angsa pada suatu malam cuaca naik mengembang bersama dan menggeliatlah dia menggelepar menyerakkan warna dan aroma
Musim panas melayang di atas Rusia
Dengan malasnya burung itu terbang sayapnya mengibaskan angin agak dingin daun-daun beriozka jadi berganti warna burung raksasa tiba di atas kutub utara dia berkaca sekilas di laut terus melayang ke bagian bumi yang lain seraya membagi-bagikan angin yang agak dingin
Musim gugur telah turun di Rusia.
1970
____________________
Sapi Daging Peternakan Brenton
Inilah pabrik daging yang hidup Inilah sebuah sistim Matahari musim rontok bersinar Tanahnya landai, lumpurnya subur Dua ratus meter persegi tai sapi dalamnya satu dengkul Mata rantai produksi kali ini Adalah kandang-kadang sapi daging Peternakan Brenton
Dua ribu sapi menguak sekali gus Dalam persatuan yang mengharukan Suara mereka adalah
Ilustrasi padang-padang jagung
Tanah yang landai
Lumpur yang subur
Tangki air sembilan ribu galon Kamar pengaduk makanan Timbangan 5000 kilo Kantor catatan kelahiran buku hitung dagang
Dan bau serbuk manis Melayang bersama Tepung jagung
Hinggap pada suara Dua ribu sapi menguak sekali gus Dalam persatuan yang mengharukan Matahari bersinar miring Masuk celah peredaran udara
Klinik sapi
Hai!
Para pasien leptospira dan diarrea Si gemuk ternak penjara Iowa Beef Packers akan memperinci kalian Industri ke seluruh negeri Perusahaan pengalengan Dan adpertensi penuh fantasi! Lewat pejagalan
Dua ribu sapi menguak sekali gus Dalam persatuan yang mengharukan Suara mereka adalah
Ilustrasi padang-padang jagung
Tanah yang landai
Lumpur yang subur
Bau sirup yang manis
Debu tepung jagung Inilah pabrik daging yang hidup Inilah sebuah sistim
Matahari musim rontok bersinar Di atap kandang-kandang Peternakan sapi daging Kepunyaan Brenton.
1971
____________________
Bola Berguling di Bawah Panas Matahari
Di antara orang-orang baik hati duduk pencopet dalam kendaraan ini Agama telah dijadikan bus tua Yang mencari penumpang sebanyak-banyaknya
Bus jalan. Debu berkibar Pada suatu sore orang melempar senjata ke tengah jalan Dan ada lagu mars Pemadam Kebakaran
Bola berguling di bawah panas matahari
Percintaan adalah nasib yang aneh Hutan jati ketika rontok daun Dekat pantai lagi surut Kanak-kanak main berkejaran
Bola berguling di bawah panas matahari
Bus jalan. Lewat jaringan lalu lintas Pada suatu pagi aku memejam Teluk San Francisco, Laut Jawa dan Mediterania Kemudian sebuah lepau nasi Orang tua baru selesai dengan mangkuk kahwanya Dia jalan, pergi, hari masih agak pagi Di atas ada hutan pina Sawah biasa, ladang lobak dan kebun tebu Tempat berburu babi
Bola berguling di bawah panas matahari
Medan maknit sepanjang rel kereta api Bintang terhampar di tempayan langit Bagai sulaman bintik-bintik cahaya Atas Padang Giring Giring, atas St. Petersburg lena Bus jalan. Seorang kanak bercelana pendek Membawa album hitam Di tepi jalan kota kecil Ke muara pelabuhan
Bola berguling di bawah panas matahari
Bus jalan. Banyak debu di warung orang Vietnam Dan Bur mengangkat gelasnya Pada sore Savannakhet yang sedikit aneh Kejutan tangis, daratan pengungsi dan amunisi Bola matahari telah meneteskan sejuta bom Aku menangisimu, dan kuacungkan tinju Pada matahari Yang pijar Hidupku serasa bergolek di atas sutera Siam Seraya menulis sajak-sajak percuma Bila mengingatmu
Bola berguling di bawah panas matahari
Alabama, Alabama Bunyikan lagu biru yang agak ngilu Duka yang terpental-pental Alabama Bus jalan. Chicago muntah Dan menyiarkan lumpur salju yang hitam Sebuah kuburan mobil memanggil-manggil Mengembuskan asam karbon tanpa warna Dan Malcolm X menundingkan telunjuknya
Bola berguling di bawah panas matahari
Adalah percuma Menjahit padang pasir Dengan menara-menara tambang minyak
Bola berguling di bawah panas matahari
Dan kepada Joseph Richard SmithMaharesi 14 tahun itu berkata:‘Teruskanlah kalimat ini, Joe:Jiwamu termaktub dalam iklan-iklanLalu…’Dan berkatalah Joe Smith:‘Jiwaku termaktub dalam iklan-iklanDan iklan-iklanku tanpa jiwa’
Bola berguling di bawah panas matahari
Alabama, Alabama Bunyikan lagu biru yang ngilu Duka hitam terpental-pental Alabama
Bola berguling di bawah panas matahari
Bus jalan. Debu berkibar
Dekat pangkalan pedati
Anak itu menendang sedikit keras Dan bola berguling Di bawah panas Matahari.
1972
____________________
Trem Berklenengan di Kota San Francisco
Pagimu yang cerah, San Francisco, sampai padaku di atas bukit itu, lautmu bagai bubur agar-agar, uap air di langitmu mencecerkan serbuk kabut seperti tepung nilon dan terjela-jela sepanjang jembatan raksasamu tepat seperti kartu pos bergambar yang pernah kubeli di kedai Hindustan duapuluh empat tahun yang silam di Geylang Road ketika aku masih bercelana pendek dan asyik menghafalkan nama-nama hebat dengan huruf-huruf c, v, x, dan y pada pelajaran ilmu bumi di Sekolah Rakyat partikelir.
Matahari terlalu gembira menyinari bukit-bukitmu. Bukit-bukit yang ditumbuhi rumah-rumah Eropah, Meksiko, Habsyi dan Cina, bercat putih beratap merah tua dengan bunga-bungaan yang mekar karena persekutuan akrab dengan musim semi bagai tak kunjung habisnya. Debu segan padamu. Kotoran mekanika dan asam arang kau serahkan sepenuhnya pada Los Angeles si buruk muka. Dia cemburu padamu.
Pasar buah dan rempah-rempah. Trem berklenengan dan meluncur gila pada penurunan bukit-bukit sama-kaki yang sempit. Sebuah peti cat meledak di udara dan warna-warna pun dibagi-bagi pada deretan ba-ngunan dinding trem kota, tulang jembatan, atap, pintu dan jendela. Angin mengeringkannya dan mengaduknya dengan aroma daun-daun perladangan jeruk serta uap perairan dermaga lalu dikibas-kibaskan oleh sayap kawanan burung camar mengatasi muara lautan.
Percintaan bulan dengan lekuk-lekuk tubuhmu semacam percintaan anak-anak muda yang garang kemudian dilukiskan oleh pelukis-pelukis kubistis. Emas yang diburu-buru abad yang lalu dilambangkan dalam cahaya natrium, amat geometris. Lewat tingkap-tingkap dan pipa-pipa kaca, simetris dan tidak simetris. Kapal-kapal angkat jangkar.
Di ujung meja panjang terbuat dari kayu mahoni pada suatu bar dekat Market Street seorang tua berambut putih berkumis putih berjanggut putih duduk di atas kursi plastik yang bentuknya seperti bom waktu. “Aku tidak dengar Amerika menyanyi lagi”, ujarnya. Pelayan bar memberinya segelas bir.
Amerika tidak menyanyi lagi. Amerika mengerang.
Di atas bar kayu mahoni berlapis formika hampir biru muda, padang-padang Texas ke tengah, New York berhamburan ke dalam Grand Canyon, Niagara mengental, California tergulung-gulung. Walt Whit-man memeras Amerika bagai sehelai karbon bekas, dan si tua itu me-nuangkan bir Milwaukee berbusa ke atasnya.
Amerika mengeluarkan bunyi kerupuk kentang kering Yang dikunyah lambat-lambat
Camar-camar teluk San Francisco melayang di atas kedai-kedai bunga tulip, menelisik jaringan kawat trem-trem yang berkenengan dan buang air tepat di atas kantor asuransi.
Selamat jalan c
Selamat jalan v
Selamat jalan x
Selamat jalan y
Selamat jalan.
1972
____________________
Petatah Petitih Baru
Mata
Gajah di seberang lautan tak tampak Kuman di pelupuk mata juga tak tampak
Humas
Menepuk air di dulang Tepercik ke muka sendiri Kemudian dilap dengan press release
Ekonomi
Sesal dahulu pendapatan Sesal kemudian pengeluaran
Pendidikan
Guru kencing berdiri Murid mengencingi guru
Hujan
Air hujan turunnya ke cucuran atap Kalau banjir atapnya yang turun ke air
Nasionalisme
Hujan batu di negeri orang Hujan emas di negeri sendiri Lebih enak di negeri sendiri
Penderitaan
Berakit-rakit ke hulu Berenang-renang ke tepian Bersakit-sakit dahulu Bersakit-sakit berkepanjangan
PBB
Duduk sama rendah Berdiri lain-lain tingginya
Gunung Api
Maksud hati memeluk gunung Apa daya gunungnya meletus
Pers
Buruk muka pers dibelah.
1972
____________________
Bagaimana Kalau
Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, tetapi buah alpukat
Bagaimana kalau bumi bukan bulat, tapi segi empat
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah, dan kepada Koes Plus kita beri mandat
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi, dan ibukota Indonesia Monaco
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas, salju turun di Gunung Sahari
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia dibayar dengan pementasan Rendra
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi, dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan
Bagaimana kalau akustik dunia jadi demikian sempurnanya sehingga di kamar tidur kau sampai deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi serta suara-suara percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan margasatwa Afrika
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil mempertimbangkan protes itu
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.
1971
____________________
Engkaukah Itu, Yang Berdiri Ditikungan Itu
Pada saat penyeberangan sesudah makan siang, lepas pantai Gilimanuk, kulihat kau bersandar di sana sepuluh tahun yang silam, pohon-pohon palma di belakangmu
Ada suatusaat di Margomulyo, sehabis sore Yogya dengan kuku burung balam mengantar malam, awan dan cahaya sama tenggelam
Berlayar di lautan Jawa dan Hindia, panggilan peluit uap cerobong asap dan lemparan tali sisal, tak sampai mencapai pantai
Berdiri di pojok lapangan Banteng sebelum ada terminal, engkau me-lintas sepintas serasa tidak aku kau kenal, kemudian kita naik oplet tua Willys tahun lima dua
Engkaukah itu depan warung desa Ayuthya, di pojok Metro Trocadero, di antara rak-rak buku toko Atheneo, di kampus pedalaman Indonesia yang bentuknya seperti gudang-gudang sederhana
Aku mencatatnya semua dan melupakannya semua, ketika makan masakan Szechwan yang lezat citarasanya atau ketika bersama misi militer, berdiri memandang padang-padang perbatasan negara yang dibagi dua, selatan dan utara
Para pengemis Colombo, Weleri, Marble Arch Underground, depan museum Tashkent, Ginza, pasar Senen Lama, Fifth Avenue, kalian semua membikin hatiku ngilu, tapi sekali gus menyin-dirku, bahwa sebenarnya daku juga pengemis kehidupan, dalam ukuran tertentu
Aku mencatatmu dan mencoba melupakanmu
Adalah perpustakaan, kuburan dan rumah yatim piatu yang amat dalam mencekamku, ke mana pun aku pergi kucoba menjenguk jendela dan pagarmu, adakah engkau di situ dan selintas, engkau ada di situ
Pagi ini aku sarapan agak banyak, waktuku adalah ujung musim semi dan pangkal musim panas, losmenku Stanhope Place nomor 4, telepon 01-262-4070, kamarku seharga dua paun tambah pelayanan sepuluh persen
Berdiri di West End memikirkan poster-poster teater, suara-suara orang Italia menjajakan hamburger dengan saus tomat, engkau pun lewat, berjalan satu tikungan dan berdiri depan sebuah boutique lalu kita menatap model dasi serta baju berwarnawarna gila dan biru tua
Restoran Aljazair itu amat lezat, sup ikan Paris luar biasa dan masakan Kanton adalah makanan raja-raja, namun aku rindu juga lepau nasi Padang dan warung tongseng Jawa yang bukan main lambannya, karena mungkin engkau, ada di sana
Engkau campur-baur dan seringkali kabur, namun aku mencatatmu, untuk rindu dan lalu kucoba, melupakanmu.
1971
____________________
Kembalikan Indonesia PadaKu
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya
Kembalikan Indonesia Padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenangrenang di atasnya
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat, sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam dan mem-bawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan
Kembalikan Indonesia Padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian
Kembalikan Indonesia Padaku
1971
____________________
Aku Ingin Menulis Puisi, Yang
Aku ingin menulis puisi, yang tidak semata-mata berurusan dengan cuaca, warna, cahaya, suara dan mega.
Aku ingin menulis syair untuk kanak-kanak yang melompat-lompat di pekarangan sekolah, yang main gundu dan petak umpet di halaman rumah, yang menangis karena tidak naik kelas tahun ini.
Aku ingin menulis puisi yang membuat orang berumur 55 tahun merasa 25, yang berumur 24 merasa 54 tahun, di mana pun mereka membacanya, bagaimanapun mereka membacanya: duduk atau berdiri.
Aku ingin menulis puisi untuk penjual rokok-kretek, tukang jahit kemeja, penanam lobak dan bawang perai, penambang sampan di sungai, penulis program komputer dan disertasi ilmu bedah, sehingga mereka berhenti sekejap dari kerja mereka dan sempat berkata: hidup ini, lumayan indah.
Aku ingin menulis syair buat pensiunan-pensiunan guru SD, pelamar-pelamar lowongan kerja, para langganan rumah gadai, plonco-plonci negeri dan swasta, pasien-pasien penyakit asma, kencing gula serta penganggur-penganggur sarjana, sehingga bila mereka baca beberapa sajakku, mereka bicara: hidup di Indonesia, mungkin harapan masih ada.
Aku ingin menulis sajak yang penuh proteina, sekedar zat kapur, bele-rang serta vitamina utama, sehingga puisi-puisiku ada sedikit berguna bagi kerja dokter-dokter umum, dokter hewan, insinyur pertanian dan peternakan.
Aku ingin menulis puisi bagi para pensiunan yang pensiunannya dipersulit otorisasinya, tahanan politik dan kriminal, siapa juga yang tersiksa, sehingga mereka ingat bahwa keadilan, tak putus diperjuangkan.
Aku ingin menulis sajak yang bisa membuat orang ingat pada Tuhan di waktu senang, senang yang sedang-sedang atau yang berlebihan.
Barangkali aku tak bisa menulis demikian.Tapi aku kepingin menuliskannya.Tapi ingin.
Aku ingin menulis puisi yang bisa dibidikkan tepat pada tubuh kehidupan, menembus selaput lendir, jaringan lemak, susunan daging, pembuluh darah arteri dan vena, mengetuk tulang dan membenam sumsum, sehingga perubahan fisika dan kimiawi, terjadi.
Aku ingin menulis puisi di buku catatan rapat-rapat Bappenas, pada agenda muktamar mahasiswa, surat-surat cinta muda mudi Indonesia, pada kolom kiri lembaran wesel yang tiap bulan dikirimkan orangtua pada anaknya yang sekolah jauh di kota.
Aku ingin menulis syair pada cetak-biru biru-biro arsitek, pada payung penerjun terkembang di udara, pada iklan-iklan jamu bersalin, pada tajuk rencana koran ibukota dan pada lagu pop anak-anak muda.
Aku ingin menulis sekali lagi puisi mengenang jendral Sudirman yang berparu-paru satu, serta tentang sersan dan prajurit yang terjun malam di Irian Barat kemudian tersangkut di pepohonan raksasa atau terbenam di rawa-rawa malaria.
Aku ingin menulis syair yang mencegah kopral-kopral tak pernah bertempur agar berhenti menempelengi sopir-sopir oplet yang tarikannya payah.
Aku ingin menulis sajak ambisius yang bisa menghentikan perang saudara dan perang tidak saudara, puisi konsep gencatan senjata, puisi yang bisa membatalkan pemilihan umum, menambal birokrasi, menghibur para pengungsi dan menyembuhkan pasien-pasien psikiatri.
Aku ingin menulis seratus pantun buat anak-anak berumur lima dan sepuluh tahun sehingga bila dibacakan buat mereka, maka mereka tertawa dan gigi mereka yang putih dan rata jelas kelihatan.
Aku ingin menulis puisi yang menyebabkan nasi campur dimakan serasa hidangan hotel-hotel mahal dan yang menyebabkan petani-petani membatalkan niat naik haji dengan menggadaikan sawah dan perhiasan emas sang isteri.
Aku ingin menulis puisi tentang merosotnya pendidikan, tentang Nabi Adam, keluarga berencana, sepur Hikari, lembah Anai, Amir Machmud, Piccadily Circus, taman kanak-kanak, Opsus, Raja Idrus, nasi gudeg, kota Samarkand, Raymond Westerling, Laos, Emil Salim, Roxas Boulevard, Dja’far Nur Aidit, modal asing, Checkpoint Charlie, Zainal Zakse, utang $ 3 milyard, pelabuhan Rotterdam, Champ Elysses dan bayi ajaib, semuanya disusun kembali menurut urutan abjad.
Aku ingin menulis puisi yang mencegah kemungkinan pedagang-pedagang Jepang merampoki kayu di rimba dalam Kalimantan, melarang penggali minyak dan penanam modal mancanegara menyuapi penguasa yang lemah iman, dan melarang sogokan uang pada pejabat bea cukai serta pengadilan.
Aku ingin menggubah syair yang menghapuskan dendam anak-anak yatim piatu yang orangtua dan paman bibinya terbunuh pada waktu pemberontakan komunis yang telah silam.
Aku ingin menulis gurindam yang menghapuskan dendam anak-anak yatim piatu yang orangtua dan paman bibinya dibunuh pada waktu pemberontakan komunis yang telah silam.
Barangkali aku tidak sempat menuliskannya semua.
Tapi aku ingin menulis puisi-puisi demikian.
Aku ingin.
1971
____________________
Sumber: http://taufiqismail.com/