Sebuah tembang Jawa yang konon merupakan warisan Wali Songo dan biasa dilantunkan anak-anak kecil ketika dolanan di malam hari. Sederhana, tapi mengandung makna yang dalam. Terkesan tidak menggurui tetapi mengena di hati.
Gundul gundul pacul gembelengan. Menggambarkan seorang anak yang plontos kepalanya, nakal, bandel, cengegesan, slengekan dan tak bertanggung jawab. Dia tidak menyadari siapa sesungguhnya dirinya, tidak dapat memisahkan hitam putihnya hidup dan mencampuradukan hak kewajibannnya. Sang anak tidak mencoba melihat dengan sudut pandang yang lebih luas dan menganggap dirinya yang paling benar sehingga pantas dia itu gembelengan, sombong dan tak tahu diri.
Nyunggi nyunggi wakul gembelengan. Wakul, sebuah tempat untuk menyajikan nasi yang biasa tersaji di meja-meja makan masyarakat Jawa, melambangkan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan. Bahkan sang anak masih tetap cengengesan, bandel dan tak peduli ketika diatas kepalanya, ia harus nyunggi wakul. Rasa memiliki dan rasa tanggung jawab yang dibebankan kepadanya, dianggap angin lalu belaka, semua terasa tak berharga. Dan lagi-lagi tetap gembelengan, meskipun dia memikul amanah kesejahteraan dan keadilan.
Wakul ngglimpang segane dadi selatar. Tumpahlah wakul itu dan nasinya tersebar di halaman rumah. Akibat rasa sombong, ceroboh dan kianat itulah, kesejahteraan dan keadilan yang semestinya jadi tanggung jawabnya menjadi tidak pernah tergapai. Bahkan hancur berantakan dan menjadi santapan semut-semut yang memang selalu berharap tumpahnya wakul itu. Kepercayaan dan tanggung jawab yang diamanahkan kepada gundul pacul, tidak akan pernah ditunaikan dengan benar.
Jika kesombongan dan selalu ingin menonjolkan diri masih ada disetiap pemimpin, maka bersiaplah untuk mengubur cita-cita luhur bangsa ini. Kalau ingin selalu menang dan merasa benar sendiri itu selalu menjadi pakaian para tokoh bangsa ini, maka tidak akan ada kenyataan Indonesia bangkit dan tegak sebagai sebuh bangsa yang berdaulat. Dan andaikan kesabaran, kebesaran jiwa dan ketulusan hati dari anak-anak bangsa ini sudah luntur.
beberapa penulis lainnya juga menerjemahkan sbb:
“Orang-orang sepuh kita di zaman dahulu sudah mewanti-wanti pada anak-anak cucunya nanti agar tak adigang, adigung, adiguna. Lagu dolanan anak yang berjudul “Gundul-Gundul Pancul” salah satu contohnya, merupakan petuah mahaampuh yang multi interpretasi, sarat dengan makna filosofis.
Mari kita cerna bersama sembari menyanyikan lagu dolanan anak yang kini sudah hampir punah itu. “Gundul-gundul pacul…cul….gembelengan. Nyunggi-nyunggi wakul..kul..gelelengan. Wakul glimpang, segane dadi sak latar. Wakul glimpang, segane dadi sak latar....”.
Paling tidak ada sebuah tafsir ultraampuh yang bisa kita rapal dari nyanyian yang ndesani itu. Yakni agar siapapun orang yang sedang membawa cangkul, sabit, pisau, senjata api, surat wasiat, surat pengangkatan, surat kemenangan dalam pemilihan yang demokratis, SIM, STNK, BPKB, surat tanah dan lain sebagainya tak boleh alias haram hukumnya berlaku gembelengan. Gembelengan itu setara dengan kata sombong, angkuh, sok pintar, sok berkuasa, sok merasa kaya sendiri, sok menganggap diri paling alim.
Maka para pembawa “pacul-pacul” itu harus digundul kepala dia, diplontos saja potongan rambutnya, di potong kuncung bawuk saja gaya rambutnya; agar ia tak petentang-petenteng memamerkan makhkota kepalanya.
Rambut itu simbol sesuatu yang bisa panjang ukurannya, tak sakit walau kita potong ia dengan gunting atau pisau; ia juga tidak pernah merasa kesakitan. Tetapi ia hidup, terus panjang bila ia kita biarkan terus menerus. Maka tujuan pemlontosan rambut itu tak lain agar kita semua tak sibuk dengan aksesoris-aksesoris “rambut-rambut” duniawi kita, agar tak terpesona memeliharai rambut-rambut tersebut.
Biarkan ia tercukur habis, hingga tak ada kesempatan barang sedikitpun bagi makhluk-makhluk seperti kutu, ketombe, choro dan nyamuk bersarang di sana. Agar penyakit-penyakit jasadiah itu tak bersemayam dalam kedalaman kepala yang cukup mulia itu.
Setali lima uang, ketika pula kita diberi amanah dengan menyunggi wakul (tempat nasi) di atas kepala kita malahan tetap sombong (gembelo, petentang-petenteng); ya tumpahlah nasi-nasi yang ada di wakul tersebut. Orang-orang yang mengharapkan bisa makan enak dari sewakul nasi tadi, menjadi kecewa berat gara-gara tak bisa makan.
Wong nasinya sudah Anda tumpahkan di halaman sana. Anda pasti kena marah, kena tamparan dan kemplangan dari orang-orang yang kita kecewakan tadi, sebab kalau perut sudah lapar; semua perilaku anarkis adalah sumbu terpendeknya.
Selaku pemimpin, belajarlah dari lagu dolanan di atas yang mengandung banyak pesan-pesan sakti. Para calon pemimpin, seyogyanya juga pandai-pandailah membawa diri, carilah dulu “pacul dan wakul” di atas; sebab pembuatnya tak lain adalah rakyat. Mintailah restu dari mereka agar mereka memberikan “pacul dan wakul” mereka.
Bila “pacul” sudah di tangan, sumber penghidupan segera diperoleh. Isilah penuh-penuh wakul itu dengan “nasi-nasi” yang engkau persembahkan kembali kepada rakyat kembali. Jangan dimakan sendiri, sebab kalau wakul itu terisi penuh, lantas Anda growak sebagian; pastilah wakul itu segera jomplang, ambruk dan roboh di tanah.
Bagi para rakyat seperti kita, pandai-pandai jugalah membawa diri memilih-milih orang yang akan kita amanahi membawa “pacul” dan “wakul” kita. Nilailah ia dari sejarah keluarganya, perlakuan ia akan tetangga-tetangganya, prestasi kerjanya, etos kerjanya, sikap dan kedermawanannya, sikap hidup dan kebersahajaannya.
Jangan sekali-kali menyerahkan “pacul” kita pada orang gila, baik orang gila beneran, gila hormat, gila sanjungan, gila-gilaan, sengaja menggila-gila; karena bisa-bisa pacul itu bukan untuk mencangkul tanah di sawah; tetapi untuk membabat dengkulmu. Jangan pula serahkan “wakul-wakul” kedemokrasianmu kepada tengkulak-tengkulak “wakul” yang hanya ingin tahu untung saja. Iya, tidak?
No comments:
Post a Comment