Sunday, October 03, 2010

Filosofi Pengayuh Roda Tiga

Ilustrasi metodologi judul ini mungkin terkesan aneh, asal-asalan, amburadul atau juga tak karuan, apalagi dengan metode otak atik asal gatuk. Tentu lebih kurang ajar lagi terlebih-lebih sampai nyantol di edisi kali ini. Barangkali masih asing ditelinga kita, tapi percaya atau tidak, realitanya orang banyak sekali yang belum belajar filosofi keringat pengayuh becak si tiga roda ini, padahal disana terdapat nilai falsafah kehidupan dalam menghadapi riak-riak pergolakan sosial yang serba ndak tentu saat ini. Filosofi perbecakan memang tidak pernah diteriakan para arkeolog, diekspos besar di koran-koran bahkan didiskusikan diseminar-seminar heboh manapun.


Parahnya lagi, istilah perbecakan beserta tetek bengeknya itu tidak pernah sekalipun kita jumpai dalam deretan-deretan agenda penting para aktifis tehknokrat.Tetapi, bagaimanapun juga meski tidak sedahsyat filsafatnya Darwin yang keblinger, Plato, atau Ratu Isabel dalam Galile Galileonya yang masih ambivalen, filsafah keringat pengayuh becak justru kita temukan nilai-nilai dahsyat berupa ketanguhan, keuletan dan tahan banting serta kesabaran menyikapi kehidupan keras, sembari terus melakukan perbubahan yang lebih baik. Dan banyak lagi pelajaran berharga lainya. “ berubah memang sulit, namun tidak melakukan perubahan fatal” ujar Abraham lincolin seorang pemikir itu. Ya, ada benarnya juga. Sebab siapapun tidak ingin ambisinya hanya jalan ditempat alias hanya stagnan.

Filosofi keringat pengayuh becak, percaya atau tidak, filosofi ini memang punya fungsi kontrol dalam sistem atau mekanisme diri kita secara keseluruhan, yakni lewat gempuran-gempuran ketabahan yang luar bisa, kegigihan menghadapi kekejaman hidup yang tak karuan. “Hidup adalah pejuangan” koar bung karno dengan perangainya yang meledak-ledak. Ya, sepertinya memang begitulah, dunia butuh ledakan usaha keras setiap orang, demi merengkuh ambisi kesuksesan dengan menggebrak lewat perubahan-perubahan yang hebat. Sehebat usaha keras orang yang mengayuh becak si tiga roda itu, meski dengan harapan mereka yang masih semu, untuk mendapatkan sesuap nasi dan kebutuhan primer lainya. Bukankah kita juga perlu banyak belajar tentang semua hal yang mengelilingi kita. Meski hanya tukang becak sekalipun!

Memang, Falafah ini tidak sefamiliar penemuan-penemuan aktual para profesor, atau teriakan aktifis kemanusiaan yang hanya sebatas wacana dan retorika belaka. Kebetulan, sepertinya budaya kita memang tidak telalu bergairah terhadap masalah-maslah sepele, apalagi mau menelusuri falsafah itu, macam tukang becak, namun justru itulah saya akan memasuki wilayah bahasan kali ini, soal berhasil atau tidak, itu soal lain. Ya atau paling tidak soal natilah.

Pertama, saya tidak akan mendiagnosis istilah “ keringat” atau “becak” yang sering kita lihat. Sebab hal itu mustahil bagi otak seingusan saya untuk menghakimi masalah itu. Sebab bagaimanapun juga mekanik-mekaniknya tidak sejlimet macam motor gaulnya anak-anak punk, atau seheboh Moto GP nya Valetino Rosi atau Stoner yang spektakuler itu.

Tapi, benar petuah kakek-kakek tempoe doloe , dia bepesan persoalan hidupnya yang sarat nilai filosofi penuh gizi, ternyata jika saja kita mau membelalakan mata dan mau berpikir dalam-dalam dari filosofi keringat pengayuh becak maka bereslah kita menghadapai kerasnya persaingan dan persoalan-persoalan pelik serta problematika budaya hidup yang luar biasa kejam ini.

Awalnya saya hanya mengernyitkan dahi, namun lama-kelamaaan tertohok juga otak ingusan ini. Betapa filosofi keringat pengayuh becak amatlah berharga bagi kita, teruma totalitas kerja keras dan yang lebih dahsyat lagi dengan cucuran keringatnyalah tukang becak harus berhadapan dengan kerasnya hidup.

Didunia ini, seperti banyolan Ki Entos dalang sableng saat di lapangan al muktmar dulu. Dengan tanpa tedeng aling-aling dia ngudumel, “Goro-goro, hoa, wes awakmu ora usah ngino-ngino wong cilik, senajan mung mbecak ananging penggaweane ora neko-neko, koyo sengkuni seng penggaweane mung bacot” Terkesan norak memang, dengan sentilanya, dalang sableng itu membuat ketar ketir penonton malam itu. Betapa beratnya hidup ini, kebutuhan pokok, rezeki macam nafkah istri, biaya pendidikan anak, yang harus mereka usahakan dan kejar, bahkan membuat Si pengayuh Becak harus berpacu dengan waktu, bertaruh dengan modernisasi bahkan berspekulasi dengan keadaan dan kerasnya persaingan hidup.Ya. Memang begitulah. Mungkin saja Si dalang sableng hanya ingin mengatakan” udahlah tidak usah banyak cing cong, lihatlah si tukang becak yang tidak banyak bla bla bla”. 

Lebih parah lagi, seolah tidak mau dianggap sepele,remeh. manusia sering merendahkan apapun. Dari sinilah kita akan tahu filosofi keringat pengayuh becak sangat berguna bagi kehidupan saat ini.

Dalam ranah sosial, meraih kesuksesan tidak semudah membalik telapak tangan. Bahkan tidak seenteng seorang pesulap yang bermodal” bim salabim aba kadabra”. Atau seperti gairah masa yang menuntut perubahan hidup dengan turun kejalan-jalan, merengek-rengek sebuah perubahan sistem birokrasi dengan cara menempuh jalan pintas terlebih-lebih dengan cara yang tidak dibenarkan secara hukum agama atau negara macam pencopet, perampok,atau para koruptor yang menghalalkan dengan segala cara hingga semua orang ketar-ketir dibuatnya.

Secara manusiawi, sebenarnya tukang becak dan orang diatas, kalau kita menarik benang merahnya sama yakni sama-sama mengubah kehidupanya secara lebih layak, sama-sama mengharapkan kesejahteraan, kelayakan untuk meraih ambisi masing-masing Bedanya si pengayuh becak hanya berusaha memenuhi kebutuhanya dengan turun disudut-sudut kota, di sepanjang jalan liboyo, di pinggir-pinggir trotoar. Dengan tenaga-tenaganya yang tegar, dengan kaki-kakinya yang kekar bahkan dengan keringatnya yang berdarah-darah tanpa mengaduh atau teriak-teriaknya macam komentator bola yang dakik-dakik, seperti tindakan-tindakan anarkhis oleh para kriminalis itu. Hah, ternyata hebat juga filosofi hidupnya. Barangkali dugaan kuat saya, tak terlintas dalam kamus kehidupan dan cara pandang mereka, apa itu sukses, tapi metode proses yang bagaimanakah untuk meraih sukses.

Begitu pula dalam kehidupan ini manusia yang otaknya masih waras tentu ingin segala hidupnya berlangsung mudah. Namun hal itu tidak cukup hanya dengan retorika belaka. Semuanya perlu usaha keras sembari berbenah dan merubah diri. Sepertinya memang begitulah yang perlu kita sikapi dalam kehidupan ini. Bukankah Gusti Rosul pernah berkata dengan sabdanya yang penuh nilai filosofis bercita rasa tinggi. “ “Sesunguhnya Alloh tidak akan merubah suatu kaum, selama ia tidak merubah dirinya sendiri.”

Walhasil, seandainya kita banyak belajar dari filosofi keringat pengayuh becak si tiga roda itu, maka akan adem ayemlah polah tingkah hidup ini. Dan sudah barang tentu stabilitas pribadi dan kehidupan sosial bisa dikendalikan dan tentunya akan terkontrol. Orang tidak saling lagi menjatuhkan orang lain. Tidak lagi kita jumpai anarkisme akibat ledakan para pendemo, mogok makan para buruh yang menuntut perubahan hidup secara instan, yang ingin melakukan perubahan dengan cara jalan pintas, atau gugatan-gugatan liar para provokator yang seolah menabuh genderang perang dengan tuntutan sistem birokrasi yang macam-macam, hingga yang paling parah mengadili takdir tuhan akibat kemarahan, keputusasaan terhadap kekejaman hidup yang mengendap begitu dalam direlung-relung jiwa manusia. Filosofi keringat pengayuh tiga roda, barangkali juga, sekaranglah saat-saat yang tepat dan momen-momen yang pas untuk kita munculkan kembali dalam mekanisme dan sistem kehidupan kita, terlebih-lebih ujian sudah didepan mata kita, tam-taman kitab terus mengejar kita, liburan tidak seberapa lama. Barangkali anda bisa menerapkan filosofi keringat pengayuh becak ini

Oleh: Khusnul Munib
Diposkan oleh mading hidayah di 02:40 . Senin, 04 Mei 2009

No comments:

Post a Comment