Saturday, October 27, 2012

The Poems of Chairil Anwar


AKU 

Kalau sampai waktuku 
'Ku mau tak seorang kan merayu 
Tidak juga kau 
Tak perlu sedu sedan itu 
Aku ini binatang jalang 
Dari kumpulannya terbuang 
Biar peluru menembus kulitku 
Aku tetap meradang menerjang 
Luka dan bisa kubawa berlari 
Berlari 
Hingga hilang pedih peri 
Dan aku akan lebih tidak perduli 
Aku mau hidup seribu tahun lagi 



Maret 1943 

PRAJURIT JAGA MALAM
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

(1948)
Siasat, Th III, No. 96 1949

MALAM 

Mulai kelam 
belum buntu malam 
kami masih berjaga 
--Thermopylae?- 
- jagal tidak dikenal ? - 
tapi nanti 
sebelum siang membentang 
kami sudah tenggelam hilang 
Zaman Baru,  No. 11-12  20-30 Agustus 1957 



KRAWANG-BEKASI 
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi 
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi. 
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, 
terbayang kami maju dan mendegap hati ? 
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi 
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak 
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. 
Kenang, kenanglah kami. 
Kami sudah coba apa yang kami bisa 
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa 
Kami cuma tulang-tulang berserakan 
Tapi adalah kepunyaanmu 
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan 
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan 
atau tidak untuk apa-apa, 
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata 
Kaulah sekarang yang berkata 
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi 
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak 
Kenang, kenanglah kami 
Teruskan, teruskan jiwa kami 
Menjaga Bung Karno 
menjaga Bung Hatta 
menjaga Bung Sjahrir 
Kami sekarang mayat 
Berikan kami arti 
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian 
Kenang, kenanglah kami 
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu 
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi 



(1948) 
Brawidjaja, Jilid 7, No 16, 1957 

DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Februari 1943)
Budaya, Th III, No. 8 Agustus 1954

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO 

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji 
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu 
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu 
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945 
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu 
Aku sekarang api aku sekarang laut 
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat 
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar 
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh 



(1948) 
Liberty, Jilid 7, No 297, 1954 
Thursday, April 03, 2003 

PENERIMAAN 

Kalau kau mau kuterima kau kembali 
Dengan sepenuh hati 
Aku masih tetap sendiri 
Kutahu kau bukan yang dulu lagi 
Bak kembang sari sudah terbagi 
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani 
Kalau kau mau kuterima kembali 
Untukku sendiri tapi 
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi. 



Maret 1943 

HAMPA
kepada sri
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

DOA 

kepada pemeluk teguh 
Tuhanku 
Dalam termangu 
Aku masih menyebut namamu 
Biar susah sungguh 
mengingat Kau penuh seluruh 
cayaMu panas suci 
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi 
Tuhanku 
aku hilang bentuk 
remuk 
Tuhanku 
aku mengembara di negeri asing 
Tuhanku 
di pintuMu aku mengetuk 
aku tidak bisa berpaling 



13 November 1943 



SAJAK PUTIH 
Bersandar pada tari warna pelangi 
Kau depanku bertudung sutra senja 
Di hitam matamu kembang mawar dan melati 
Harum rambutmu mengalun bergelut senda 
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba 
Meriak muka air kolam jiwa 
Dan dalam dadaku memerdu lagu 
Menarik menari seluruh aku 
Hidup dari hidupku, pintu terbuka 
Selama matamu bagiku menengadah 
Selama kau darah mengalir dari luka 
Antara kita Mati datang tidak membelah... 

SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

1946

CINTAKU JAUH DI PULAU 

Cintaku jauh di pulau, 
gadis manis, sekarang iseng sendiri 
Perahu melancar, bulan memancar, 
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar. 
angin membantu, laut terang, tapi terasa 
aku tidak 'kan sampai padanya. 
Di air yang tenang, di angin mendayu, 
di perasaan penghabisan segala melaju 
Ajal bertakhta, sambil berkata: 
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja," 
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh! 
Perahu yang bersama 'kan merapuh! 
Mengapa Ajal memanggil dulu 
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?! 
Manisku jauh di pulau, 
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri. 



1946 


MALAM DI PEGUNUNGAN
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

kelam dan angin lalu mempesiang diriku, 
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin, 
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu 
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin 
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang 
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu; 
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang 
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku 



1949 

DERAI DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949



Dengan Mirat 

Kamar ini jadi sarang penghabisan 
di malam yang hilang batas 
Aku dan engkau hanya menjengkau 
rakit hitam 
'Kan terdamparkah 
atau terserah 
pada putaran hitam? 
Matamu ungu membatu 
Masih berdekapankah kami atau 
mengikut juga bayangan itu



1946 

Di Masjid
Kuseru saja Dia
sehingga datang juga
Kamipun bermuka-muka
seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada
Segala daya memadamkannya
Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda
Ini ruang
gelanggang kami berperang
Binasa membinasa
satu menista lain gila
1943


Maju 

Ini barisan tak bergenderang-berpalu 
Kepercayaan tanda menyerbu. 
Sekali berarti 
Sudah itu mati. 


MAJU 

Bagimu Negeri 
Menyediakan api. 
Punah di atas menghamba 
Binasa di atas ditindas 
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai 
Jika hidup harus merasai 
Maju 
Serbu 
Serang 
Terjang 
Februari 1943 

Nisan
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta.
Rumahku
Rumahku dari unggun-unggun sajak
Kaca jernih dari segala nampak
Kulari dari gedung lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Dipagi terbang entah kemana
Rumahku dari unggun-unggun sajak
Disini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
jika menagih yang satu

April 1943 

Sajak Putih 

buat tunanganku Mirat 
Bersandar pada tari warna pelangi 
kau depanku bertudung sutra senja 
di hitam matamu kembang mawar dan melati 
harum rambutmu mengalun bergelut senda 
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba 
meriak muka air kolam jiwa 
dan dalam dadaku memerdu lagu 
menarik menari seluruh aku 
hidup dari hidupku, pintu terbuka 
selama matamu bagiku menengadah 
selama kau darah mengalir dari luka 
antara kita Mati datang tidak membelah... 
Buat Miratku, Ratuku! kubentuk dunia sendiri, 
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini! 
Kucuplah aku terus, kucuplah 
dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku...



1944 


Senja Di Pelabuhan Kecil
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946 

Tjerita Buat Dien Tamaela 

Beta Pattiradjawane 
jang didjaga datu datu 
Tjuma satu 
Beta Pattiradjawane 
kikisan laut 
berdarah laut 
beta pattiradjawane 
ketika lahir dibawakan 
datu dajung sampan 
beta pattiradjawane pendjaga hutan pala 
beta api dipantai,siapa mendekat 
tiga kali menjebut beta punja nama 
dalam sunyi malam ganggang menari 
menurut beta punya tifa 
pohon pala, badan perawan djadi 
hidup sampai pagi tiba 
mari menari ! 
mari beria ! 
mari berlupa ! 
awas ! djangan bikin bea marah

beta bikin pala mati, gadis kaku 

beta kirim datu-datu ! 
beta ada dimalam, ada disiang 
irama ganggang dan api membakar pulau ....... 
beta pattiradjawane 
jang didjaga datu-datu 
tjuma satu

Chairil Anwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 – meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun), dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku), adalah penyair terkemuka Indonesia. Ia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern Indonesia.
Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, dimana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Pusinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
Kehidupan
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau. Ia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya. Namun, Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun; sedikit cerminan dari kepribadian orang tuanya.
Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah.[3] Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman.
Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dimana ia berkenalan dengan dunia sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman.Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.
Penyair
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian. Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945. Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun bercerai pada akhir tahun 1948.
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya. Sebelum menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April 1949; penyebab kematiannya tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena penyakit TBC. Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyarah yang terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus".
Selama hidupnya, Chairil telah menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi; kebanyakan tidak dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul Cemara Menderai Sampai Jauh, ditulis pada tahun 1949, sedangkan karyanya yang paling terkenal berjudul Aku dan Krawang Bekasi. Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak, dikompilasi dalam tiga buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi pertama berjudul Deru Campur Debu (1949), kemudian disusul oleh Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
Karya tulis yang diterbitkan
Sampul Buku "Deru Campur Debu"
    Deru Campur Debu (1949)
    Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
    Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
    "Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", disunting oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
    Derai-derai Cemara (1998)
    Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide
    Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck

Terjemahan ke bahasa asing
Karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya adalah:
    "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960)
    "Cuatro poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962)
    Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963)
    "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969)
    The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970)
    The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974)
    Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978)
    The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

Karya-karya tentang Chairil Anwar
    Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953)
    Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).
    Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974)
    S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976)
    Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976)
    Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976
    H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983)
    Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
    Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
    Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)
    Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995)
    Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Chairil_Anwar
Image by_mytrashart@deviantart.com