Thursday, February 17, 2011

JIWA

Mengapa menangis, Jiwaku?
Kaudapatikah kelemahanku?
Air matamu pedih melukai hati,
Sebab kesalahan tidak kusadari.
Sampai kapan engkau meratapi diri?
Selain kata-kata tiada yang kumiliki,
Hasrat keinginanmu, atau petunjukmu.

Pandangi aku, Jiwaku;
Seluruh hidupku tercurah ajaranmu
Betapa pahit deritaku
Mengikuti liku-liku langkahmu.

Hatiku semula megah bersemayam di singgasana.
Tetapi kini meringkuk sebagai hamba sahaya;
Kesadaranku pernah menjadi sahabat setia,
Sekarang berbalik memusuhi beta;
Keremajaanku dahulu harapanku
Tetapi sekarang mengecam kekuranganku.

Mengapa, Jiwaku, begitu banyak tuntutanmu?
Dan kusingkiri kesenangan duniawi,
Dalam mengikuti petunjuk arah.
Yang kaumestikan keturuti.
Cobalah adil padaku, atau panggil Maut,
Tuk membebaskanku.
Sebab Keadilan itu mahkotamu.

Ampun, Jiwaku, ampuni aku!
Telah kauliputi aku dengan Cinta-kasihmu
Hingga tak kuat lagi aku mendukungnya
Kau dan Cinta-kasih tak terpisahkan dalam daya,
Hati dan diriku tak terpisahkan dalam kelemahan
Kapan berakhirnya pergulatan
Antara kekuatan dan kelemahan?

Ampun, Jiwaku, Ampuniku!
T’lah kautunjukkan Kebahagiaan yang berada
Di luar jarak jangkauanku, Kau dan Bahagia
Tinggal di puncak gunung yang menjulang;
Sedangkan sengsara dan diriku tergeletak bersama di dasar jurang.

Kapankah bertemu puncak gunung
Dengan dasar lembah dalam?

Ampuni aku Jiwaku, ampun.
T’lah kauperlihatkan padaku Keindahan, tetapi
Segera kausembunyikan kembali, Kau dan Keindahan hidup dalam cahaya; Kebodohan dan aku terbelenggu bersama dalam kegelapan nyata.
Kapankah tertembus kegelapan
Oleh cemerlang cahaya?

Kegemilanganmu akan tiba bersama Akhirat nanti,
Dan kini kau mengungkapkannya sebagai pendahuluan; tetapi raga ini menderita bersama kehidupan,
Selama berada dalam ruang kehidupan
Inilah, Jiwaku, yang tidak kufahami.

Engkau bergegas terbang menuju alam Keabadian,
Tetapi raga ini hanya merangkak perlahan-lahan;
Ke arah kehancuran. Engkau tidak dapat menunggu
Sedangkan raga tidak dapat dipacu!
Inilah Jiwaku, tanggungan batinku.

Engkau begitu kaya dalam ilmu dan kebijakan
Tetapi raga ini lamban meraih pemahaman.
Engkau tidak menanggung kompromi,
Sedangkan raga tidak mau mengerti,
Inilah, Jiwaku, derita batinku.

Di kesunyian malam engkau mengunjungi
Sang Kekasih, dan menikmati.
Puncak-puncak kebagiaan kebersamaan,
Sedangkan raga ini tertinggal belaka.
Terpanggang benturan dera antara harapan dan perpisahan
Inilah, Jiwaku, ujung siksaan batinku;
Ampuni aku, jiwaku, ampun!

_oO Khalil Gibran Oo_

No comments:

Post a Comment