Thursday, June 07, 2012

Sajak-Sajak Taufik Ikram Jamil


jarak
berpotong-potong alamat yang kau tinggalkan
hanya menyodorkan perih di dalam mimpiku
e-mail yang gemetar di telapak tangan
nomor telepon bertangkap pasi di muka
juga pos rumahmu yang tersandar lelah
tak sejari pun mendekatkan aku padamu


kakimu di amerika
tapi langkahmu ke belanda
saat rambutmu di inggeris
tapi hitam panjangnya di cina memalis
engkau menangis di pahang
tetapi air matamu jatuh di riau membahang
hatimu terpunggah dekat saudi arabia
tetapi cintamu mewabah ke mana-mana

barangkali aku yang tak bisa membaca tanda
memahami simbol selalu dengan hati kanan
mungkin juga aku yang terlalu loba
mengharapkan bayang-bayang
yang jauh lebih tinggi dari tubuhku sendiri

tak mustahil engkau yang selalu pelupa
memaknai kata dengan cuma
mungkin pula terlalu percaya dikau
kepada setiap tiba akan merasakan sampai
mengampungkan kota dalam rahasia capai

wahai engkau yang terang tak membagi cahaya
wahai engkau yang pelangi tak menyisakan warna
wahai engkau yang elok tak melemparkan paras
wahai engkau yang diam tak memendam sunyi
lihat aku yang terpampang
mengirimkan diriku
yang babak-belur dilindas zaman

~Taufik Ikram Jamil~

menikah
telah kunikahi dikau
dengan jarak sebagai maskawin
walimu adalah dekat tidak tergapai
dengan jarak sebagai maskawin
walimu adalah dekat tidak tergapai
sedangkan saksinya jauh tiada berjarak
melingkarkan cicin di jarimu berwaktu

di depan tuan kadi dari negeri perih
memang tak dapat kuucapkan kesetiaan
sebab aku penjaja kasih
mengetuk pintu bagi pemilik hati
setiap yang memberikan cinta kepadaku
aku ulurkan seribu sayang baginya

maka kita nikmati hari-hari jauhari
di setiap detik yang mengantarkan menit
hingga kita lupa bagaimana cara rahasia
menyembunyikan suka citanya pada jam
kita tiba-tiba menjadi serba tidak terduga
dengan wajah terdedah pada setiap sejarah

pada malam pertama kita tak bersua
karena kita hanya menuju pengakhiran
berujung cita-cita menjadi diri sendiri
dan setiap orang yang mengenal kita
mereka akan mengetahui diri mereka
penuh jelaga dan berdosa

kita akan hidup dari kecemerlangan lidah
hingga setiap benda mencari tinta
untuk merekam patah-patahan ucapan
yang tak sengaja kita sisakan pada alam
kepada masa tanpa tenggat

anak-anak kita akan tumbuh
dalam perjanjian sagu yang menjulang
setiap akarnya akan mekar menyembur nafas
yang bila terbunuh pun
tidak akan rebah ke bumi
tetapi mencari langit dengan pintu membuka
buah tematu dan pelepah
pati dan repu yang menobat berkah

seperti diriku
aku sadar bahwa engkau tidak bahagia
tapi jodoh tak pernah mendustai perkawinan
kita pada posisi yang hanya bisa menerima
kemudian belajar sedikit berharap
agar kecewa tidak banyak tertangkap
~Taufik Ikram Jamil~

datang pada setiap
aku datang pada setiap bimbang
hinggap pada rupa-rupa terbang
kepakku melantunkan lagu-lagu bungsu
suka cita pelaut yang menemukan jejak

tapi lonte dengan mata penuh dendang
memandang paruhku kasihan
menyimpan penatku dalam kutang
kemudian mengirimkannya ke dahaga malam:
bukan kepadaku engkau berkelam

di meja judi aku pun tersadai
tapi daun pakau tak pernah menepati janji
duduk memandangku penuh uji
dengan kelepak di tangan yang membenci
jari-jemarinya meluncurkan dengki
aku dibantai dalam singai:
jangan kepadaku engkau berandai-andai

wisky dan sampanye terbekah-bekah
memapah tubuhku dengan senyum buih
berselingkuh dengan janji-janji putih
kacang dan kentang telanjang
dalam botol ingin berkencan
sekejap alkohol berkelabat
memandang mataku penuh siasat:
jangan pulang setelah sesat

aku muntah dalam pizza
spagheti melilitku dengan percuma
piring-piring yang telah membuka aurat
dengan rock penghantar syahwat
ekstasi berbuntil nikmat
air mineral terperanjat
kepadaku peluk diperketat:
sungguh engkau tak akan berkhianat

aku ketawa pada setiap lampu
pada jalan-jalan yang ditinggalkan arah
meloncat dari kabut ke kabut
duduk di atas bintang bertemankan bulan
kemudian dengan jaket hitam
menggoda dinihari yang tak lagi perawan
tapi embun dengan kekuatan sepi
menolakku ke pinggir hari:
jahanamlah kau yang tak mengenal diri

lalu malam pun bersurai
dengan azam menjunjung setia
syafak membentangkan tangan
bagaikan mengempang semua rasa
aku entah di mana
~Taufik Ikram Jamil~


inilah tabikku yang ditangkap senyap
engkau begitu saja bercakap-cakap denganku
dalam delapanpuluh empat bahasa yang girang
huruf-huruf segera melantunkan dendang
irama yang dipinang kalbu
dibiarkan sunyi tak alang kepalang
berdepan dengan berbagai laku
bahkan pada masa-masa terbuang
pada kenangan yang malu tersipu-sipu

maka berlabuhlah suara-suara dari negeri jauh
di mulutmu teduh
cuma kau sekedar ingin menambatkan sejuk kalimat
pada pancang-pancang catatan pelayaran adab
sedangkan kapal-kapal memunggahkan kata-kata
memenuhi gudang-gudangmu dalam bacaan rmusim
kemudian mengembalikannya dengan beragam pesan
mengarungi tujuh penjuru makna
sinonim atau antonim yang tak memahami lawan
mungkin juga paragraf dan serba-serbi bab
sekejap pun tak berharap pada sebab bersebab

tak lupa kau katakan mimpimu pada karangan
ketika hidup mengenalnya sebagai taman
bukan saja tempat senda gurau bermain riang
tetapi juga keinginan bertimbang nyawa
sehingga kauyakini bagaimana dirimu
tak akan mati oleh sebarang bunyi
tiada berajal dek berjalur tutur
pada lidah yang mengecap petah
seperti marwah dalam hikayat hang tuah

lalu inilah tabikku yang ditangkap senyap
setelah nafasmu tersengal menghatur ungkap
tun perak tegap tak sempat terucap
di tangan alfonso de albuquerque melayap
pati unus terpaksa melepaskan harap
membumbung bagai uap meliput segenap
di kampar badan bertemu tumbang
ke negeri johor datang bertandang
tanah sumatera terkenang-kenang
bersama raja haji julang terbilang
malang melintang tak dapat ditantang

lalu inilah tabikku yang ditangkap senyap
setelah kau tahu betapa bisu dan tuliku berpadu
tak sampai di kata tak jejak di sunyi
setiap khabar segera menjadi diam
di haribaanku yang berpaku segenap gagu
mungkin pula pada suara
yang getarnya disembar lagu tidak bernada
sumbang oleh pinta tunda menunda
simak dan dengar
yang tak rela berkongsi makna

tapi biarkanlah kuhafal komat-kamit bibirmu
agar dalam gerak pun aku tidak terkucil
kusadari telunjukmu mengarah
geliat badanmu yang mempersoalkan padah
ayunan kakimu akan jadi begitu mudah menghela
bagi tapakku yang tak beruas gaduh
dalam jejak 6.000 pedagang asing bertanding
mungkin dikesani 19 laksa pendudukmu berdiam
mengorak jangkau ke segenap mimpi
juga ke sumatera ke jawa mematri islam

akan kau tulis diriku dalam buku-buku
yang disembunyikan halaman
sebaliknya telah kuamati gerak-gerik jarimu lentik
ketika merangkai kenangan berpanjang-panjang
kemudian kita mengaraknya ke tengah kota
seperti julang-julangan pada al-durrat al-manzuum
yang lebih agung dari sultan mahmud
lebih tinggi dari ledang ditambah himalaya

mungkin pada sebuah petang yang tak jauh
bersepadan dengan sayang memanjang
hampir ke selatan dekat bimbang
aku akan coba mengeja wajah dan suaramu
gagapku adalah bentuk kegembiraan yang lain
debar dari penjuru ingin
tanda kita pernah bersama-sama
~Taufik Ikram Jamil~

kita akan menjadi berkitab bijak
di riangku duapuluh kurang satu
bersangga sedih pada tahun batu
hampir dekat dengan safak
engkau merasa tercampak
tapi di wajahmu merah pekat
aku tahu engkau telah terpikat
seperti tun sri lanang mendekat
bak raja ali haji merapat

maka duduklah bersamaku
sehamparan angka sebentangan huruf
merenda kata-kata sepanjang usia
menyulam kalimat di pusat waktu
hingga benda-benda menabung nyawa
menghidupi masa tiada terkira
sementara telah kita rekat makna
pada keluasan ucapan dan tulisan
dawat dan lidah yang tak bersanggah
sebab dan akibat tanpa menyalah

lalu engkau pun berkata setelah usai:
inilah pakaian yang tak habis di badan
tapi juga merahab seluruh tubuh
memakaikan tersurat dengan tersirat
memadankan kawan dengan sahabat
menggenakan benar dengan betul
mematutkan angan-angan dengan cita-cita
aku sendiri larut dalam bustanulkatibin
sedangkan bugahayat al-ani fi hurufi al-maani
sulalatus salatin dan tufhat al-nafis
jadi belakang yang mendapat depan

kita akan menjadi berkitab bijak
memaklumi zaman sepanjang karangan
kita catat nafsu-nafsi di lain tempat
kabur oleh hati yang tak jujur
dan kita akan saling memiliki
karena tak mungkin berlain tuan
~Taufik Ikram Jamil~

kalau roboh kota melaka
kalau roboh kota melaka
papan di jawa kami tegakkan
tapi hutan-hutan
yang segera melebat di dalam dongeng
tak buat teduh cinta kami kepadanya
bahkan kayu-kayan
yang membesar di tengah cerita
menutup kisah untuk bersama

kalau roboh kota melaka
papan di jawa kami tegakkan
tapi hutan-hutan
yang segera membuncah di dalam ingatan
tak bentangkan sayang kami kepadanya
bahkan lahan-lahan
yang meluas di tengah kenangan
menolak impian untuk bersama

kini kami tegakkan papan itu di awan
pada gerak yang tak lagi dianggap berkhianat
setidak-tidaknya kami selalu waspada
bahwa perubahanlah yang paling abadi
menghantar semesta ke batas-batas langit
bergumpal dengan kesejukan meninggi
menderukan hujan di tengah panas

kaki kami akan terpacak di lembah-lembah
dengan langkah membesar ke bukit-bukit
mata kami melautkan gelora sukma
melantunkan doa-doa sayap
pada setiap jasad yang mengucap ungkap

rupanya kita hanya bisa saling memandang
itu pun kami ragukan mata kalian yang membayang
usia telah mengaburkan penglihatan
jauh dan dekat kehilangan sasaran
~Taufik Ikram Jamil~

catatan terakhir oleh raffles
kembali teringat singapura dari suatu tempat
pada suatu ruang yang malahan tak terjangkau sunyi
aku merasa ingin pergi
sebab masa laluku alih-alih dipulaukan
terbentang pelabuhan-pelabuhan jauh
menyaksikan bahasa riang berenang
menatap pendawatan kitab di setiap tanjung
bersapa dengan teluk yang memeluk pantun
atau ombak berjanji sampai
dihantar mimpi laut tentang keabadian
cakrawala yang penuh bertatah marwah

di selat philip yang memecah ombak
telah kulabuhkan keteguhan british
karena harus kubayar bengkulu dengan lunas
seribu cina asal pinang musti disuap
tipu daya adalah modal meranggaskan yang hak
pecah belah menjadi senjata tak bingkas

abdullah munsyi tangkas menaburkan sakit
pada otak dan hati setiap pesinggah
bahkan bagi dirinya sendiri yang kupagari iri
selebihnya kutukar sedu-sedan dengan judi
membiarkan kampung dikungkung malang
bumi putera bahkan harus dipasung
sebaliknya pendatang musti dijunjung
kedua pihak bagaimanapun harus bertembung
memang perjuangan adalah persoalan sampai hati
dan aku menerjemahkannya sebagai godam bakti

dan begitulah di badannya seribu untung mengotot
jari-jemarinya penuh gedung pencakar ketinggian
kapal-kapal datang dan pergi dari perutnya
meninggalkan lemak berlapis seluruh
dialasi nafsu-nafsi dunia di uratnya mengalir
akal hanya mengarah pada bagaimana mengeruk laba
sedangkan jantung adalah kecurigaan yang dipompa takut
sebab hidup adalah satu-satunya pilihan
tak ada yang lain

raffles dari british aku bukan lanun bukan bajak
makanya coba kugali tasik rindu di dadanya yang petak
sehingga orang bisa kembali saat hari berdetak
tapi apa dayaku setelah engku hamidah menemplak
regalia penobatan sultan dicekak
di pulau penyengat sirih emas tetap tercagak
tak dapat kupujuk dengan 50.000 perak
sampai belanda merenggutnya dalam rompak
sultan hussein dari riau juga terpaksa ditetak
traktat london 1824 dicetak pembuat jarak
apalagi setelah tengku abdurrahman merajuk
membuat lee kuan yew menyentak terbahak-bahak

tak juga riau risau apalagi tersilau
malah mengepuk diri dengan buku-buku
membuat pelabuhan-pelabuhan sampai jauh
merenangkan bahasa dengan riang
mendawati kitab-kitab di setiap tanjung
teluk yang memeluk kearifan pantun
atau ombak bersumpah tiba
menghantarkan niat laut tentang keabadian
marwah yang senantiasa mencakrawala

oh umur yang sial berbalut geram
inikah padah semuanya hingga aku terlempar
peristiwa selat menyalinkan dirinya pada nasibku
justeru di negeri sendiri peruntungan tercuri
sekeping roti yang kuminta tak pernah hampir
seteguk anggur malah memuaikan dahaga
dingin tak bisa kulerai panas tak dapat kuusai
rumah adalah sorga yang tak terbayangkan
di depan maut aku terlonta-lonta

maka hari-hariku yang tak lagi terbilang waktu
di tempat yang malahan tak terjangkau sunyi
adalah sesal adalah pilu adalah hampa
yang ujung dan pangkalnya dibelenggu siksa
~Taufik Ikram Jamil~

orang asing rupanya aku
tak ke kualalumpur datangku menjadi hampir
antara pudu raya dan sepang hanya ada lengang
orang-orang bergegas pulang
melayang kenangan setelah petang

dalam taksi yang dihasak sepi
yang melarikan dirinya sendiri
aku coba menyapa angin
kepada debu-debu sebelum berlalu
bendang pepohonan yang tersembunyi
mungkin juga pada kelambatan sangsi
dengan muka yang setengah memberi
pikat yang menyerahkan mata
peduli dengan padangan sekali

alamat yang berselirat tiba-tiba mengumpat
dalam kamar hotel tak bersahabat
tapi aku coba melupakan diam
membaringkan diri bagai jalan
mataku adalah marka
kesenyapan hidungku membuat arah
tempat sesat melipatkan salah
pada pengembara yang memahami kisah

tapi di ruang tamu aku ditunggu pilu
kursi melunjurkan kakinya penat
lampu-lampu bagai kilat
konter berpura-pura ramah
bagi pintu yang enggan membuka
lalu orang-orang keluar masuk
ke diri sendiri bertanding untung

mataku singgah di pohon-pohon palma
mengharapkan serat di dinding kaca
tapi pelepah yang baru saja patah
hantarkan bergalah-galah gundah
juga gorden berwarna biru
merahap sendu yang tua bangka
sejuk dari ekon menderu
meluru sampai ke batas-batas rasa

di restoran aku pesan semangkok jiwaku
berkuah dengan catatan-catatan sejarah
aku mencangkung mengokang nasib
airku sunyi yang ditinggal pergi
tapi cawan yang minum dari mulutku
pun penganan yang meradak usus
berjela-jela memburaikan sedih
kebulurkan perutku dari risau yang terpilih

kereta angkat dengan tangan terketar
tak sanggup membawa tubuhku seberat mimpi
maka aku pun merayap di tangga
dengan seribu anaknya menjulang sayup
semput nafasku tersampuk pada dinding
membuat peta resah berbingkai runsing
letoi bertelagah pegang
dengan letih membuang sayang

aku menghumban diri dalam bilik
membanting pertemuan di atas katil
gebar hanya mampu menutup singkap
namun lemari yang membongkar isinya
menyamar benci berpakaian ragu
membalunkan koyak-moyak berkoper perih
sebaliknya kloset menderas
menceburkan amarah ke lubang tandas

orang asing rupanya aku

tapi negara di manakah negaraku kini
tanpa ic tanpa ktp
tanpa tanda pada isyarat
niat yang sudah lama menunda kenal
bertarak dengan sepihak jarak
bersama pasporku yang berupa kasih
itu pun sudah rabak
seperti tak sanggup untuk berbagi
bahkan kepada diriku sendiri
~Taufik Ikram Jamil~

di sungai siak
tak peduli aku siapa pun engkau
sebab telah kubenamkan jiwamu
di dasar sungai siak
yang menyedot kisah kasih
tempat cerita timbul tenggelam
berkecipak di antara kedalaman idam

matamu akan menjelma jadi daun rengas
tekun menatap arus waktu
hilir mudik nasib yang mengapung
sebelum kiambang bertaup
dilewati tongkang berdayung loba
sebelum engkau tahu
bagai air pasang
betapa deritaku tak pernah surut

akan kaujulurkan kakimu panjang
bersangga pada tebing ketika petang
cuma udang yang berkulit bimbang
setelah diburu merkuri dan zat besi
menganggap tungkaimu sebagai pancang
di situ tertambat selaksa sayang
harapan yang kuyup oleh kenang

rambutmu hitam menjurai
akan ditiup angin sampai menderai
engkau pun mengepangnya dalam syair
mengebatnya beriring dendang
yang di telinga nelayan
di pendengaran penduduk bertubuh sangsai
menjadi dodoi beratus tahun menghilir
ketika mantra dan pantun
justeru tercemar kata-kata
dalam gilingan pabrik tercabik-cabik

engkau ingin telanjang
dalam cium sejarah yang kalah
tapi hidup bukanlah sekedar keikhlasan
sebaliknya seperti asin dan tawar
membancuh rasa sepanjang alur
singgah di lidahmu terkecap payau
hiba yang tiba-tiba beriak
dipukul gelombang yang diciptakan sampah

tak peduli aku siapa pun engkau
sebab telah kubenamkan jiwamu
di dasar sungai siak
yang menyedot kisah kasih
tempat cerita timbul tenggelam
berkecipak di antara kedalaman idam
sekedar engkau paham
aku tak pernah merasa sia-sia
~Taufik Ikram Jamil~


KEPADA JAWA
mungkin kita jumpa lagi pada malam empat persegi
langsung saja bersalin terang dalam bayang
di antara remang-remang bumbung melayang
di samping embun menjingjing dingin
sambil melupakan rama dan sinta
yang berpagut peluk entah di mana
dan mengacuhkan kurawa maupun pundawa
saling berebutan entah untuk apa
betapapun kalimasada kita tatap
dengan seluruh pinta dan segenap harap

saya selalu rindu padamu katamu saat sua itu kelak
tapi engkau menjawabnya dengan kleningan gamelan
hingga aku terpancing untuk menjadi dalang
menghabiskan cerita ke puncak angin
kemudian melesat dalam lirik sinden
yang pada gilirannya meliuk dalam serimpi
dengan getar yang lebih besar dari merapi

sungguh ingin kusaksikan lagi
saat kau bentangkan rambutmu di pantai selatan
sedangkan kakimu di banyuwangi
dengan tangan terkulai di ujungkulon
bengawan solo melilit pinggangmu ramping
jemput aku bermain alun di muaranya

dan bagaikan homo erectus paleojavanicus
sekelip mata mengembara sampai eropa
tapi kau memangilku sebagai arjuna
dengan panah asmara yang sudah memiliki tuju

sempat lama bertatapan di dataran dieng
dengan ketinggian yang tak terpahami
menjadikan kita jadi begitu gelisah
lalu kuhumban pandangan ke kawah bromo
tapi kau mengiringinya dengan lengking
karena khawatir seperti gatotkaca
resah kita akan bertulang baja berkulit besi
kokoh bagai borobudur dan kalasan sekaligus
lalu dengan gusar kau lari menghindar
hinggap tersingkap betismu pada bunting
yang jangan-jangan membuat iri dewi sri
untunglah aku sadar bahwa engkau bukan ken dedes
dan aku tak pula ken arok dengan dada membidang
kita akan terkenang babad tanah jawi
bergenggam ingat antara carik braja dengan adilangu
biarkan hj de graaf menggapai lupa
menadah serat pramono sidhi dengan hampa
ketika kala demi kala berlepas pergi
sebelum akhirnya kita sama-sama manangisi dara petak
sebab oleh kisah salah yang tak sudah-sudah
menjadi lahar yang dipendam empat puluh kepundan
dijinakkan laku berpuluh ribu tahun mengeram

di jepara yang kusebut kalingga kita berjumpa kelak
bukan hanya karena di sana sempat dipesan keranda
bagi raja ali haji yang berimbang nyawa di usia belia
tapi tempat pertama sua kitalah yang menjadi sebabnya
tanpa mengurangi rasa takzim kepada gersik dan tuban
menerima utusan khalifah usman dengan gempita
agar dapat menyadari diri sebagai manusia
sehingga mampu memahami makna syukur tanpa ukur
dan begitulah selanjutnya nafas terhela ke tanah aceh
di pajang dan demak dan mataram sampai tidore bertukar ukir
kemudian memenuhi armada pati unus mara ke Melaka
bahkan terhadap fatahillah dan ratu kalinyamat
disamping menyelinap dalam kitab-kitab kuning
menjadi santri bagi harga diri
juga meregang kekang kuda diponegoro
sebelum tiba saatnya mematut lidah di serantau riau
sampai menggiring soekarno-hatta di rengasdengklok
pun tak serak suara bersama bung tomo

betapa cepat waktu pergi
sementara datang bukan bagian dari dirinya
~Taufik Ikram Jamil~




TAUFIK IKRAM JAMIL lahir di Telukbelitung, Kabupaten Bengkalis, Riau, pada 19 September 1963. Ia mengenyam pendidikan mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Bengkalis. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Riau (PSBSI FKIP Unri), dan selesai tahun 1987.


Selain dikenal sebagai seorang cerpenis dan penyair, Taufik Ikram Jamil juga dikenal sebagai jurnalis. Ia bahkan lebih dulu dikenal sebagai sastrawan berkat cerpen-cerpennya yang dipublikasikan di media-media nasional, seperti Kompas, Berita Buana, majalah Amanah dan sebagainya.


-----------------------------
image by_archanN@deviantart.com