Tuesday, May 08, 2012

Nyanyi Sunyi (1937) ~ Tengku Amir Hamzah

Sunyi Itu Duka
Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus

Padamu Jua
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu


Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku gila, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku ....

Barangkali
Engkau yang lena dalam hatiku
Akasa swarga nipis-tipis
Yang besar terangkum dunia
kecil terlindung alis

Kujunjung di atas hulu
Kupuji di pucuk lidah
Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang

Bangkit Gunung
Buka mata-mutira-mu
Sentuh kecapi lirdusi
Dengan jarimu menirus halus

Biar siuman dewi-nyanyi
Gambuh asmara lurus lampai
Lemah ramping melidah api
Halus harum mengasap keramat

Mari menari dara asmara
Biar terdengar swara swarna
Barangkali mati di pantai hati
Gelombang kenang membanting diri

Hanya Satu
Timbul niat dalam kalbumu
Terban hujan, ungkai badai
Terendam karam
Runtuh ripuk  tamanmu rampak

Manusia kecil lintang pukang
Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba

Teriak riuh redam terbelam
Dalam gegap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi

Terapung naik jung bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Bebas lepas lelang  lapang
Di tengah gelisah, swara sentosa

***

Bersemayam sempana di jemala gembala
Duriat  jelita bapakku Ibrahim
Keturunan intan dua cahaya
Pancaran putera berlainan bunda .

Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah langsung melewat abad.

Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Merasa dikau dekat rapat
Serupa Musi di puncak Tursina.

Permainanmu
Kaukeraskan kalbunya
Bagai batu membesi benar
Timbul telangkaimu bertongkat urat
Ditunjang pengacara petah pasih

Dihadapanmu lawanmu
Tongkatnya melingkar merupa ular
Tangannya putih, putih penyakit
Kekayaanmu nyata,terlihat terang

Kekasihmu ditindasnya terns
Tangan,tapi tersembunyi
Mengunci bagi paten
Kalbu ratu rat rapat

Kaupukul raja-dewa
Sembilan cambuk melecut dada
Putera-mula peganti diri
Pergi kembaii ke asal asli

Bertanya aku kekasihku
Permainan engkau permainkan
Kautulis kaupaparkan
Kausampaikan dengan lisan

Bagaimana aku menimbang
Kaulipu lipatkan
Kaukelam kabutkan
Kalbu ratu dalam genggammu

Kauhamparkan badan
Ditubir bibir pantai permai
Raja ramses penaka durjana
Jadi tanda di hari muka

Bagaimana aku menimbang
Kekasihku astana sayang
Ratu restu telaga sempurna
Kekasihku mengunci hati
Bagi tali disimpul mati.

Turun Kembali
Kalau aku dalam engkau
Dan engkau dalam aku
Adakah begini jadinya
Aku hamba engkau penghulu?

Aku dan engkau berlainan
Engkau raja, maha raya
Cahaya halus tinggi mengawang
Pohon rindang menaung dunia

Di bawah teduh engkau kembangkan
Aku berhenti memati hari
Pada bayang engkau mainkan
Aku melipur meriang hati

Diterangi cahaya engkau sinarkan
Aku menaiki tangga mengawan
Kecapi firdusi melena telinga
Menyentuh gambuh dalam hatiku

Terlihat ke bawah.
Kandil kemerlap
Melambai cempaka ramai tertawa
Hati duniawi melambung tinggi
Berpaling aku turun kembali.

Karena Kasihmu
Karena kasihmu
Engkau tentukan waktu
Sehari lima kali kita bertemu

Aku anginkan rupamu
Kulebihi sekali
Sebelum cuaca menali sutera

Berulang-ulang kuintai-intai
Terus-menerus kurasa-rasakan
Sampai sekarang tiada tercapai
Hasrat sukma idaman badan

Pujiku dikau laguan kawi
Datang turun dari datuku
Diujung lidah engkau letakkan
Piatu teruna ditengah gembala

Sunyi sepi pitunang poyang
Tadak meretak dendang dambaku
Layang lagu tiada melangsing
Haram gemerencing genta rebana

Hatiku, hatiku
Hatiku sayang tiada bahagia
Hatiku kecil berduka raya
Hilang ia yang dilihatnya.

Sebab Dikau
Kasihkan hidup sebab dikau
Segala kuntum mengoyak kepak
Membunga cinta dalam hatiku
Mewangi sari dalam jantungku

Hidup seperti mimpi
Laku lakon di layar terkelar
Aku pemimpi lagi penari
Sedar siuman bertukar-tukar

Maka merupa di datar layar
Wayang warna menayang rasa
Kalbu rindu turut mengikut
Dua sukma esa-mesra

Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu, sepanjang dendang

Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau boneka
Penyelang dalang mengarak sajak.

Doa
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,
setelah menghalaukan panas payah terik
Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan, melambung
rasa menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap-malam menyirak kelopak
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!

Hanyut Aku
Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku
Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin
tiada air menolak ngelak
Dahagaku kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berrepas tangan, aku tenggelam. Tenggelam dalam malam.
air diatas mendidih keras.
Bumi didawah menolak keatas.
Mati aku, kekasihku, mati aku!

Taman Dunia
Kau masukkan aku ke dalam taman-dunia, kekasihku
Kaupimpin jariku, kautunjukkan bunga tertawa; kuntum tersenyum.
Kautundukkan haluku tegak, mencium wangi tersembunyi sepi.
Kaugemelaikan di pipiku rindu daun beldu melunak lemah.
Tercengang aku, takjub, terdiam.
Berbisik engkau:
Taman swarga, taman swarga mutiara rupa”.
Engkaupun lenyap.
Termangu aku gilakan rupa.

Terbuka Bunga
Terbuka bunga dalam hati!
Kembang rindang disentuh bibir-kesturi-mu.
Melayah-layah mengintip restu senyumanmu
Dengan mengelopaknya bunga ini, layulah bunga lampau, kekasihku.
Bunga sunting-hati-ku, dalam masa mengembara menanda dakau.
Kekasihku! inikah bunga sejati yang tiadakan layu!

Mengawan
Rengang aku dari padaku, mengikut kawalku mengawan naik
Mewajah ke bawah, tertentang aku, lemah lunak, kotor, terhantar, paduan benda empat perkara.
Datang pikiran membentang kenang, membunga cahaya cuaca lampau, menjadi terang mengilau kaca.
Lewat lambat aku dan dia, ria tertawa, bersedih suka, berkasih pedih, bagi merpati bersambut mulut.
Tersenyum sukma, kasihan serta.
Benda mencintai benda………………….
Naik aku mengawan rahman, mengikut kawalku membawa warta.
Kuat, sayapku kuat, bawakan aku, biar sampai membidai-belai cecah tersentuh, di kursi kesturi.

Panji di Hadapanku
Kau kibarkan panji di hadapanku.
Hijau jernih diampu tongkat mutu-mutiara.
Di kananku berjalan, mengiring perlahan, ridlamu rata, dua sebaya, putih-putih, penuh melimpah, kasih persih.
Gelap-gelap kami berempat, menunggu-nunggu, mendengar-dengar suara sayang, panggilan-panjang, jauh-teratuh, melayang-layang.
Gelap-gelap kami berempat, meminta-minta, memohon-motion, moga terbuka selimut kabut, pembungkus halus nokta utama.
Jika nokta terduka-raya
Jika kabut tersingkap semua
Cahaya ridla mengilau ke dalam
Nur rindu memancar keluar.

Memuji Dikau
Kalau aku memuji dikau, dengan mulut tertutup, mata terkatup,
Sujudlah segalaku, diam terbelam, di dalam kalam asmara raya.
Turun kekasihmu, mendapatkan daku duduk bersepi, sunyi sendiri.
Dikucupnya bibirku, dipautnya bahuku, digantunginya leherku, hasratkan suara sayang semata.
Selagi hati bernyanyi, sepanjang sujud semua segala,
bertindih ia pada pahaku, meminum ia akan suaraku……………………
Dan,
Iapun melayang pulang,
Semata cahaya,
Lidah api dilingkung kaca,
Menuju restu, sempana sentosa.

Kurnia
Kaukurnia aku,
Kelereng kaca cerah cuaca,
Hikmat raya tersembunyi dalamnya,
Jua bahaya dikandung kurnia,
Jampi kauberi, menundukkan kepala naga angkara.
Kelereng kaca kilauan kasih, menunjukkan daku itu lisan tanganmu.
Memaksa sukmaku bersorak raya, melapangkan dada¬ku menanti sentosa.
Sebab kelereng guli riwarni, kuketahui langit tinggi
berdiri, tanah rendah membukit datar.
Kutilik diriku, dua sifat mesra satu:
Melangit tinggi, membumi keji.

Doa Poyangku
Poyangku rata meminta sama
Semoga sekali aku diberi
Memetik kecapi, kecapi firdusi
Menampar rebana, rebana swarga

Poyangku rata semua semata
Penabuh bunyian turun-temurun
Leka mereka karena suara
Suara sunyi suling keramat

Kini rebana di celah jariku
Tari tamparku membangkit rindu
Kucoba serentak genta genderang
Memuji kekasihku di mercu lagu

Aduh, kasih hatiku sayang
Alahai hatiku tiada bahagia
Jari menari doa semata
Tapi hatiku bercabang dua.

Turun Kembali
Kalau aku dalam engkau
Dan engkau dalam aku
Adakah begini jadinya
Aku hamba engkau penghulu?

Aku dan engkau berlainan
Engkau raja, maha raya
Cahaya halus tinggi mengawang
Pohon rindang menaung dunia

Di bawah teduh engkau kembangkan
Aku berhenti memati hari
Pada bayang engkau mainkan
Aku melipur meriang hati

Diterangi cahaya engkau sinarkan
Aku menaiki tangga mengawan
Kecapi firdusi melena telinga
Menyentuh gambuh dalam hatiku.

Terlihat ke bawah,
Kandil kemerlap
Melambai cempaka ramai tertawa
Hati duniawi melambung tinggi
Berpaling aku turun kembali

Batu Belah (kabaran)
Dalam rimba rumah sebelah
Teratak bambu terlampau tua
Angin menyusup di lubang tepas
Bergulung naik di sudut sunyi

Kayu tua membetul tinggi
Membukak puncak jauh diatas
Bagai perarakan melintas negeri
Payung menaung jamala raja

Ibu papa beranak seorang
Manja bena terada-ada
Lagu lagak tiada disangkak
Mana tempat ibu meminta.

Telur kemahang minta carikan
Untuk lauk di nasi sejuk

Tiada sayang;
Dalam rimba telur kemahang
Mana daya ibu mencari
Mana tempat ibu meminta

Anak lasak mengisak panjang
Menyabak merunta mengguling diri
Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa karena cinta

Dengar…………….dengar!
Dari jauh suara sayup
Mengalun sampai memecah sepi
Menyata rupa mengasing kata

Rang………rang…………rangkup
Rang………rang…………rangkup
Batu belah batu bertangkup
Ngeri berbunyi berganda kali

Diam ibu berpikir panjang
Lupa anak menangis hampir
Kalau begini susahnya hidup
Biar ditelan batu bertangkup

Kembali pula suara bergelora
Bagai ombak datang menampar
Macam sorak semarai rampai
Karena ada hati berbimbang

Menyabut ibu sambil tersedu
Meragu langsing suara susah:

Batu belah batu dertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudan demikian kuperbuat janji

Bangkit bonda bedalan pelan
Tangis anak bertambah kuat
Rasa risau dermaharajalela
Mengangkat kaki melangkah cepat

Jauh ibu lenyap di mata
Timbul takut di hati kecil
Gelombang bimbang mengharu pikir
Berkata jiwa menanya bonda

Lekas pantas memburu ibu
Sambil tersedu rindu berseru
Dari sisi suara sampai
Suara raya batu bertangkup.

Lompat ibu ke mulut batu
Besar terbuka menunggu mangsa
Tutup terkatup mulut ternganga
Berderak-derik tulang-belulang

Terbuka pula,merah basah
Mulut maut menunggu mangsa
Lapar lebar tercingah pangah
Meraung riang mengecap sedap………….

Tiba dara kecil sendu
Menangis pedih mencari ibu
Terlihat cerah darak merah
Mengerti hati bonda tiada

Melompat dara kecil sendu
Menurut hati menaruh rindu……….

Batu belah, batu bertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudan demikian kuperbuat janji.

Di dalam Kelam
Kembali lagi marak-sumarak
Jilat melonjak api penyuci
Datam hatiku tumbuh jahanam
Terbuka neraka di lapangan swarga

Api melambai merengkung lurus
Merunta ria melidah belah
Menghangus debu mengitam belam
Buah tenaga bunga suwarga

Hati firdusi segera sentosa
Murtad merentak melaut topan
Naik kabut mengarang awan
Menghalang cuaca nokta utama

Berjalan aku di dalam kelam
Terus lurus moal berhenti
jantung dilebur dalam jahanam
Kerongkong hangus kering peteri

Meminta aku kekasihku sayang:
Turunkan hujan embun rahmatmu
Biar padam api membelam
Semoga pulih pokok percayaku.

Ibuku Dahulu
Ibuku Dahulu

Ibuku dahulu marah padaku
Diam ia tiada berkata
Akupun lalu merajuk pilu
Tiada perduli apa terjadi

Matanya terus mengawas daku
Walaupun bibirnya tiada bergera
Mukanya masam menahan sedan
Hatinya pedih karena lakuku

Terus aku berkesal hati
Menurutkan sedan mengacau-balau
Jurang celaka terpandang dimuka
Kusongsong juga - biar cedera

Bangkit ibu dipegangnya aku
Dirangkumnya segera dikucupnya serta
Dahiku berapi pancaran neraka
Sejak sentosa turun ke kalbu

Demikian engkau:
Ibu, bapa, kekasih pula
berpadu satu dalam dirimu
Mengawas daku dalam dunia

Insyaf
Segala kupinta tiada kauberi
Segala kutanya tiada kau sahuti
Butalah aku terdiri sendiri
Penuntun tiada memimpin jari

Maju mundur tiada terdaya
Sempit bumi dunia raya
Runtuh ripuk astana cuaca
Kureka gembira di lapangan dada

Buta tuli bisu kelu
Tertahan aku di muka dewala
Tertegun aku di jalan buntu
Tertebas putus sutera sempana

Besar benar salah arahku
Hampir tertahan tumpah berkahmu
Hampir tertutup pintu restu
Gapura rahsia jalan bertemu

Insyaf diriku dera durhaka
Gugur tersungkur merenang mata:
Samar terdengar suwara suwarni
Sapur melipur merindu temu.

Subuh
Subuh

Kalau subuh kedengaran tabuh
Semua sepi sunyi sekali
Bulan seorang tertawa terang
Bintang mutiara bermain cahaya

Terjaga aku tersentak duduk
Terdengar irama panggilan jaya
Naik gembira meremang roma
Terlihat panji terkibar di muka

Seketika teralpa;
Masuk bisik hembusan setan
Meredakan darah debur gemuruh
Menjatuhkan kelopak mata terbuka

Terbaring badanku tiada berkuasa
Tertutup mataku berat semata
Terbuka layar gelanggang angan
Terulik hatiku di dalam kelam

Tetapi hatiku, hatiku kecil
Tiada terlayang di awang dendang
Menangis ia bersuara seni
Ibakan panji tiada terdiri.


Hari Menuai
Lamanya sudah tiada bertemu
Tiada kedengaran suatu apa
Tiada tempat duduk bertanya
Tiada teman kawan berberita

Lipu aku diharu sendu
Samar sapur cuaca mata
Sesak sempit gelanggang dada
Senak terhentak raga kecewa

Hibuk mengamuk hati tergari
Melolong meraung menyentak rentak
Membuang merangsang segala petua
Tiada percaya pada siapa

Insyaf aku
Bukan ini perbuatan kekasihku
Tiada mungkin reka tangannya
Karena cinta tiada mendera

Kutilik diriku kuselam tahunku
Timbul terasa terpancar terang
Istimewa lama merekah terang
Merona rawan membuang sedan

Tahu aku
Kini hari menuai api
Mengetam ancam membelam redam
Ditulis dilukis jari tanganku.


Astana Rela
Tiada bersua dalam dunia
Tiada mengapa hatiku sayang
Tiada dunia tempat selama
Layangkan angan meninggi awan

Jangan percaya hembusan cedera
Berkata tiada hanya dunia
tajam mata kepala
Sungkumkan sujud hati sanubari

Mula segala tiada ada
Pertengahan masa kia bersua
Ketika tiga bercerai ramai
Di waktu tertentu berpandang terang

Kalau kekasihmu hasratkan dikau
Restu sempana memangku daku
Tiba masa kita berdua
Berkaca bahagia di air mengalir

Bersama kita mematah buah
Sempana kerja di muka dunia
Bunga cerca melayu lipu
Hanya bahagia tersenyum harum

Di situ baru kita berdua
Sama merasa, sama membaca
Tulisan cuaca rangkaian mutiara
Di mahkota gapura astana rela.

Sumber: http://www.tengkuamirhamzah.com/
image by_jesschadlys@deviantart