Monday, May 07, 2012

Prosa Liris ~ Tengku Amir Hamzah

Bertemu
Empat tahun, masuk kelima, tiada pernah aku melihat engkau, mendengar kabarmupun tiada, tiba-tiba tahadi, kita bertemu pula. Mimpi yang sama kita mimpikan dahulu itu timbul bermain di ruang mataku, kedengaran kembali gelakmu, bisikmu, kelihatan pula engkau merajuk, bibirmu melengkung, bersaing merah dengan putih.

Tetapi tahadi - kalau tiada engkau gelak, tiadakan kutandai eng¬kau, merah jambu yang menyembahkan warnanya pada pipimu itu telah luntur, matamu yang bening-bening bagai embun berayun di kelopak mawar itu, telah keruh. Kusapa engkau, timbul senyum di bibirmu, jauh hatiku tiada terkatakan, senyumanmu gaya dibuat-buat. Kau bawa aku ke tempat sunyi, ketika kita berpandangan, tahulah aku se-muanya, walaupun sepatahpun tiada kita berkata.
“Kendirian?!”
Menoleh kau ke belakang, kulihat engkau berpegang-pegangan tangan - seperti dahulu. Teruslah aku seorang diri - bulan menangis senyum, bersabai cindai awan rawan.

Kekasihku
1. Kekasihku, tiada Engkau tentukan kita berjumpa. Bila masa itu mulai sampai, dapatkah aku melihat wajahMu? Bolehkan aku mengangkat mukaku akan memandang diKau? Akan tahankahh aku ditimpa cahayaMu?

2. Atau Kau nyahkanlah daku dari hadapanMu? Beriring-iringlah aku dengan mereka menuju tempat yang Kau kutuk dan sumpah, jatuh-telungkuplah aku ke atas bumi yang rekah-belah bernapas panas. Akan menyerulah aku padamu ya Kekasihku, adakah Engkau sahuti?

3. Dalam kelamMu Engkau berjanji memberi mereka makanan duri yang maha lancip, wah Kekasihku, rusaklah kerongkonganku, tembuslah dadaku, binasalah badanku, dan Engkau jualah yang menempa diriku ini, Engkau jua yang mematut dia. Aduh, Engkau rusakkan sendiri pigura-arcaMu yang maha-mulia, bisai-permai, mahkota-kerja ….

4. Engkau jauhkan piala itu daripadaku, ya Kekasihku, piala-mutiara, direnda suwarna, diampu-mutu, berisikan serbat halia diperas. Mabuk aku oleh karenaMu, ya Kekasihku, gila-benar, walaupun durjaMu belum kepandang, hanya kataMu sendu-berpadu dalam kalbuku.

5. Mengembaralah aku, Kekasihku, terus-menerus, senja-cuaca di malam-kelam, di pagi-sunyi, akan mendengar pendar suaraMu, akan mengintip kedip mataMu.

6. Dan apa yang kutatap-teliti, mana yang kutenung-tenang terlihat kulah kilat-kilatMu, tahu-terasalah hatiku bahwa seriMu ada di dalamnya, senang-sentosalah jiwa dadaku oleh karena Engkau hampir padaku, ya Kekasihku.

7. Engkau dan aku tiada bercerai, Kekasihku, seperti api cinta cahaya bagai angin menyerak gerak, tetapi Engkau yang mulia-raya kudus-keramat, seri-puji, sekar-sinar dan aku sujud pada jari kakiMu menunggu restu daripadaMu, haus dahaga akan KasihMu.

8. Dari sebab itu rapatkanlah piala itu padaku, ya Kekasihku, piala asmara, rewarna-suwarna, tempat serbat pati halia, bercampur kapur ….

Mudaku (1)
Dalam rumah ayahku yang gedang, berceruk-ceruk gelap itu, beranjung ke sana beranjung ke mari, besarlah aku seorang. Kata orang aku amat cantik, perempuan-perempuan tua yang datang tandang, memandang daku dengan teliti serta berbisik-bisik. Banyak mereka itu berkata-kata dengan daku serta mematah-matah jariku, atau menolong menarikkan pantis pada alisku; tiada kuketahui bahwa mereka itu datang mencuri melihat rupaku, duta pemuda entahkah siapa. Ada pula yang makan-tidur di rumah ibuku berhari-hari dengan karena Allah sahaja, tiada lain kerjanya bersenda gurau dengan daku. Dilihatnya sulamanku dengan seksama, dimakannya masakanku dengan kercapan, ditinjaunya tanakanku sambil berjinjing - terkadang-kadang timbul panas dalam hatiku, tetapi hormat pada yang tua menegah daku membantah dia.

Remajalah aku dengan timang-timangan ibu, tayangan bapa, kucindan kumbang tiada bertali akupun dipingitlah. Tiadalah lain kerjaku daripada bersolek diri, ke dapur pun jarang, hanya bersulam dan mengerawanglah mengganggu jariku yang lemah-lampai itu. Tiadalah kuketahui lagi apa yang terjadi di halamanku, hanya dari peranginan rumahkulah aku memandang-mandang ke luar kalau matahari berbuni diri, kalau bulan naik berdandan, dan cempaka kuning yang kutanam di halaman depan, hanya puncaknya kulihat nyata. Kalau sekali setahun aku berjalan ke pekan, maka dikeluarkanlah kereta bugi dan si Belang pun meringkik, lari bergontai, bulunya kemilau-kilau laku sutera kena caya. Tudung lingkup yang hampir menutupi segala mukaku pun ungka ditiup angin, maka segarlah kukenakan kembali, malu mata datang menumpang menatap muka gadis remaja. Kenang-kenangan pada hari itu kubawa pulang, kusimpan dalam hatiku seperti muti maha mulia.

Bilamana duduk beramai, bercerita melangkah waktu, kekeluarkanlah ia perlahan-lahan, berdikit-dikit serasa sayang rasaku menengarkan dia pada yang lain.

Mudaku (2)
Sudah dua tiga hari ini mereka selalu datang ke rumah kami mana duduk sana berbisik. Tepak Palembang yang selamanya bersampul putih itu telah keluar, berkocak-tegak di ruang tengah, penuh berisikan sirih dirangkum perak. Dan si Korek pandak ekor telah ditangkap, disembelih sekali. Aku hanya melihat-lihat saja, tiada kabar akan semua. Berangsur-angsur kaumku datang, ma’cik, pa’alang, abang ngah ….

Semuanya memandang daku dengan mata-tertawa, seraya kata gunung dan intan sebagai berpaut pada bibir mereka.

Adik-adikku yang kecil, yang sama tidur dengan daku, mengganggu daku setiap waktu: “ah, ah”, katanya, “penganten baru”. Pucat mukaku, bibirku tiada berdarah rasanya, inilah rupanya makna ribut berpendam itu. Kata adikku itu terdengar ibuku, si Amid kena kubit, si Usin kena piat, lalu menangis meratap panjang.

Tetapi hatiku bertambah ragu, susah katakan bukan, senang jauh disebut, makan ta’ sedap, tidur ta’ nyenyak. Tetapi pa’alang, andong hitam makan tidur sebagai dalam kayangan.

Malam telah tinggi, aku duduk menyulam dekat lampu, kulihat ibu datang mendekati, kuhantarkan sulamanku, menanti katanya. Diuraikannya sanggulku, rambutku jatuh terayak, dikumpul-kumpulkannya bunga rampai simpananku, dilisiknya kepalaku perlahan-lahan. Tangan ibuku yang lemah sejuk itu mengamankan pikiranku kacau, menerangkan aliran darahku, datanglah letih meliputi badanku, guringlah aku atas kelica yang di sisiku itu.

Terdengar-dengar ibuku berbisik, terasa-rasa jariku diraba, tetapi kelopak mataku amat berat, tiada kuasaku lagi membukakannya. Terlayanglah mataku, hilang lupa ‘alam dunia ….

Pagi-pagi, ketika cuaca menali di kaki langit, tersentaklah aku dari tidurku, terpandangkulah jari tanganku berpalut inai. Barulah kuketahui bahwa sebenarnya aku akan kawin ini, berinai-curilah aku tadi malam rupanya. Dengan tiada disengaja renanglah air mataku, kan bercerailah rupanya aku dengan rumah gedang yang beranjung ke sana dan beranjung ke mari ini; kuamat-amati kamarku kecil, bunga kertasku tersisip di dinding, merah jambu, kembang rampak, sayang sedikit pegasnya betul, dilurut si Usin.

Di kaki kelicaku si Manis tidur bergulung, kuusap-usap kepalanya, aduh kan bercerailah kita rupanya, tetapi kan sedihku si Manis tiada kabar, ia mendengkur lemah, senang sentosa tidur cendera. Bederak pintu terbuka, masuk tertawa temanku sebaya, memeluk, membuka inai, bercakap, bertanya, tiada berpangkal. Aku bagai si Bisu ternganga-nganga saja dituntun turun ke kolah mandi, naik ke atas duduk berdandan kuturut semua tiada berpikir. Hanya kudengar sekelilingku ramai, gelak-kegelak, cindan-celola, sindir-sumindir, tepuk-menepuk bagai gelombang beradu hulu.

“Bismillah,” terkejut aku dari termangu, kulihat ma’alang menjabat pisau, sambil meretap anak rambutku.

Tanda terang aku kan kawin.

Nyoman
Hatiku yang terus hendak mengembara ini membawa daku ke tempat yang dikutuk oleh segala kitab-suci dunia, tetapi engkau hatiku berkitab sendiri, tiada sudi mendengarkan kitab lain …. Dan di sana kita berkenalan, engkau dengan daku apakah bedanya engkau dengan daku?

Segala mereka yang mendatangi negerimu, melihat dikau dengan mata penuh gembira, aku juga, tetapi dalam hatiku kecil tumbuh bunga semerbak-harum, yang engkau mataharinya, arah ke mana ia menghala, condong-rebah, menyembah-serah.

Senyummu, sinau selisih seri, merah bersaing putih, menghimbau daku mengiring dikau.

Apakah bedanya engkau dengan yang lain itu?
Apakah cintamu kurang suci dari yang lain itu?
Adakah bibirmu kurang merah dari yang lain itu?
Atau adakah pemandanganmu kurang tajam dari yang lain itu?

Aduh Nyoman, engkau juga tempaanNya, semangatNya juga menggetarkan dikau, kehendakNya juga membawa hatimu berharap!

Apakah bedanya engkau dari yang lain itu?

Tiadakah mungkin keluar dari hatimu-sayang perasaan-seni sentosa suci? Dalam beberapa hari kita bersama itu telah hiduplah kembali hatiku kering, telah berairlah kembali mukaku keruh, telah menyanyilah kembali kalbuku sunyi.

Dan engkau Nyoman tiada berobah dari yang dikatakannya suci itu, dara piara, kuntum-kuncup, malah engkau lebih bakti, lebih ranggi ….

Berkata mereka engkau membuat-buat, berpura-pura, tetapi apakah palsu sendu, engkau menangis, pada kala kita bercerai?

Tualamu terikat pada kepalamu, sanggulmu melayah ke arah lehermu, dan berdirilah engkau di muka rumahmu, seorang dirimu, aku lalu berjalan, menuju pulang, pulang kembali ke tempat kecerdasan berbunga raya, berharum wangi, tempat mereka tunduk-menunduk, bersenyum benci. Timbul terasalah dalam hatiku, bahwa aku kehilangan mutiara maha rupa, sunyi sepilah hatiku, Nyoman, mengaduh keluh kalbuku rusuh.

Engkau Nyoman tiada sekali-kali tahu ke mana aku pergi, sebab engkau dalam kesucian-lemahmu tiada mengetahui di mana letaknya Jawa-raya …. Teringatlah aku kembali pada pertanyaanmu, atau datangkah aku segera? Dan aku, takut menyinggung hatimu, mengiakan katamu, kalau Galungan telah tiba, pada tahun depan, datangkah aku kembali. Dan kini Galungan telah tiba, telingaku berdesing, engkau Nyoman memanggil daku.

Sajak Sebuah
Pada masa dua ribu lima ratus tahun sebelumnya Nabi isa lahir, pada waktu tubiran sungai Nil itu firdaus kebudayaan, adalah sebuah sajak maha halus lemah-melambai tinggal sampai kini, yang sekali telah dinyanyikan pedendang pada irama, buai, kecapi:

Kurnia kami, hari berbuahkan rahman, berbungakan suka.
Penghulu segala dewa!
Marahlah tuan dan lihat.
Urap dan menyam kami persembahkan
Kusuma dan bakung pedandan leher
Dinda tuan intan rupawan,
Yang siuman dalam hatimu
Yang merangkai pada sisimu.
Marilah diri. Gambang dan dendang
Merdu mengalu, Hari duka
telah lenyap, sukacita bertabur ria,
sampai tuan tiba ke benua, yang diam semata-mata.
Lepaslah tuan dari kami selama-lamanya.

Sumber: http://www.tengkuamirhamzah.com/