Monday, August 06, 2012

LAGU PEMACU OMBAK (STA)

Introduction
Hidup ialah maju bergerak, selalu, selalu maju bergerak, gembira berjuang dari tingkat yang satu ketingkat yang lain (Selalu Hidup)
Semangat Bergelora. Jiwa Dinamis. Pikiran luas terbuka. Horison pikiran. yang menjulur menjangkau masa depan adalah ciri khas sajak Sutan Takdir Alisjahbana (STA)


Di Candi Prambanan
Dari Jauh angin mengombak padi, desir membuai daun ketapang diatas kepalaku.
Susunan batu tingkat meningkat, indah berukir arca, membangunkan candi tempat memuja
Dimata kalbuku terbayang pendeta, menelutut-tunduk di hadapan dewa memohonkan sempana : Di dalam hati menyala bakti, menyerahkan badan dan jiwa kepada batara sakti.
Datang bisikan dari jauh,sayup sendu menyelapi sukmaku : Berabad-abad candi terlupa, masa baik berganti buruk. Seni yang dilahirkan bakti sukma yang ikhlas tak mungkin!
Hatiku tiada rindu kepadamu masa, ketika pendeta meniarap dihadapan Syiwa, ketika jiwa berbakti menjelma candi berarca.
Tidak! Tidak! Tidak!
Ya Allah, Ya Rabbani, kembalikan ketulusan jiwa berbakti pembentuk candi kepada umatmu!
Dan aku akan melahirkan seni baru, tidak serupa bentuk ini......., abadi selaras dengan gelora sukma dan zamanku.
    Prambanan, 14 Januari 1933
    Dari : Pujangga Baru, Juli, 1933.

Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan
Lang putih jauh sayup menyisir awan.
Dari kapal beta tahulah beta, bahwa masih ada tanah daratan.

Wahai Tuhan, tiadakan lagi kapalku dengan bendera girang berkibar diiramakan ombak masuk pelabuhan.

Dengan layar compang-camping dan kemudi gila serupa ini, pastilah kapalku akan terkandasdi gosong atau dikarang.

Biarlah! biarlah!
Tariklah beta, gosong, pada pasirmu yang liat!

Tetapi selama pengembaraanku ini sejenak lagi beta hendak bertangas dalam harapan.
sekali lagi beta hendak mengecap nikmat nakhoda menuju pelabuhan.

Lang putih jauh sayup menyisir awan.
Dari kapal beta tahulah beta, bahwa masih ada tanah daratan.
    1 Maret 1937
    Dari : Pujangga Baru, Agustus 1937.

Seindah Ini
Terdengarkah kepadamu himbau burung di hutan sunyi meratap siang di senja hari?
Remuk hancur rasa diri memandang sinar lenyap menjauh dibalik gunung.
Perlahan-lahan turun malam menutupi segala pandang.
*
Menangis, menangislah hati!
Wahai hati, alangkah sedap nikmatnya engkau pandai menangis!
Apa guna kutahan, apa guna kuhalangi?
*
Aku terima kasih kepadamu, Tuhan, memberiku hati tulus penyerah sindah ini:
Sedih pedih, waktu menangis!
Girang gembira, waktu tertawa!
Marak mesra bercinta, waktu bercinta!
Berkobar bernyala berjuang, waktu berjuang!
    10 Agustus 1937
    Dari : Pujangga Baru, Agustus 1937

Selalu Hidup
Dan ketika aku melihat dari kebunku ke bawah,
ke sawah tunggul jerami ditanah rekah,
dan dari sana memandang ke bukit kering merana,
terus kehutan hijau dibaliknya,
sampai ke gunung bersandar di langit biru yang permai,
maka masuklah bisikan ke dalam hatiku :
Hidup ialah maju bergerak,
selalu, selalu maju bergerak,
gembira berjuang dari tingkat yang satu ketingkat yang lain.
......................................................
Topan, datanglah engkau menyerang!
Malang datanglah engkau menghalang!
Kecewa, engkaupun boleh datang mendera!
Badanku boleh terhempas kebumi!
Hatiku boleh hancur terbentur!
Wahai, teman, besi baja yang keras
hanya dapat ditempa dalam api yang panas.
Dan Tuhan,
berikan aku api senyala-nyalanya!
Tiap-tiap beta keluar dari nyalamu,
terlebur dalam bakar apimu,
nampak kepada beta :
Dunia bertambah jelita!
Diriku bertambah terkunia!
Dan engkau Tuhan, bertambah mulia!
    21 Agustus 1937
    Dari : Pujangga Baru, 1937

Kepada S.......
Tahukah engkau, sayang,
Bahwa hati penyair itu hati pencari?
Mencari, mencari selalu mencari,
Mencari, bukan memperoleh, bukan untuk mempunyai.

Akh, mengapa kukatakan serupa itu?
Penyairpun hendak memperoleh dan mempunyai.
Tetapi di atas dan di balik-di atas segalanya,
Ia hendak menyerah dan memuja,
Menyerah dan memuja dengan seluruh jiwanya.

Hendak kuarak engkau, sayang, diawan yang berlagu segala
warna.
Engkau terlampau berat dan jatuh ke bumi......................
Hendak kusimpan, engkau, sayang, di dasar lubuk yang dalam
dan penuh rahasia.

Engkau terlampau ringan dan naik ke atas......................
Tetapi......tiadalah sampai hatiku melihat engkau terhempas
dibumi dan terapung di air.

Tahukah engkau, sayang,
Betapa remuknya hati penyair :
Memperoleh, tetapi tidak menyerah
Mempunyai, tetapi tidak memuja?
Wahai, ke manakah engkau akan ku bawa?
    23 Agustus 1937
    Dari : Pujangga Baru, Agustus 1937

Jangan Tanggung Jangan Kepalang
Jangan tanggung jangan kepalang,
Bercipta mencipta,
Bekerja memuja,
Berangan mengawan,
berperang berjuang.

Mengapa bimbang berhati walang,
Berhenti tertegun langkah tertahan,
Takut tertegun segala kerja,
Sangsi berharga apa dipuja?

Wahai teman,
Merata buih di tepi pasir,
Tetapi gelombang mengulang,
Gairah menggulung menuju teluk
Selara tua gugur ke tanah,
Pucuk muda tertawa mengorak sela,
Keranda muram diusung ke makam,
Jejaka muda bersumpah baka,
Cinta gairah hati remaja.

Lenyapkan sangsi, lenyapkan ngeri,
Indah gelombang mengejar pantai,
Indah pucuk menjelma rupa,
Indah remaja memuja cinta,
Benar, indah segala hidup,
Menyerah tenaga menurut hasrat,
Tiada tanggung tiada kepalang.
    Oktober 1937
    Dari : Pembangunan, Tahun I, No. 19-20,
    10-25September

Pesta Di Kebun
Lihat, teman,
Pandangan kering kuning terbakar
Hijau kembali permai terbabar
Segala pohon yang merundukkan daun
letih lelah, kusam kelabu
bersorak kembali mengibarkan pucuk
muda jelita, ria bercahaya

Pohon mannga memperagakan buah
sarat berat bernas bundar
Rambutan memancangkan kembang
Indah berkarang di cahaya terang
Batang jeruk berbaju baru
Beludu halus hijau muda
bersunting kembang putih jernih

Dan dengan tenang
Lebah jaka terbang berdendang
Hinggap di kembang terbang ke kembang
Mabuk wangi cinta berahi
Jauh mengguruh kerbau melenguh
Mencium bunga hasratkan kawan

Lihat dan dengarlah teman
Kemarau kering sudah berhenti,
Hujan segar menghidupkan bumi,
Seluruh alam penaka berpesta,
Girang gairah seluruh buana
Segala gembira segala bersuka,
Gembira tertawa gembira mencipta.
    9 Oktober 1937

Kepada Kaum Mistik
I
Engkau mencari Tuhanmu di malam kelam
Bila sepi mati seluruh bumi
Bila kabur menyatu segala warna
Bila umat manusia nyenyak terhenyak
Dalam tilam, lelah lelap
Tahulah aku, Tuhanmu Tuhan diam kesunyian!

Tetapi aku bertemu Tuhan-ku di siang-terang
Bila dunia ramai bergerak
Bila suara memenuhu udara
Bila nyata segala warna
Bila manusia sibuk bekerja
Hati jaga, Mata terbuka
Sebab Tuhanku Tuhan segala gerak dan kerja

Aku berbisik dengan Tuhanku
dalam kembang bergirang rona
Aku mendengar suara Tuhanku
dalam deru mesin terbang diatas kepalaku
Aku melihat Tuhanku
dalam keringat ngalir orang sunnguh bekerja

II
Berderis decis jelas tangkas
Tangan ringan tukang tangkas
Menggunting ujung rambutku
Jatuh gugur bercampur debu

Aku melihat Tuhanku Akbar
Ujung rambut di tanah terbabar
Teman, aku gila katamu?
Wahai, aku kasihan melihatmu

Mempunyai mata, tiada bermata
Dapat melihat, tak pandai melihat
Sebab beta melihat Tuhan ada dimana-mana
Diujung kuku yang gugur digunting
Pada selapa kering yang gugur ke tanah
Pada panas matahari yang terbakar
    19 Oktober 1937


Lagu Harapan
Tukang angklung papa lalu di jalan :
Baju cabik,badan kumal,
Langkah lesu, mata berat.
Di depan tiap gedung berbunyi angklungnya.

Alangkah nyaring penuh suaranya
Berbunyi melagukan gunung harapanya
Tiada sepadan dengan nasibnya
Hina papa mengendarai buana

Di tiap rumah di tiap teratak
Diulangi lagi mula semula
Bergelora pula nyayi suaranya
Tiada berubah tiada berkurang

Sebab selama kelana kembara
Memperoleh tidak sama belaka
Lagu harapan nikmat semata
Tiap suaranya mesrah bergetar
Angklung mendengung ditanai irama
Tercurah kepenuhan hasrat hatinya.

Hidup Di Dunia Hanya Sekali
Mengapa bermenung mengapa bermurung?
Mengapa sangsi mengapa menanti?
Menarik menunda badai dahsyat
seluruh buana tempat ngembara
Ria gembira mengejar berlari
anak air di gunung tinggi
memburu ke laut sejauh dapat
Lihat api merah bersorak
naik membumbung girang marak
mengutus asap ke langit tinggi!

Mengapa bermenung mengapa bermurung?
Mengapa sangsi mengapa menanti?
Hidup di dunia hanya sekali
Jangkaukan tangan sampai ke langit
Masuk menyelam sampai ke lubuk samudra
Oyak gunung sampai bergerak
Bunyikan tagar berpancar sinar
Empang sungai membanjiri bumi
Aduk laut bergelombang gunung
Gegarkan jagat sampai berguncang
Jangan tanggung jangan kepalang

Lenyaplah segala mata yang layu
Bersinarlah segala wajah yang pucat
Gemuruhlah memukul jantung yang lesu
Gelisahlah bergerak tangan
Terus berusaha selalu bekerja
Punah
Punahlah engaku segala yang lesu
Aku hendak melihat
api hidup dahsyat menyala,
menyadar membakar segala jiwa.
Aku hendak mendengar
Jerit perjuangan garang menyerang
langit terbentang hendak di serang.
Aku hendak mengalami
bumi berguncang orang berperang
Urat seregang mata menantang
    12 Januari 1938

Menuju Kebudayaan Dan Masyarakat Baru

Manusia dan Tuhan

    Bermuim-musim yang lampau datang lah seorang jejaka mendaki gunung tempat taman yang permai.
    Riangan dan ringkas kakinya melangkah dan matanya bersinar-sinar, sebab dihadapanya terbayang pertemuan dengan Kekasih yang telah lama dihasratkan

    Tiba dihadapan gerbang mengetuklah mengetuklah ia dengan suara yang mesra dan gemetar oleh rasa bahagia di dalam hatinya:

    "Sayang, bukakan gerbang, abang datang menjelang dari jauh, luas buana tempat 'ngembara, deras arus yang diarungi."
    "Siapa?" berbunyi suara halus dari dalam
    "Saya!"
    "Saya? Siapakah engkau?"
    "Saya? Buah hatimu yang datang menjelang dari jauh!"
    "Saya? Saya? Aku tiada kenal akan Saya dan enyahlah engkau dari sini!"
    Pudarlah muka yang berseri tunduk terkulai kepala remaja. Hilang bumi tempat berpijak, tetapi sebelum berbelok turun kembali terkilatlah pikiran dan mengetuk pulalah tanganya. Maka berkatalah ia dengan suara putus-putus minta hiba:

    "Sampai hati benar kau sayang, menyuruh abang pulang kembali. Semua percobaan abang rasakan, segala penderitaan abang tanggungkan, engkau semata-mata ada di dalam hatiku.

    Wahai dirimu sendirilah yang datang kembali kepadamu ini."
    Maka berbukalah gerbang yang berat itu dan masuklah jejaka melenyapkan dirinya dalam Kekasihnya..............

    Tetapi sejak itu didalam taman menjadi sepi. Manakah bunyi unggas yang dahulu seramai itu? Pohon-pohon menjulang ranting, tiada berpucuk, bunga tiadapernah berkembang lagi.
    *
    Tiadalah terduga berapa lamanya sunyi-senyap celaka merana itu. Pada suatu hari datang pula jejaka muda mendaki gunungyang sepi-mati, tempat lumut menutupi segala yang berdiri dan seluruh alam seperti tertegun tumbuhya.
    Lemah langkahnya, lesu rupa mukanyadan pandangan matanya tiada bersinar. Sebab didalam hidupnya ia tiada pernah bergirang.
    Tiba di muka gerbang mengetuklah jarinya yang kurus-halus dan suaranya bergumam antara kedengaran dan tiada:
    "Sayang, segeralah bukakan gerbang, dirimu sendiri datang kembali menjelangmu. Lemah rasa badan, sebab jauh bumi yang diedari dan luas laut yang diseberangi.
    "Siapa?" berbunyi suara halus dari dalam.
    "Dirimu sendiri pulang kembali kepadamu."
    "Diriki sendiri? Diriku sendiri? Wahai alangkah dustamu, sebab aku hanya sendiri. Enyahlah kau, orang yang tiada tahu akan nilai dirinya."

    Maka mudurlah badan yang letih lesu, tetapi tiba-tiba selaku selaku terkejut ia berbalik pula, sebab pikiranya bersinar dalam kalbunya. Bercahayalah mata yang kabur seperti terbangun dari mimpi yang jauh. Seluruh badanya hidup kembali. Memukul pulalah tanganya sekali lagi dan berbunyilah suaranya tetap dan pasti:

    "Sayang, bukakanlah gerbang, abang datang hendak berbakti kepadamu."
    "Siapa?"Seru suara dari dalam pula.
    "Saya, abangmu, yang datang dari jauh."
    "Siapa?"
    "Saya, saya! Siapa lagi: Saya!"jawab jejaka tiada sangsi.
    Maka berbukalah gerbang gerbang yang berat itu dan melangkah jejaka dengan langkah yang tegap.........

    Dan seluruh taman menjadi sibuk dan hidup kembali: pohon berpucuk pula seperti sediakala dan kembang berebut-rebutan memperagakan warnaya.

    Sebab Kekasih tiada cintakan dirinya sendiri dan jejaka tahu akan nilai dirinya dan rahmat yang terlimpah kepadanya. Maka dalam baktinya kepada Kekasihnya dirinya tumbuh menjadi sempurna dan tenaganya berlimpah-limpahan menyempurnakan segala sesuatu di sekitarnya.
        Dari : Pujangga Baru, Nov. 1939


Manusia Utama
    Beta selalu menggemari pemandangan lantang: di pinggir laut yangluas, dipuncak gunung yang tinggi.

    Dan sekarang beta sendiri ditengah padang yojana: sejauh mata memandang ruang lapang, diatas membentan gelanggang awan terbang.

    Di sini dada kurasa limpah ruah, darah, mengalir berbusa-busa, tenaga mekar tiada terhambat.

    Tuhan menjadiakan manusia penguasa seluruh buana: matanya tembus menerus segala adangan, telinganya menangkap segala getaran, langkahnya melewati segala watas dan tangannya menjangkau ke balik angkasa.

    Dan hanyalah ketakutannya sendiri yang menjadikan makhluk utama itu ulat papa tiada berdaya.

    Beribu tali dibelitkanya sekeliling badanya, sehingga akhirnya ia tiada dapat bergerak lagi.

    Picik matanya akan rahasia alam dan takutnya akan mati disucikanya menjadi agama. Malasnya berpikir dan menyelidiki dinamakan percaya.

    Takutnya bertanggungjawab disembunyikanya dibalik nasib. Ngerinya berjalan sendiri dipalutnya dengan keluhuran sepuhan adat.

    Dan Akhirnya tertutuplah sekalian kemungkinan alam yang luas baginya dalam kepompong gelap yang dijalinya sendiri........

    Sedangkan bagi kepompong ulat, makhluk yang lata itu, alam menjajanjikan kemuliaan dan kemegahan, telah sepatutnya bagi kepompong manusia, makhluk utama yang lengkap beralat dan berbekal itu, hanyater untuk kehinaan dan kemelaratan.

    Sebagai hukuman akan kealpaannya terhadap penjelamaan kebesaran dan kekuasaan Tuhan dalam dirinya.
        4 Mei 1944
        Dari : Majalah Pembangunan. Tahun I, No.2.
        25 Desember 1945.

Kalah Dan Menang

Tidak, bagiku tidak ada kalah dan menang!

Sebab sudah kuputuskan, bahwa kemenangan sudah pasti untukku saja. Kalah tinggal pada mereka yang lain:
Yang mengelu bila terjatuh,
Yang menangis bila teriris,
Yang berjalan berputar-putar dalam belantara

Di padang lantang yang kutempuh ini,
aku tak mungkin dikalahkan:
Sebab disini jatuh sama artinya dengan bertambah kukuh berdiri.
Tiap-tiap pukulan yang dipukulkan berbalik berlipat ganda kepada sipemukul.
Malahan algojoku sekalipun yang akan menceraikan kepalaku dari badanku, akan terpancung sendiri seumur hidupnya:

Melihat Air mataku tenang menutup dan bibirku berbunga senyum.
    4 Mei 1944
    Dari : Majalah Pembangunan, Tahun I, No.2,
    25 desember 1945

Buah Karet
    Sekali aku duduk di bawah pohon karet dan terkejut mendengar letusan nyaring diatas kepalaku: biji matang mengahambur dari batangnya.
    Ya, aku atahu, di mana mana tumbuh menghrndaki bebas dari ikatan!
    *
    Terdengarlah itu olehmu, wahai angkatan baru?
    Putuskan, hancurkan segala yang mengikat!
    Rebut gelanggang lapang di sinar terang!
    Tolak segala lindungan!
    Engkau raja zamanmu!
    *
    Biar mengeluh, biar merintih segala nenek moyang!..
    Lagi pohon yang insaf, bahwa biji yang sekian lama di kandungnya itu akan busuk di bawah lindungan.
    Bahwa bayangan rindang yang meneduhi itu menghalangi tubuh.
        5 Mei 1944
        Dari : Majalah Pembangunan, Tahun I, No.2,
        25 Desember 1945.

Menghadapi Maut
Kulihat,
Kurasakan:
Peluru mendesing menembus kening,
Pedang bersinau memenggal leher,
dan
Tergulinglah jasad di tanah:
Darah mengalir merah panas.

Sekejap pendek;
Kaki melejang-lejang,
Urat berdenyut meregeng-regang.
Sudah itu
Diam
Sepi
Mati,
Muka menyeringai pucat pasi.

Datang mendorong dari dalam:
Mana harapanku, mana cita-citaku?
Sebanyak lagi itu lagi 'kan kukerjakan!
Mana isteriku, mana anakku,
Karib handai tolan?
Lenyaplah sekalianya selama-lamanya?
Hampa!
Kelam!
Ngeri!
Tanganku menggapai-gapai;
orang karam mencari ranting.

Wahai nasib,
Sebanyak itu perjuangan!
Sebanyak itu pengikat!
Pemberat hati kepada dunia!

Sedangkan,
Dari semula telah kutimbang,
Kupikir, kurenung matang-matang:
Di tengah peperangan seluruh buana,
Hebat dahsyat tiada beragak:
Bom peluru mungkin menghancur remuk,
Perampok penyamun mungkin menggolok,
Disentri, kolera, lapar mungkin mencekik......

Dan diantara mati pelbagai mati,
Bukankah ini telah kupilih,
Dengan hati jaga, mata terbuka?
Wahai rahasia hidup!
Penuh pertentangan, penuh kesangsian!
Bearat sungguh menjadi manusia!
    Tahanan Seksi Tanah Abang, Januari 1945
    Dari Majalah Pembanguan, Tahun I, No. 19-20.
    10-25 Desember 1946.

Menuju Ke Laut
Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat

"Ombak ria berkejar-kejaran
digelanggang biru bertepi langit.
Pasir rata berulang dikecup,
tebing curam ditantang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
Dalam berlomba bersama mega."

Sajak itu jiwa gelisah,
Selalu berjuang, tiada reda,
Ketenangan lama rasa beku,
gunung pelindung rasa pengalang.
Berontak hati hendak bebas,
Menyerang segala apa mengadang.

Gemuruh berderuh kami jatuh,
terhempas berderai mutiara bercahaya,
Gegap gempita suara mengerang,
dahsyat bahana suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti
pelik dan tempik sambut menyambut.

Tetapi betapa sukarnya jalan,
badan terhempas, kepala tertumbuk,
hati hancur, pikiran kusut,
namun kembali tiadalah ingin,
ketenagan lama tiada di ratap.
...............................
Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi nikmat.
    Dari : Majalah Pembangunan, Tahun I, No. 19-20,
    10-25 Desember 1946.

Angin
Angin,
Kata orang engkau mengerang,
bila menderu di pohon kayu
Selalu ngembara di mulia buana.

Aku tahu mereka tak tahu
Mengapa sanak selalu bergerak
Selalu gelisah selalu pindah
Selalu dikejar selalu mengejar.

Ah, angin
Tiada tahgu mereka segala,
girang gerak, selalu ngembara
Kakinya berat tanganya sendat
Hatinya lumpuh anganya lesu.
    Dari : Pujangga Baru, Juni 1948

Kerabat kita
Bunda,
masih terdengar petuamu bergetar
waktu ku tertegun diambang pintu,
melepaskan diriku dari pelukmu:
"Hati-hati dirantau orang, anaku sayang,
Berkata di bawah-bawah, mandi di hilir-hilir.
Diman bumi di pijak di situ bumi dijunjung."

Telah lama aku mengembara:
Jauh rantau ku jelajah,
banyak selat dan sungai kusebrangi,
gunung dan gurun ku edari.
Beragam warna, bahasa, dan budaya manusia,
teman aku bersantap, bercengkrama, dan bercumbu,
lawan aku bertengkar dan berselisih.

Diruntuhan Harapa Dan Pompeyi aku ziarah,
Dari menara Eifel dan Empire State Building
aku tafkur memandang semut manusia.
Di pembajaan Ruhr dan Nagasaki
aku bangga melihat kesanggupan ummat
berpikir, mengatur dan berbuat.

Kuhanyutkan diriku dalam lautan manusia
di Time Square di New York dan Piccadily di London.
Kuresapkan lagu kesepian pengendara unta
di gurun pasir dan batu Anatolia.
Saga Islandia yang megah di padang salju yang putih.

Bunda,
Pulang dari rantau yang jauh
berita girang kubawa kepadamu,
resap renungan petua keramat,
sendu engkau bisikkan di ambang pintu:
Di mana-mana aku jejakkan kaki,
aku berjejak di bumi yang satu.
Dan langit yang kujunjung
di mana-mana langit kita yang esa

Bunda,
Alangkah luasnya dan dahsyatnya kerabat kita,
kaya budi kaya hati
pusparagam ciptaan dan dambaan.
    Honolulu, HARI IBU, 1962
    Dari : Majalah Horison, Oktober 1971

Pemacu Ombak
Pemacu ombak di segara raya,
Gelisah terapung berbuai-buai
Diatas alun-alun kecil,
Menantikan ombak tinggi padu,
Gairah menggulung menuju pantai.

Di depan membentang di samud'ra biru,
Jauh menghabis di garis lengkung,
Tempat langit mantap bertahan,
Dan awan tipis ta'jub tertegun.

Di sini segalanya tiada berhingga:
Ketinggian langit melingkungi semesta,
Keluasan angin digelanggang biru,
Kedalaman rahasia ombak bergolak.
*
"Datang, datanglah alun perkasa!
Tinggi biru berpuncak putih,
Saya 'lah siap di atas peluncur,
Menanti anda menjulang tinggi."
*
Meninggi, meninggi alun biru.
Sejenak pendek:
otot berseregang
jantung terhenti
Dan peluncur tangkas merebut ombak,
Garang liar mengejar pantai.
Cepat cergas pemacu gairah,
Tangkas terpegas di papan peluncur,
Menguakkan tangan meluruskan badan,
Menegakkan kepala anggun bangga,
Merangkum rahasia permainan abadi,
Antara langit, air dan angin.

Pemacu ombak di segara raya,
Gelisah terapung berbuai-buai
Di atas alun kecil-kecil,
Menantikan ombak tinggi padu,
Gairah menggulung menuju pantai.
    Pantai Kuta, 17 september 1974

Sumber : http://nhoper.blogspot.com/search/label/Puisi%20ST%20Alisyahbana
image : http://www.alisjahbana.org/