Wednesday, March 07, 2012

Hikmah Kesengsaraan

Lihatlah buncis dalam periuk, betapa ia meloncat- loncat selama menjadi sasaran api.
Ketika direbus, ia selalu timbul ke permukaan : merintih terus-menerus tiada henti.

"Mengapa engkau letakkan api di bawahku ?
Engkau membeliku: Mengapa kini kausiksa aku seperti ini ?"
Sang isteri memukulnya dengan penyendok
"Sekarang," katanya "jadi benar-benar matanglah kau dan jangan meloncat lari dari yang menyalakan api.

Aku merebusmu, namun bukan karena kau membangkitkan kebencianku ;
sebaliknya, inilah yang membuatmu menjadi lezat
Dan menjadi gizi serta bercampur dengan jiwa yang hidup; kesengsaraan bukanlah penghinaan
Ketika engkau masih hijau dan segar, engkau minum air di dalam kebun: air minum itu demi api ini.

Kasih Tuhan itu lebih dahulu daripada kemurkaan-Nya, tujuannya bahwa dengan kasih-Nya engkau dapat menderita kesengsaraan.

Kasih-Nya yang mendahului kemurkaan-Nya itu supaya sumber penghidupan, yang ada, dapat dihasilkan;
Bahkan kemudian Tuhan Yang Maha Agung membenarkannya, berfirman, "Sekarang engkau telah tercuci bersih dan keluarlah dari sungai."
Teruslah, wahai buncis, terebus dalam kesengsaraan sampai wujud ataupun diri tak tersisa padamu lagi.

Jika engkau telah terputus dari taman bumi, engkau akan menjadi makanan dalam mulut dan masuk ke kehidupan.

Jadilah gizi, energi, dan pikiran ! Engkau menjadi air bersusu : Kini jadilah singa hutan !
Awalnya engkau tumbuh dari Sifat-sifat Tuhan;
kembalilah kepada Sifat-sifat-Nya !
Engkau menjadi bagian dari awan, matahari dan bintang-bintang ; Engkau 'kan menjadi jiwa, perbuatan, perkataan, dan pikiran.
Kehidupan binatang muncul dari kematian tetumbuhan: maka perintah, 'bunuhlah aku, wahai para teman setia', adalah benar.

Lantaran kemenangan menanti setelah mati, kata- kata, 'Lihatlah, karena dibunuh aku hidup,' adalah benar."

Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri (Jalaluddin Rumi)