Wening,
Dumling cenger jabang,
Wruh pepadhang miwah sepi,
Swasana plong procot mijil,
Guwa garba biyungipun.
Hayu rahayuwa,
Jabang biyang baraya gung,
Karoban berkah Pangeran,
Slamet ing salami-lami.
Glewo gewalagang,
Sabawane nangis ngguyu,
Mimik pipis lan kalegan,
Yayah rena sambung rasa.
Twajuh nggulawentah,
Tresna asih rina wengi,
Titi tlaten tan angresah,
Ginadhanganom utama.
Makna filosofis gendhing Cucur Bawuk
Dumling cenger jabang,
Wruh pepadhang miwah sepi,
Swasana plong procot mijil,
Guwa garba biyungipun.
Hayu rahayuwa,
Jabang biyang baraya gung,
Karoban berkah Pangeran,
Slamet ing salami-lami.
Glewo gewalagang,
Sabawane nangis ngguyu,
Mimik pipis lan kalegan,
Yayah rena sambung rasa.
Twajuh nggulawentah,
Tresna asih rina wengi,
Titi tlaten tan angresah,
Ginadhanganom utama.
Makna filosofis gendhing Cucur Bawuk
Budaya jawa khususnya orang jawa mengenal tentang konsep Tiga Dharma Besar dalam siklus kehidupan manusia yaitu : PURWA, MADYA dan WASANA.
Purwa artinya awal permulaan,
Madya artinya tengah, dan
Wasana mempunyai arti akhir.
Madya artinya tengah, dan
Wasana mempunyai arti akhir.
Awal mula kehidupan manusia dimulai dari kelahiran, kemudian menapak menuju kehidupan madya (mulai semenjak dari muda sampai menjelang masa tua).
Sedangkan wasana adalah saat senja seseorang menutup mata untuk meninggalkan duniawi.
Sedangkan wasana adalah saat senja seseorang menutup mata untuk meninggalkan duniawi.
Gambaran diatas tersebut terlukis dalam Gendhing Cucur Bawuk sebagaimana gendhing pembuka sebelum Ki Dalang memainkan wayang.
Komposisi gendhing Cucur Bawuk diawali dengan Cucur bawuk – Pare Anom – Ladrang Srikaton – Ketawang Sukma Ilang – Srepeg – Sampak dan Ayak-Ayak
Nama Cucur Bawuk dapat diinterprestasikan maknanya secara harfiah berasal dari kata “kucur” atau menjadi kata predikat “mengucur” yang mempunyai arti dan makna menetesnya darah yang keluar akibat terjadinya sesuatu. Sedangkan “bawuk” adalah sebutan atau nama liang kewanitaan yang berfungsi sebagai organ seksual dan jalan keluarnya bayi. Apabila dua kata digabung “cucur bawuk” berarti mengucurnya darah dari liang kewanitaan.
Interprestasi lain dari nama cucur bawuk adalah kemaluan anak kecil yang masih polos, bentuknya seperti “kue cucur”, sehingga dapat diartikan sebagai kehidupan anak-anak yang masih polos, dan orisinil.
Kata cucur bawuk sebagai sebutan nama gendhing mempunyai makna tersirat lahirnya seorang bayi dari seorang ibu akibat buah cinta orang tua. Mengucur melambangkan perjuangan berat dengan taruhan nyawa. Makna tersebut dapat diinterpretasikan sebagai perjuangan yang harus dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan ataupun kesuksesan.
Dilanjutkan gendhing Pare Anom, yang dapat diartikan buah pare yang masih muda dan segar. Ini menggambarkan masa remaja yang penuh suka ria.
Kemudian dilanjutkan ladrang Srikaton yang berirama lincah, dinamis dan agung. Menggambarkan sebagai puncak kehidupan manusia di dunia.
Kemudian dilanjutkan ladrang Srikaton yang berirama lincah, dinamis dan agung. Menggambarkan sebagai puncak kehidupan manusia di dunia.
Memasuki masa paro ketiga atau yang terakhir adalah masa-masa seorang harus sudah endekatkan diri pada Sang Khalik, sebagaimana diisyaratkan dalam gendhing ketawang Sukma Ilang (sukma melayang) yang bernuansa penuh kesedihan.
Disaat detik-detik nyawa seseorang meninggalkan tubuhnya, digambarkan dengan gendhing yang berirama cepat dan menghentak yaitu srepeg dan sampak. Ini sebagai gambaran sakaratul maut yang dikomposisikan dengan irama yang begitu cepat dan kendang yang menghentak=hentak, laksana hentakan sang pencabut nyawa dalam membetot nyawa.
Tanpa disadari naluri orang yang mendengarkan gendhing ketawang Sukma Ilang itu akan terasa sedih, bahkan ada yang menangis takut tidak bisa menemukan jalan menuju pulang mulih mulanira kembali ke Sang Khalik.
Judul gendhing pada umumnya seperti halnya Cucur Bawuk, dalam karawitan jawa mengandung makna mendalam apabila ditinjau dari perspektif filsafat. Judul gendhing karawitan tradisi jawa selalu menggunakan kata “simbol-simbol” yang artinya memerlukan interprestasi makna untuk menangkap pesan-pesan yang disampaikan pencipta pada pendengar. Syair atau cakepan yang diciptakan biasanya dituangkan dalam bentuk bahasa simbol dengan pemaknaan yang sarat dan menggambarkan kesusasteraan mendalam dan indah.
Filosofi Syair Gendhing Karawitan Jawa
Syair atau cakepan gendhing Cucur Bawuk terdiri dari 4 bait atau “pada ” dengan menggunakan bahasa campuran antara Jawa Kuna dan Jawa Modern. Filosofi sebagai ajaran hidup yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
Pada/bait 1:
Wening, (hening)
Dumling cenger jabang, (mendengar tangis bayi)
Wruh pepadhang miwah sepi, (melihat terang dan sepi)
Swasana plong procot mijil, (suasana lega keluar)
Guwa garba biyungipun. (dari rahim sang ibu)
Pemaknaan syair atau bait satu dapat diinterpretasikan sebagai berikut :
Wening atau hening memaknakan suasana yang penuh dengan permohonan doa ucapan terima kasih orang tua kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkah diperkenankannya sang bayi memulai hidup di dunia. Hadirnya seseorang dalam keluarga menjadi harapan dan tumpuan masa depan keluarga dalam melaksanakan kehidupan sebagai rahmat Tuhan.
Dumling cenger jabang, maksudnya adalah kehadiran sang bayi di dunia ini dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Hal ini bermakna bahwa anak yang sempurna lahir batin diharapkan mampu memecahkan segala permasalahan yang akan dihadapi keluarga. Cenger atau tangis merupakan manifestasi aktifitas seseorang yang mencirikan kemampuan dan kesiapan menghadapi hidup.
Wruh pepadhang miwah sepi, adalah kemampuan seseorang dalam membedakan perbuatan baik dan buruk yang selalu dihadapi oleh manusia selama masih hidup di alam fana.
Swasana plong procot mijil, merupakan manifestasi rasa lega seorang ibu yang telah usai melahirkan. Kelegaan atas sebuah kemenangan melawan maut yang dapat membawa sang ibu maupun anak kepada kematian. Hal ini dapat diinterpretasikan pula sebagai seseorang yang lepas dari sebuah permasalahan berat dan telah mendapatkan solusi terbaik dan tuntas.
Guwa garba biyungipun, memaknakan liang kewanitaan ibu yang diinterpretasikan sebagaisebuah jalan yang harus ditempuh meskipun penuh dengan derita demi tercapainya cita-cita hidup yang lebih baik.
Pada/bait 2 :
Hayu rahayuwa, (semoga selamat)
Jabang biyang baraya gung, (bayi keluarga besar)
Karoban berkah Pangeran, (mendapat berkah Tuhan)
Slamet ing salami-lami. (selamat selamanya)
Pemaknaan syair atau bait dua dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
Hayu rahayuwa, adalah sebuah pemaknaan doa yang dipanjatkan oleh kedua orang tua sang bayi. Berkat kegigihan yang disandarkan pada kehendak Tuhan akan membuahkan hasil kebahagian keluarga dengan didapatkannya tambahan anggota keluarga. Kehadiran seseorang (bayi) akan menciptakan sejarah dan suasana baru di mana ia berada dalam lingkungannya.
Jabang biyang baraya gung, jabang biyang konotasinya adalah jabang bayi atau bayi, sedangkan baraya gungadalah keluarga besar. Makna dari kalimat tersebut adalah sang bayi tidak hanya sebagai anggota keluarga kecil (terdiri dari ayah, ibu, dan anak), tetapi juga merupakan anggota dari keluarga besar atau trah. Bertambahnya anggota keluarga dimaknai sebagai harapan meningkatnya taraf hidup, persaudaraan, kebahagiaan, pelestarian, dan pengembangan trah. Dengan bertambahnya anggotatrah, berarti semangat gotong royong akan semakin kuat dalam menghadapi perjalanan hidup.
Karoban berkah Pangeran, kata karoban mempunyai padanan kata kejugrukan atau keruntuhan (dalam bahasa Indonesia). Namun karoban di sini bukan bermakna sebagai keruntuhan benda yang banyak dan menyakitkan, tetapi gaya hiperbola yang bermakna mendapatkan sesuatu yang sangat banyak. Hal tersebut menjadi jelas bila dirangkaikan dengan kata selanjutnya yaitu berkah Pangeran yang artinya berkah dari Tuhan. Jadi maksud dari rangkaian kata tersebut adalah mendapatkan berkah Tuhan yang melimpah. Pemaknaan rangkaian kata tersebut dapat diinterpretasikan sebagai kecintaan Tuhan kepada umat-Nya yang telah memberikan seorang anak. Bagi orang Jawa anak merupakan anugerah “luar biasa” dan dianggap sebagai “bandha sing ora ana tandhinge.” Artinya nilai seseorang anak diibaratkan sebagai harta yang tidak ternilai harganya, atau dapat disimpukan bahwa nilai seorang anak tidak dapat disamakan dengan harta benda.
Slamet ing salami-lami, bermakna selamat untuk selama-lamanya. Makna kalimat tersebut adalah sang bayi diharapkan selamat sampai akhir hayat. Hal ini merupakan manifestasi sebuah harapan dan doa kepada seseorang supaya lepas dari segala bentuk mara bahaya dan “dunia kegelapan” yang akan mengganggu langkahnya menuju “kesempurnaan”. Kesempurnaan yang dimak-sud di sini adalah sebuah proses pencapaian kematangan fisik maupun psikis seseorang menuju terpenuhinya kebutuhan duniawi maupun surgawi.
Pada/bait 3 :
Glewo gewalagang, (cantik/cakep dan perkasa)
Sabawane nangis ngguyu, (tingkah laku menangis dan tertawa)
Mimik pipis lan kalegan, (minum, pipis, dan perasaan lega)
Yayah rena sambung rasa. (siang malam saling cinta)
Pemaknaan syair atau bait tiga dapat dinterpretasikan sebagai berikut :
Glewo gewalagang yang makna harfiahnya cantik/cakep dan perkasa dapat dimaknai sebagai cantik secara fisik maupun “cantik” dalam perbuatan yang mengutamakan kebajikan dan kebermanfaatan bagi orang lain, agama, maupun bangsa dan negara. Hal ini berkaitan dengan konsep orang Jawa “amemangun karyenak tyasing sasama”yang artinya membangun suasana yang tenteram bagi sesama manusia. Sedangkan kata gewalagangatau perkasa dapat diinter-pretasikan sebagai kuat secara lahir dan batin dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup.
Sabawane nangis ngguyu, dapat diinter-pretasikan sebagai dinamika hidup yang penuh dengan suka maupun duka. Suka dan duka harus dimaknai sebagai sumber pengalaman dan pengetahuan sebagai proses menuju kematangan emosional seseorang.
Mimik pipis lan kalegan. Minum (mimik) dapat dimaknai sebagai menimba ilmu pengetahuan dari orang yang lebih tua atau kompeten. Pipis dimaknai sebagai sumbangsih pemikiran dan perbuatan yang berguna bagi sesama. Sedangkan perasaan lega atau puas dimaknai sebagai rasa kepuasan emosional setelah mendapatkan maupun mengamalkan pengetahuan dan pemikiran.
Yayah rena sambung rasa dengan makna harfiah siang malam saling cinta, dapat diinterpretasikan sebagai rasa kebersamaan yang harus dibangun oleh seseorang dengan orang tua, sanak saudara, dan masyarakat yang harus dilakukan di setiap saat. Hal ini mengajarkan proses seseorang dalam berinteraksi dengan sesama untuk membentuk budaya.
Pada/bait 4 :
Twajuh nggulawentah, (tekun mengelola)Tresna asih rina wengi, (siang malam saling cinta)Titi tlaten tan angresah, (teliti, rajin dan tidak mengeluh)Ginadhanganom utama, (semoga menjadi orang yang baik)
Pemaknaan syair atau bait empat dapat dinterpretasikan sebagai berikut:
Twajuh nggulawentah makna harfiahnya adalah tekun mengelola yang dilakukan seorang ibu kepada anaknya. Kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai keiklasan hati akan perbuatan yang didharmabaktikan kepada sesama. Dharma bakti mempunyai esensi tidak mengharapkan balas budi dalam bentuk apapun.
Tresna asih rina wengi, mempunyai makna harfiah siang malam saling cinta antara seorang ibu (orang tua) dengan anaknya. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai manifestasi rasa saling memiliki atau rasa saling “handarbeni” yang tiada berkesudahan. Handarbeni memiliki makna merawat (memelihara), melindungi, dan bertanggung jawab pada sesama.
Titi tlaten tan angresah, mempunyai makna harfiah teliti, rajin dan tidak mengeluh yang dilakukan seorang ibu dalam mengasuh anaknya. Hal ini dapat dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab terhadap pekerjaan dan anak buahnya. Pemaknaan ini masih terkait dengan konsep kepemimpinan orang Jawa “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”.
Ginadhang anom utama, mempunyai makna harfiah harapan yang ditujukan kepada anaknya untuk menjadi pemuda yang baik, sukses, dan terhormat. Kata baik, sukses, dan terhormat cenderung diinterpretasikan sebagai keberhasilan yang berorientasi pada watak atau karakter baik yang dimiliki oleh seseorang. Watak atau karakter individu yang baik diharapkan dapat diabdikan kepada kepentingan masyarakat, agama, serta bangsa dan negara
Filosofi Musikalitas
CUCUR BAWUK,
Gendhing kethuk 2 kerep minggah 4 laras Slendro pathet Manyura
Bk : . 2 . 2 123 . 2 3 1 3 2 . 1 2(6)
A : . 6 . 6 . 6 . 6 3 5 6 1 6 5 3 5)
. 2 3 . 3 3 . 5 6 5 6 1 6 5 3 5)
. 2 3 . 3 3 . 5 6 1 . 6 5 3 5 6)
3 5 6 1 6 5 3 2 1 2 3 2 . 1 2(6)
B : 2 2 . . 2 3 2 1 2 3 2 1 6 5 2 3)
. . 3 6 3 5 6 1 2 3 2 1 6 5 2 3)
2 2 . . 2 3 5 6 3 5 6 1 6 5 2 3)
2 1 2 . 2 1 2 3 6 5 3 2 . 1 2(6)
Up : . 1 . 2 . 5 . 6 . 2 . 1 . 5 . 3)
. 2 . 1 . 2 . 3 . 1 . 2 . 1 . (6)
Mg : . 5 . 3 . 5 . 3 . 5 . 3 . 1 . 2)
. 5 . 3 . 5 . 3 . 5 . 3 . 1 . 2)
. 3 . 2 . 5 . 6 . 2 . 1 . 5 . 3)
. 5 . 6 . 3 . 2 . 3 . 2 . 1 . (6)
Glosarium :
Bk = Buka, sebuah melodi khusus yang fungsinya unruk mengawali sebuah sajian gending
Up = Umpak, melodi yang dibuat sebagai jembatan pergantian bentuk gending
Mg = Minggah, salah satu bentuk gending
Gatra = Kelompok nada yang terdiri dari 4 nada
Garap = Tafsir tabuhan untuk memunculkan suasana
Cengkok = Rangkaian melodi yang diterapkan pada notasi gending
Wiledan = Improvisasi tabuhan yang dilakukan oleh musisi
Imbal = Tabuhan saling mengisi diantara dua intrumen atau lebih
Struktur yang digunakan dalam gending Cucur Bawuk terdiri dari lima bagian yang perjalanannya diawali dari Buka, kemudian dilanjutkan pola lagu A dan B, kemudian Umpak dan berakhir pada Minggah. Tiap-tiap bagian tersebut mempunyai kandungan nilai filosofi yang berbeda-beda. Untuk lebih jelasnya kita bahas per bagian.
a. Buka,
Meskipun buka berfungsi sebagai awal dari sebuah gending, namun di situ sudah terdapat “konflik musikal”. Maksudnya dari nada yang rendah dan tidak variatif (pada gatra 1 sampai 3) dengan tiba-tiba tanpa melalui “rambatan” (jembatan) mengambil nada yang tinggi sehingga menimbulkan lompatan nada yang kontras. (Lihat figur 1)
Figur 1 :. 2 . 2 123 . 2 3 1 3 2 . 1 2(6)gatra 1 gatra 2 gatra 3 gatra 4
Buka dilakukan oleh instrumen rebab yang mempunyai karakter halus, kemudian disambut oleh tabuhan balungan (demung, saron barung, saron penerus, dan gong) dengan volume yang keras dan dan cepat.Makna yang dapat diambil dari sajian tersebut adalah sebuah perjuangan berat yang harus dilalui seorang ibu dalam melahirkan anak. Kemudian apabila dikaitkan dengan syair yang telah dibahas di muka dapat diinterpretasikan mempunyai kandungan filosofi perjuangan berat yang harus dilalui untuk mendapatkan sesuatu yang dicita-citakan (membahagiakan).
b. Pola lagu A
Pola lagu A pada baris pertama dan ke dua dilakukan masih dalam suasana “sereng” yang maksudnya dimainkan dengan irama cepat dan keras untuk membuat suasana yang dramatis. Pembuat susana sereng dilakukan oleh instrumen Demung, Saron barung, dan saron Penerus. Garap Tabuhan tersebut merefleksikan “rasa” perjuangan yang keras sehingga masih ada hubungan musikal dengan pola melodi A. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai semangat berkorban yang dilakukan seseorang untuk perjuangan yang keras untuk mendapatkan sesuatu yang dicita-citakan.Kemudian untuk baris ketiga dan keempat secara musikal memunculkan suasana “tenang” untuk memaknai rasa kelegaan seseorang setelah seseorang mendapatkan sesuatu berkat hasil jerih payah yang dilakukan dengan semangat dan kerja keras. Suasana tenang disajikan dengan penonjolan garap instrumen rebab, gender, gambang, bonang barung, dan bonang penerus yang mempunyai kecenderungan memainkan pola-pola yang sederhana dan dilakukan secara mengalir.
Figur 2 :. 6 . 6 . 6 . 6 3 5 6 1 6 5 3 5). 2 3 . 3 3 . 5 6 5 6 1 6 5 3 5)
. 2 3 . 3 3 . 5 6 1 . 6 5 3 5 6)3 5 6 1 6 5 3 2 1 2 3 2 . 1 2(6)
c. Pola lagu B
Pola lagu B dapat dikelompokakan menjadi 2 bagian. Baris pertama dan kedua dilakukan dengan irama yang lambat untuk membentuk nuansa “manembah” (doa). Penebalan manifestasi nuansa manembah dengan memainkan nada-nada yang rendah sehingga memunculkan “rasa” sepi, dan “antep” (mantap secara musikalitas). Penonjolan suasana dilakukan oleh pola permainan rebab, bonang, dan gender dengan mengambil nada-nada rendah pada oktaf bawah. Hal ini dapat dimaknai sebagai rasa “sumarah” atau serah diri dan syukur pada kuasa Tuhan Yang Maha Esa.Kemudian untuk baris ketiga dan keempat terjadi perubahan irama, dari irama yang lambat kemudian secara perlahan menuju irama yang cepat ( irama ¼ ke irama ½ ). Perubahan dilakukan bersama-sama untuk membentuk suasana “bangkit” yang tidak kontras pada sisi musikal. Perjalanan musikal ini dapat dimaknai sebagai kebangkitan dan semangat seseorang untuk berusaha dan memelihara sesuatu yang telah dicapai. Sebagai insan yang religius antara doa dan usaha merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Semua bentuk usaha dalam proses kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari berkat dan restu Tuhan Yang Maha Esa.
Figur 3 :2 2 . . 2 3 2 1 2 3 2 1 6 5 2 3). . 3 6 3 5 6 1 2 3 2 1 6 5 2 3)
2 2 . . 2 3 5 6 3 5 6 1 6 5 2 3)2 1 2 . 2 1 2 3 6 5 3 2 . 1 2(6)
d. Pola lagu Up (umpak)
Fungsi umpak dalam sebuah gending adalah sebagai jembatan dari sub gending yang satu ke sub gending yang lain. Umpak pada gending Cucur Bawuk dilakukan dengan tempo yang cepat tetapi tidak eksplosive (meledak-ledak). Perjalanannya mengalir dengan dinamika yang konstan. Pada umpak ini posisi tiap intrumen adalah sama untuk menimbulkan suasana yang seimbang/balance. Hal ini dapat dimaknai sebagai keseimbangan beberapa aspek yang harus dimiliki oleh seseorang. Misalnya : keseimbangan antara doa dengan usaha, harapan dengan realita, dan sebagainya.
Figur 4 :. 1 . 2 . 5 . 6 . 2 . 1 . 5 . 3). 2 . 1 . 2 . 3 . 1 . 2 . 1 . (6)
e. Pola lagu Mg (Minggah)
Pola lagu Minggah dalam gending Cucur Bawuk memunculkan suasana yang dinamis. Suasana tersebut dimunculkan oleh instrumen gender, gambang dengan menerapkan cengkok-cengkok yang variatif dengan mengekspresikan wiledan yang digunakan, kendang bermain dengan gaya yang eksplosive/meledak-ledak, dan saron barung 1 dengan saron barung 2 imbal . Musikalitas yang dihasilkan dengan pola permainan semacam ini dapat diinterpretasikan sebagai proses hidup seseorang yang dinamis dengan berbagai keadaan/situasi dalam aktivitas hidupnya. Adakalanya seseorang harus merasakan sedih, gembira, bangga, kerja keras, dan sebagainya yang pada akhirnya akan menuju pada kematangan fisik dan psikis pada tiap individu.
Figur 5 :
. 5 . 3 . 5 . 3 . 5 . 3 . 1 . 2). 5 . 3 . 5 . 3 . 5 . 3 . 1 . 2). 3 . 2 . 5 . 6 . 2 . 1 . 5 . 3). 5 . 6 . 3 . 2 . 3 . 2 . 1 . (6)
PENUTUP
Seni Karawitan Tradisi Jawa mempunyai peran untuk membentuk budaya dan karakter manusia dengan mengajarkan nilai-nilai ajaran hidup melalui judul, syair, dan musikalitas gending. Para seniman pencipta dalam membuat gending selalu mempunyai tujuan untuk menyampaikan pesan tertentu. Audience sebagai komunikan harus menganalisis atau menginterpretasikan terlebih dahulu untuk menangkap isi pesan yang disampaikan seniman pencipta.
Gending Cucur Bawuk adalah sebuah gending yang memuat kandungan filosofi yang cukup bermakna. Nilai filosofi yang diungkapkan dalam gending tersebut antara lain :
- Pelajaran untuk berani berjuang dan berkorban,
- Pelajaran untuk selalu berdoa, bersyukur, memohon, dan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
- Pelajaran untuk selalu berinteraksi dengan sesama, keluarga, dan masyarakat,
- Pelajaran untuk selalu tekun dalam bekerja,
- Pelajaran untuk menjadi orang yang baik, sukses, dan terhormat,
- Pelajaran untuk selalu berbuat yang bijaksana dalam menyelesaikan masalah,
- Pelajaran untuk mampu menilai perbuatan baik dan buruk, dan
- Pelajaran untuk mampu menyelesaikan permasalahan.
Nilai-nilai ajaran hidup atau filosofi yang terkandung dalam sebuah Gending selalu bernilai positif dalam rangka membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur. Ajaran tersebut perlu dipahami, direnungkan, dan diimplementasikan pada hidup kita sehari-hari.
Sumber:
http://sukolaras.wordpress.com/2010/02/03/makna-filosofis-gendhing-cucur-bawuk/
http://460033.blogspot.com/2011/01/makna-filosofis-gendhing-cucur-bawuk.html
No comments:
Post a Comment