Sunday, April 01, 2012

Kembalikan Indonesia PadaKu ~ Taufik Ismail


Doa
Tuhan kami
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani

Ampunilah kami
Ampunilah
Amin

Tuhan kami
Telah terlalu mudah kami
Menggunakan asmaMu
Bertahun di negeri ini
Semoga Kau rela menerima kembali
Kami dalam barisanMu

Ampunilah kami
Ampunilah
Amin.

1966 
___________________

Ketika Bumi Mengandung Api, Bukit Kapur Dikelilingi Kubur
Perempuan-perempuan di Jawa Timur berhenti murka dan menangis
Kantor berita berhenti mengarang kabar-kabar
Hari masih tetap panas dalam kemarau yang aneh hitungannya
Angin mati sehari, sungai membuai dan mendung di atas hutan
Adalah kebun-kebun tembakau, siul suling gembala yang risau
Padang-padang cagar alam lalu jajaran bukit kapur
Semuanya terasa mendalam, semuanya jadi kabur

Seorang gadis kecil duduk terpencil, di ujung kampung
Hari ini keramasnya pertama, rambutnya basah dengan darah
Yatim piatu, merasa tak berarti dan termenung
Hari ini keramasnya pertama, rambutnya basah dengan darah

Genderang telah sayup bunyi namun bumi masih mengandung api
Hari membagi panas dalam kemarau yang ganjil hitungannya
Sepanjang gantungan kain jemuran bau cairan empedu
Dan di atas, burung-burung mengapung, menghitung-hitung

Kereta malam tergegas melewati desa dan kota
Pantai-pantai yang pernah indah dengan warna gembira
Matahari tenggelam ketika langit dan tanah penuh luka
Bisakah terbagi itu                 duka

Seorang gadis kecil duduk terpencil, di ujung kampung
Hari ini keramasnya pertama, rambutnya basah dengan darah
Dia merasa sakit, yatim piatu dan bermenung
Hari ini keramasnya pertama, rambutnya basah dengan darah

Perempuan-perempuan di Jawa Timur berhenti murka dan menangis
Kantor berita berhenti mengarang kabar-kabar
Hari masih tetap panas dan kemarau yang ganjil hitungannya
Angin mati sehari, sungai membuai dan mendung di atas hutan
Adalah kebun-kebun tembakau, siul suling gembala yang risau
Padang-padang cagar alam lalu jajaran bukit kapur
Semuanya terasa mendalam, semuanya jadi kubur.

1968 
___________________

Kembalikan Indonesia PadaKu
kepada Kang Ilen

Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,

Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih         dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,

Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola
yang bentuknya seperti telur angsa,

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta         penduduknya,

Kembalikan
Indonesia
padaku.

Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam lantaran         berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,

Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, dan di
dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat, sebagian putih dan
sebagian hitam, yang menyala bergantian,

Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang sambil         main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam dan membawa
seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,

Kembalikan
Indonesia
padaku.
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola         yang bentuknya seperti telur angsa,

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta         penduduknya,

Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna         putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,

Kembalikan
Indonesia
padaku.

Paris, 1971 
___________________

Gebt mir Indonesien zurück!
Indonesiens Zukunft sind zweihundert Millionen aufgesperrte
Mäuler.
Indonesiens Zukunft sind 15-Watt-Birnen, einige weiß,
einige schwarz, die abwechselnd leuchten.
Indonesiens Zukunft ist ein Tischtenniswettkampf den ganzen
Tag und die ganze Nacht hindurch mit Bällen in der Form
von Gänseeiern.
Indonesiens Zukunft ist die Insel Java, die unter der Last
ihrer hundert Millionen Bewohner im Meer versinkt.

Gebt mir
Indonesien
zurück!

Indonesiens Zukunft sind eine Million Menschen, die den
ganzen Tag und die ganze Nacht hindurch mit Gänse-
eierbällen und unter dem Licht von 15-Watt-Birnen
Tischtennis spielen.
Indonesiens Zukunft ist die Insel Java, die unter ihrer
Last langsam im Meer versinkt und über der dann Gänse
umherschwimmen.
Indonesien Zukunft sind zweihundert Millionen aufgesperrte
Mäuler, in denen 15-Watt-Bernen stecken, einige weiß,
einige schwarz, die abwechselnd leuchten.
Indonesiens Zukunft sind weiße Gänse, die Tischtennis
spielend über der untergegangenen Insel Java umher-
schwimmen und hundert Millionen 15-Watt-Birnen auf den
Meeresgrund legen.

Gebt mir
Indonesien
zurück!

Indonesiens Zukunft ist ein Tischtenniswettkampf den ganzen
Tag und die ganze Nacht hindurch mit Bällen in
der Form von Gänseeiern.
Indonesiens Zukunft ist die Insel Java, die unter der Last
ihrer hundert Millionen Bewohner im Meer versinkt.
Indonesiens Zukunft sind 15-Watt-Birnen, einige weiß,
einige schwarrz, die abwechselnd leuchten.
Indonesien Zukunft sind zweihundert Millionen aufgesperrte
Mäuler.

Gebt mir
Indonesien
zurück!

(1971)
(Terjemahan Berthold Damshäuser) 
___________________

Beri Daku Sumba
di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu
aneh, aku jadi ingat pada Umbu

Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga

Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas dikipas dari sana

Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba

Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh

Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.

1970 
___________________

Sajak Tangga
Empat puluh sembilan tangga kemiskinan
Hari panas
Lima puluh sembilan tangga kemiskinan
Hari sengangar
Enam puluh sembilan tangga kemiskinan
Hari terbakar

Haaai!
Kemana kita pergi?

Tujuh puluh sembilan tangga kemiskinan
Hari angin
Delapan puluh sembilan tangga kemiskinan
Hari topan
Sembilan puluh sembilan tangga kemiskinan
Hari banjir

Haaai!
Bagaimana ini?

Kita sudah jalan kita sudah mendaki
Kita sudah membidik awan kita sudah menembak
Perkutut kita sudah menuai badai

Berpuluh-puluh tangga kemiskinan
Ada kemarau, ada sengangar dan ada nyala
Berpuluh-puluh tangga kemiskinan
Ada angin, ada topan, dan ada banjir

Kita sudah jalan kita sudah memanjat kita
Sudah melata kita sudah menangkap capung kita
Sudah menangkap kita kita sudah membidik awan kita
Sudah membidik mikroskop kita sudah menembak perkutut
Kita sudah menembak kita kita sudah menanam angin
Kita sedah menyemai api kita sudah sudah!

Waaah!

Tujuh puluh tangga kemiskinan
Hari panas dan hujan  dan panas dan hujan
Delapan puluh tangga kemiskinan
Hari garang dan topan dan garang dan topan
Sembilan puluh tangga kemiskinan
Hari kemarau dan badai dan kemarau dan badai

Wah.

1972 
___________________

Musim Gugur Telah Turun di Rusia
Seekor burung raksasa pada suatu malam cuaca mengembangkan
sayapnya yang perkasa mengibas-ngibaskan gemuruh dan lena
maka rontoklah bulu beludru di langit tua dan biru gugur
melayang dan berbaur

Musim gugur telah gugur di Rusia

Berjuta bintik kapas warna putih angsa pada suatu malam cuaca naik
mengambang bersama dan menggeliatlah dia menggelepar
menyerakkan warna dan aroma

Musim gugur telah turun di Rusia

Dengan malasnya burung itu terbang sayapnya mengibaskan angin
agak dingin daun-daun beriozka jadi berganti warna burung raksasa
tiba di atas kutub utara dia berkaca sekilas di laut terus melayang ke
bagian bumi yang lain seraya membagi-bagikan angin yang agak dingin

Musim gugur telah turun di Rusia.

1972 
___________________

Bulutangkis
Bulutangkis telah lama menggetarkan hatiku,

Bulutangkis telah lama menggetarkan hati jutaan anak-anak Indonesia,
anak-anak kecil, anak muda dan juga anak-anak tua,

Sejak sekolah menengah pertama dua puluh lebih tahun yang silam aku
sudah berlatih bek-hen lewat pinggang belakang, kepingin
punya raket mahal dan pernah berambisi jadi juara
kampung kecamatan,

Sebagai kanak-kanak kota pedalaman, tatkala enam belas tahun
umurku aku tegak-tegak di depan etalase toko sport India
di Pasar Baru,     tercengang dan kagum pada raket Dunlop
bergagang logam putih dan shuttle-cock berkepala merah muda,

Aku mengenal suaramu yang merdunya tersendiri, sejak tali-tali suaramu
masih pintalan usus kucing dan kini sudah nilon tanpa warna
dapat dibeli di mana-mana,

Secara lumayan aku bisa bicara tentang badminton kampung sampai
badminton dunia, juga menilai main net Tan Yoe Hok,
taktik Ferry Sonneville, tingkah Svend Pri, smes Rudy Hartono,
muslihat RRC dan dukun-dukun Muang Thai serta selusin lagi
analisa warung kopi di Taman Ismail Marzuki,

Dalam badminton kalah menang tidak jadi soal. Yang jadi soal adalah             bagaimana supaya selalu dapat angka 15 lebih dahulu,

Satu-satunya soal yang aku ngomong bisa agak sombong
dengan novelis Inggeris, redaktur India, penyair Brazilia
dan dokter hewan Belanda adalah tentang badminton,

Badminton memang sudah membuatku sedikit fanatik,

Smes-smes kilat dan indah adalah saudara sepupu rentakan mengejut
tari kecak, pesona Bolshoi dan gemuruhnya teater Tokyo
Kid Brothers serta Kafe La Mama,

Aku mesti mengatakan bahwa pemain bulutangkis itu seniman
komposisi yang amat cantiknya dan secara otomatik mengatur
sendiri dengan amat seimbang proporsi di arena persegi
empat tanpa pretensi mau indah sama sekali,

Para penari dan pemain drama seharusnya iri pada kalian tapi
barangkali tidak mau mengaku karena memang mereka
ditakdirkan mesti angkuh ala kadarnya,

Bulutangkis tinggi telah menyatu dengan seni,

Bulutangkis telah lama menggetarkan hatiku,

Saat paling berbahaya adalah seperlima detik ketika bola melambung di
atas net, yang tingginya ditentukan gaya tarik bumi, jumlah
teriakan penonton dan psikologi pemain sendiri,

Saat paling dalam, penuh konsentrasi dan menyatukan seluruh aspirasi
nasional tanpa perbedaan ideologi adalah saat bola servis akan
dipukul pertama-tama, ketika angka     dua sama pada jus tiga,

Seperti perang, politik dan cinta, persoalan bulutangkis ternyata soal
pemilihan saat-saat yang tepat,

Bulutangkis sudah lama menggetarkan hati jutaan anak-anak Indonesia,
anak kecil, anak muda dan juga anak-anak tua,

Bulutangkis telah lama menggetarkan hatiku.

1973 
___________________

Kisah Singan yang Berburu Bersama Serigala dan Anjing Geladak
Seekor singa yang tamak pergi berburu di rimba raya
Serigala dan anjing geladak dibawanya bersama
Dengan tangkas dan garang mereka tangkap tiga ekor hewan
Yaitu sapi liar, kelinci dan kambing hutan

Singa menyuruh serigala membagi hasil buruan mereka
Dan serigala itu membaginya begini
Singa dapat sapi liar, dia dapat kambing hutan
Dan anjing geladak kebagian kelinci

Tiba-tiba singa naik tekanan darahnya
Dia menjadi murka pada serigala
Pembagian begini dia jelas tidak suka
Semua mangsa harus jadi bagiannya

Dengan sebuah tamparan jawara di tengkuknya
Sang singa dengan mudah memetik nyawa serigala
Dengan mata marah berwarna merah menyala
Dia berpaling pada anjing geladak, mengalihkan tugas padanya

Anjing geladak menyimpan ekor di kelangkangnya
Gigi pun bersifat lunak seperti lidah ketika berkata
“Seluruh hasil buruan ini untuk paduka
Bukankah begitu yang semestinya?”

Singa pun tertawa dengan terkekeh-kekeh-kekeh-kekehnya
Rimba bergetar karena raung dan gelegar suaranya
“Anjing geladak, kamu sekarang sudah meniru sifat saya
Hati saya pemurah, karena itu ketiga mangsa semuanya ambillah.”

1977
(berdasarkan kisah-kisah hewan dari Masnawi, karya Jalaluddin Rumi) 
___________________

Kisah Saudagar dan Burung Beo
Tersebutlah kisah seorang saudagar
Yang akan berangkat ke tanah Hindustan
Dia berdiri di depan sebuah sangkar
Berisi seekor beo, burung peliharaan

Maka berkatalah saudagar itu
“Hai beo, aku akan pergi ke tanah Hindustan
Apakah untuk teman-temanmu di situ
Engkau akan menyampaikan amanat atau pesan?”

Maka menjawablah beo yang terkungkung di sangkar besi
“Sampaikan pada rakyat beo di tanah Hindustan
Bahwa makanku cukup, rumahku juga arsitektur masa kini
Tapi aku terkurung dan tak bisa terbang lagi.”

Maka berangkatlah saudagar ke tanah Hindustan
Dan ketika bertemu kawanan burung beo bebas di taman
Dia sampaikan ucapan sang beo peliharaan
Persis seperti yang dia pesankan

Kawanan beo Hindustan mendengarkan dengan teliti
Penderitaan sejawatnya yang terkurung di sangkar besi
Tiba-tiba, seekor di antara mereka tersungkur lalu mati
Karena terkejut mendengar kabar dari Farsi

Luar biasa marah saudagar pada beonya
Yang mengakibatkan matinya beo Hindustan
Karena menyampaikan itu pesan
Begitu tiba di Farsi, beonya itu dia marahi

“Beo yang tidak tahu di untung!
Temanmu mati mendadak, mungkin kena serangan jantung!”
Beo yang dimarahi jadi lemas termenung-menung
Tiba-tiba dia jatuh tak bergerak, mukanya murung

Saudagar itu jadi sedih dan menyesal
Beo yang bijak sekarang sudah meninggal
Padahal sangkarnya diimpor dan harga beo itu mahal
Dipungutnya burung itu dan dilempar ke luar

Tiba-tiba sang beo mati hidup kembali
Dia memang cerdik dan terbanglah di udara menari-nari
‘Tuan saudagar, saya berhasil melaksanakan
Isyarat dari sahabat saya beo Hindustan.”

“Itu cerita yang tuan sampaikan pada saya tadi
Adalah instruksi saya mesti tiru teman yang pura-pura mati
Saya menggeletak tak berkutik, itu namanya taktik
Saya terbang dan menari, itu namanya strategi.”

1977
(berdasarkan kisah-kisah hewan dari Masnawi, karya Jalaluddin Rumi) 
___________________

Sajak Anak Muda Serba Sebelah
Si Toni dicabut kupingnya satu yang kanan
Maka suara masuk kuping kiri tembus ke otak
Dikirim balik dan jatuh di kuping kiri lagi
Si Toni dipotong tangannya satu yang kanan
Maka dia belajar menulis dengan tangan kiri
Si Toni diambil satu matanya yang kanan
Maka air matanya tetes ke sebelah kiri
Si Toni dipetik jantungnya lewat rongga kanan
Tapi gagal karena jantung itu mengelak ke kiri
Si Toni dipotong ginjalnya satu yang kanan
Tak gagal karena sesuai secara faali
Si Toni diambil kakinya satu yang kanan
Maka dia main bola cuma dengan kaki kiri

Lama-lama si Toni jadi kidal
Kupingnya yang bisa dengar kuping kiri
Tangannya yang main gitar tangan kiri
Air matanya menetes di mata kiri
Ginjalnya menyaring di sebelah kiri
Dia tendang bola dengan kaki kiri

Lama-lama si Toni ingin kerja
Cita-citanya lumayan sederhana
Dia mau jadi sopir saja
Tapi tak ada lowongan baginya
Karena kendaraan setir kanan semua

Hai tunggu dulu, Toni ini anak saya kah
Atau anak saudara kah?
Atau barangkali kemenakan kita?
Keadaan ini memang aneh
Sore ini jam empat tepat
Dengarlah dia sedang mengocok gitarnya
Dengan cara anak muda bergaya kidal
Dan itu bukan suara gerimis, bukan
Itu air matanya
Memukul-mukul lantai beranda.

1977 
___________________

Kembalikan Merah Putih Kepada si Toni
Kepada Hariman, Rendra, Judilherry, semuanya

Upacara berjalan dengan irama yang terpelihara
ketika hari agak panas sudah terasa
ketika matahari pun bertingkah gembira
ketika dikirimkannya cahaya yang merata
ketika semua tertib di kelurahan desa

Upacara berjalan dengan jadual yang terpelihara
ketika jajar barisan disusun aba-aba
ketika dikerek pelahan sehelai bendera
ketika pidato dibaca, disudahi dengan doa
ketika semua santun di kelurahan desa

Upacara berjalan dengan irama agak terganggu
ketika ada anak kecil yang berseru
ketika katanya “Terbalik warna bendera itu!”
ketika semua menengadah ke langit panas dan biru
ketika semua silau, warna nampak tak menentu

Upacara berjalan dengan jadual yang mesti dipelihara
ketika anak kecil cuma yang meneriakkannya
ketika dia minta bendera dikembalikan letaknya
ketika dia minta bendera dikembalikan padanya
ketika dia diukur budi pekertinya
ketika tidak santun adalah menggaduh suasana

Upacara berjalan dengan irama yang lugas
di desa kelurahan                        Sugih Waras
desa yang konon                          Kaya Raya
kampung yang                             Sehat Afiat
tua-tua yang                                     Penuh Petua
berjajar tepat di bawah           Tiang Bendera
anak-anak yang konon           Buta Warna
diarak duduk di ruang                Akhlak Sempurna

Ketika cahaya matahari
Tak bisa membentangkan pelangi
Berwarna-warni
Ketika gerimis
Mulai lagi mengiris
Bumi yang menangis
Ketika anak-anak tetap bersorak
Seraya diarak
Dengan suara serak

“Kembalikan
Merah-Putih
padaku.”

Agustus, 1979 
___________________

Lima Syair Tentang Warisan Harta
(I)

Inilah syair pertama tentang secercah sejarah
Mengenai nabi Muhammad menjelang wafat
Ketika sakit beliau sudah terasa berat
Pada tabungannya yang sedikit jadi teringat
Menyedekahkannya belumlah lagi sempat
Maka Rasulullah berkata pada Aisyah
‘Aisyah, mana itu ashrafi?
Sedekahkanlah segera di jalan Allah
Berikanlah secepatnya pada orang tidak berpunya
Bila masih ada harta kutinggalkan
Dirumahku ini, pasti itu bakal jadi rintangan
Dan aku tak aman menghadap Tuhan.”
Sesudah tabungan itu dibagikan
Maka wafatlah beliau dengan aman.

(II)

Inilah syair kedua tentang Khalid bin Walid
Perwira tinggi yang amat gagah berani
Seorang jenderal pertempuran yang sejati
Caranya mati dia sesali sendiri
Karena bukan gugur di medan pertempuran
Tapi karena sakit, mati di atas dipan
Mengenai harta benda yang dia tinggalkan
Hanya tiga jenis macamnya:
Sebilah pedang
Seekor kuda
Dan seorang pembantu rumah tangga.

(III)

Inilah syair ketiga tentang Umar yang perkasa
Yang pernah menaklukkan Persia dan Roma
Yang kilatan pedangnya menggoncang kerajaan demi kerajaan
Yang perkasa, kaya serta berkuasa
Tetapi sesudah dia tiada lagi bernyawa
Warisannya cuma sehelai baju
Terbuat dari kain yang kasar
Dan uang lima keping
Seharga lima dinar.

(IV)

Inilah syair keempat tentang Aurangzeb
Penguasa imperium Mughal di India
Luas dan jaya kerajaannya
Adil serta merata kemakmurannya
Dan ketka dia pergi menghadap Tuhan
Dia meninggalkan dua warisan
Pertama, uang sebanyak empat rupi dua anna
Hasil penjualan kopiah jahitannya
Kedua, uang sebanyak 305 rupi
Upah menyalin Quran dengan tangan
Dan semua itu ke mana pergi
Pada rakyat yang miskin habis dibagi-bagi.

(V)

Inilah syair kelima tentang Sultan Shalahuddin
Pahlawan perang yang sangat harum namanya
Raja dari kawasan yang amat luasnya
Sultan dari kerajaan yang sangat makmurnya
Dan dia, pada hari wafatnya
Tidak mewariskan harta benda suatu apa
Karena seluruhnya sudah habis disedekahkannya
Pada kawula fakir miskin yang lebih memerlukannya
Sehingga biaya pemakamannya
Adalah urunan dari sahabat-sahabatnya
Dan ada rakyat yang datang menyumbang batang-batang jerami
Untuk membuat batu bata
Sebagai pagar dari makamnya.

1979 
___________________

Pacuan Kuda
Kepada Arief Rachman, Hudori Hamid, Dipo Alam, A.M. Fatwa,
Toto Tasmara, Lukman Hakim, dan semuanya di Kampus Kuning

Ketika cahaya sudah disiapkan, sehingga atmosfir terang tembus bagai
cairan bening kimiawi dan awan diserakkan seperti busa sabun             cuci,

Ketika suhu sudah diatur, sehingga cuaca khatulistiwa bagai subtropika
dan tekanan uap air berbanding keringat badan terasa sangat
sepadan,

Ketika debu usai disapu, lengan dan jari selesai dihapus hama lalu rata
dicuci,

Ketika gelanggang habis dibeton tulang, disemen, dikapur, dicat,
dibangkui, diatapi, dirumputi, diloketi lalu dipagar logami,

Ketika kuda pacu habis dikaji silsilahnya, dikandangkan, diransum gizi
tinggi serta zat mineral, dibereskan otot-otot gerakannya, lalu
diakrabkan pada medan pacuan,

Ketika penonton berduyun, berjajar, duduk bersentuh bahu dan suara
tambur bertalu-talu,

Ketika pistol dibunyikan, debu beterbangan, garis-garis jejak berjajar,
dan mulailah pacuan tak putus-putusnya,

Ketika para penonton bersorak serta-merta, kemudian teratur, makin
lama makin diatur, dan terdengarlah tepukan yang tak habis-
habisnya,

Ketika gelanggang rumput mengembang dari cetak biru jadi kawasan pacu,         teramat luas tak tampak batas, kebun tanaman keras, ladang minyak,         tambang logam, lahan industri dan hutan rimba eksplorasi,

Ketika kawanan kuda terus berpacu dari pulau ke pulau, melangkaui menara
dan anjungan lepas pantai, antena stasiun transmisi, dalam derap tak
putus-putusnya, ditingkah semangat tepukan tak habis-habisnya,

Ketika anak-anak tak berkarcis bergelantungan di dahan luar gelanggang,
mereka bertahun menonton pertandingan yang semakin kencang,

Ketika pelana joki telah bertatah batu akik, butir zamrud dan intan, kepingan
logam mulia, mata berlian serta berbagai koin emas dunia,

Ketika pacuan makin kencang, penonton bersorak dan bertepuk prok-prok
tak putus-putusnya:

Tanah!    Prok-prok-prok!
Kebun!                  Prok-prok-prok!
Tambang!          Prok-prok-prok!
Pabrik!                   Prok-prok-prok!
Hutan!                   Prok-prok-prok!
Uang!                     Prok-prok-prok!
Maha!                   Prok-prok-prok!
Esa!                        Prok-prok-prok!

Ketika anak-anak tak berkarcis bergelantungan di dahan luar gelanggang,
mereka bertahun-tahun menonton pertandingan yang semakin
garang, kuda berpacu-pacu mengepul-kan gumpalan debu, dan tiba-
tiba si Toni mengacungkan tangannya yang kecil,

Ketika  sekonyong-konyong semuanya berhenti, para joki yang perkasa
menarik kendali, kuda-kuda balap meringkik kedua kaki depan
meninggi, semua penonton menengok ke arah anak yang mengirim
sunyi,

Ketika anehnya semua tiba-tiba sepi, si Toni tetap mengacungkan lima
jari, kata-katanya disimak dengan teliti, tatkala suaranya lantang
begini:

“Apakah itu tidak keliru,
Karena kedengarannya kurang anu,
Tidak cocok dengan ajaran bapak guru?”

Ketika tiba-tiba pohon besar itu tumbang, anak-anak tak berkarcis yang
bergelantungan menonton pacuan terjatuh bergelimpangan,
ada yang tersangkut di pagar sekolahan, ada yang langsung
jatuh di atap markas pertahanan,

Ketika sunyi sudah mati, kembali penonton bertepuk teratur bertalu-
talu, mereka duduk berjajar bersentuh bahu, sementara joki-
joki yang gagah menggusah kuda tunggang     dan mereka
berpacu lagi dengan kencang,

Ketika debu turun naik kembali, suhu turun sub-tropika lagi, sorak tepuk
saling bersahutan:

Keuangan Yang Maha Esa adalah Kalimat Yang Pertama!
Prok-prok-prok!
Pacuan kuda, satu tak terpisahkan dengan kuda pacuan!
Prok-prok-prok!
Sepanjang kebun dan tambang, pabrik dan hutan!
Prok-prok-prok!

Ketika  pacuan kuda kembali jadi sangat semarak, diiringi sejuta tepuk
dan sorak, tersiram debu dan terlanggar balap, penonton
kanak-kanak cedera parah dan patah-patah, dan si kecil yang
mengajukan tanya kini terkapar tanpa kata-kata,

Si Toni kecil, gegar, terkulai dipeluk bapak gurunya.

1979 
___________________

Jagoan Pembangunan

Wah maaf kawan, sekarang sudah jam penerbangan

Saya harus take off bersama Jagoan Pembangunan

Kopor sudah rapi badan dijaga tiga suntikan

Setumpuk cek perjalanan, serta segenggam obat kesehatan

Jagoan Pembangunan itu kelompok cerdas serta mulia

Pemikiran kami dalam, pandangan kami menjagat raya

Walau kami bergaul dengan kelas paling ningrat

Pikiran kami selalu lekat dengan rakyat yang melarat


Di ruang sidang Hotel Sheraton berbagai negara

Kami menyumpahi semua maskapai multinasional

Tidak sukarlah mengacungkan tinju pada kezaliman

Di kamar yang sejuk dari jarak kejauhan


Kami diskusi kurang-gizi sambil mengunyah daging sapi

Kami analisa sebab kelaparan seraya minum susu berkopi

Apakah problimnya banjir di Asia atau kemarau di Afrika

Kami hadapi setiap isu itu dengan mulut terbuka


Kami mengimpor konsultan bijak serta bestari

Yang memecahkan soal dengan kesulitan terperinci

Yang selalu usul supaya seminar lalu seminar lagi

Sehingga makan lezat terjamin setiap hari


Kata orang konsultan itu tahu persis jam berapa sekarang

Dengan meminjam arloji anda, lalu membacakannya

Tapi gajinya yang mahal itu masuk kita punya akal

Karena obyekan belakangan, bisalah jadi garapan


Struktur kalimat dalam bahasa Jagoan Pembangunan

Lentur dan tegang, gemerincing dan berdandan

Seperti mantra kami bacalah kata epigenetic

Sedikit genit seperti micro, macro dan logarithmetic


Bagi kami istilah tinggi itu untuk bernikmat-nikmat

Supaya nampak cendekia, cerdas dan maut

Dan walaupun yang serba mapan itu tidak akan teringsut

Namun kosa kata kami jelas makin meningkat


Jika diskusi makin mendalam dan anda merasa bingung

Inilah resepnya supaya malu anda jadi minimum

Tunjukkan tegas, anda juga cendekiawan

Bertanyalah seram, “Inikah yang namanya pembangunan?”


Atau bilang: “Dalam praktek itu memang baik

Tapi dalam teori itu tidak jalan!”

Beberapa orang akan heran mendengar logika begini

Tapi mayoritas kagum pada renungan sedalam ini


Rumah kelompok Jagoan Pembangunan indah dan mewah

Sesak dan mahal, bertumpuk serta gemerlapan

Di sana-sini ada pula karya seni pedalaman

Sebagai bukti sikap hidup yang kerakyatan


Wah cukuplah sudah bersajak-sajak, tugas kini menghimbau

Kewajiban kami suci benar serta beratnya terlampau

Kami perlu bahu kuat memikul beban yang berat

Seperti juga kami perlukan selalu rakyat yang hidup melarat.

1979
*) Judul asli “The Development Set”. Penyairnya tak dikenal namanya. Diterjemahkan atas permintaan redaktur Prisma, dan dimuat di majalah itu, nomor Mei 1979.
Kumpulan Puisi
___________________
    
Syair untuk Seorang Petani dari Waimital, Pulau Seram, yang pada hari ini pulang ke Almamaternya
I
Dia mahasiswa tingkat terakhir
ketika di tahun 1964 pergi ke pulau Seram
untuk tugas membina masyarakat tani di sana.
Dia menghilang
15 tahun lamanya.
Orangtuanya di Langsa
memintanya pulang.
IPB memanggilnya
untuk merampungkan studinya,
tapi semua
sia-sia.

II
Dia di Waimital jadi petani
Dia menyemai benih padi
Orang-orang menyemai benih padi
Dia membenamkan pupuk di bumi
Orang-orang membenamkan pupuk di bumi
Dia menggariskan strategi irigasi
Dia menakar klimatologi hujan
Orang-orang menampung curah hujan
Dia membesarkan anak cengkeh
Orang kampung panen raya kebun cengkeh
Dia mengukur cuaca musim kemarau
Orang-orang jadi waspada makna bencana kemarau
Dia meransum gizi sapi Bali
Orang-orang menggemukkan sapi Bali
Dia memasang fondasi tiang lokal sekolah
Orang-orang memasang dinding dan atapnya
Dia mengukir alfabet dan mengamplas angka-angka
Anak desa jadi membaca dan menyerap matematika
Dia merobohkan kolom gaji dan karir birokrasi

Kasim Arifin, di Waimital
Jadi petani.

III
Dia berkaus oblong
Dia bersandal jepit
Dia berjalan kaki
20 kilometer sehari
Sesudah meriksa padi
Dan tata palawija
Sawah dan ladang
Orang-orang desa
Dia melintas hutan
Dia menyeberang sungai
Terasa kelepak elang
Bunyi serangga siang
Sengangar tengah hari
Cericit tikus bumi
Teduh pohonan rimba
Siang makan sagu
Air sungai jernih
Minum dan wudhukmu
Bayang-bayang miring
Siul burung tekukur
Bunga alang-alang
Luka-luka kaki
Angin sore-sore
Mandi gebyar-gebyur
Simak suara azan
Jamaah menggesek bumi
Anak petani diajarnya
Logika dan matematika
Lampu petromaks bergoyang
Angin malam menggoyang
Kasim merebah badan
Di pelupuh bambu
Tidur tidak berkasur.

IV
Dia berdiri memandang ladang-ladang
Yang ditebas dari hutan rimba
Di kakinya terjepit sepasang sandal
Yang dipakainya sepanjang Waimital
Ada bukit-bukit yang dulu lama kering
Awan tergantung di atasnya
Mengacungkan tinju kemarau yang panjang
Ada bukit-bukit yang kini basah
Dengan wana sapuan yang indah
Sepanjang mata memandang
Dan perladangan yang sangat panjang
Kini telah gembur, air pun berpacu-pacu
Dengan sepotong tongkat besar, tiga tahun lamanya
Bersama puluhan transmigran
Ditusuk-tusuknya tanah kering kerontang
Dan air pun berpacu-pacu
Delapan kilometer panjangnya
Tanpa mesin-mesin, tiada anggaran belanja
Mengairi tanah 300 hektar luasnya
Kulihat potret dirimu, Sim, berdiri di situ
Muhammad Kasim Arifin, di sana,
Berdiri memandang ladang-ladang
Yang telah dikupasnya dari hutan rimba
Kini sekawanan sapi Bali mengibas-ngibaskan ekor
Di padang rumput itu
Rumput gajah yang gemuk-gemuk
Sayur-sayuran yang subur-subur
Awan tergantung di atas pulau Seram
Dikepung lautan biru yang amat cantiknya
Dari pulau itu, dia telah pulang
Dia yang dikabarkan hilang
Lima belas tahun lamanya
Di Waimital Kasim mencetak harapan
Di kota kita mencetak keluhan
(Aku jadi ingat masa kita diplonco
Dua puluh dua tahun yang lalu)
Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca
Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi
Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku
Ketika aku mengingatmu, Sim
Di Waimital engkau mencetak harapan
Di kota, kami …
Padahal awan yang tergantung di atas Waimital, adalah
Awan yang tergantung di atas kota juga
Kau kini telah pulang
Kami memelukmu.

1979
Catatan: Bagian IV puisi ini saya bacakan pada hari wisuda Institut Pertanian Bogor di kampus Darmaga, Sabtu, 22 September 1979, sesudah M. Kasim Arifin menerima gelar Insinyur Pertanian. Sebelumnya, Kasim yang sudah 15 tahun dikabarkan hilang, tapi ternyata menanam akar di Waimital enggan memenuhi panggilan Rektor Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion. Pada kali ketiga kedatangan utusan Rektor, yaitu sahabatnya Saleh Widodo, baru Kasim mau datang ke Bogor. Dia terharu karena penghargaan alma maternya, tapi pada hakekatnya dia tidak memerlukan gelar akademik. Pada hari wisuda itu Kasim yang berbelas tahun berkaus oblong dan bersandal jepit saja, kegerahan karena mengenakan jas, dasi dan sepatu, hadiah patungan sahabat-sahabatnya.Mahasiswa-mahasiswa IPB mengerumuninya selalu dan mengaguminya sebagai teladan keikhlasan pengamalan ilmu pertanian di pedesaan. Berbagai tawaran pekerjaan disampaikan padanya, tapi dia kembali lagi ke desa Waimital sesudah wisuda. Baru sesudah itu dia menerima pekerjaan sebagai dosen di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, di tanah asalnya. Tawaran meninjau pertanian di Amerika Serikat ditolaknya. Ketika ditanya kenapa kesempatan jalan-jalan ke A.S. itu tak diterimanya, sambil tertawa Kasim berkata bahwa pertama-tama jangankan bahasa Inggeris, bahasa Indonesianya saja sudah banyak lupa. Kemudian yang penting lagi, katanya, apa manfaatnya meninjau pertanian di sana, yang berbeda sekali dengan pertanian kita di sini. Kesempatan meninjau sambil liburan tamasya ke A.S. itu tak menarik hatinya. 
___________________

Sajak Anak Muda Menyeberang Jalan
Si Toni berdiri di tepi sebuah jalan raya
Debu dikipas dalam campuran asam arang yang tajam
Orang-orang sibuk menanam kabel dalam-dalam
Menyilang pipa air minum dan saluran pemadam kebakaran

Si Toni tengadah dia ke langit
Dan matahari memandangnya dengan garang
Cahaya menyembur seperti logam yang terpanggang
Si Toni cepat mengelak
Perak pijar berhamburan di jalan

Si Toni menyeka pelipisnya
Dengan saputangan agak gombal
Dia masih belum juga bisa menyeberang

Si Toni menghitung macam mobil yang lewat
Empat puluh merek mobil mendesing-desing di jalan raya
Dia berjalan menyusur jendela kaca pertokoan
Empat puluh merek celana dan kemeja biru kusam
Bertepuk tangan padanya
Dia berjalan di tepi deretan butik
Empat puluh nama disainer dunia menggapainya
Di kawasan kesegaran badan dan olahraga
Empat puluh merek tangkai pancing memanggilnya

Si Toni berhenti
Di langit segugus tambang nampak melayang
Bergaris petak-petak bagai bagan teka-teki silang
Bergegar melingkar khatulistiwa
Orang-orang sibuk mengubur kabel dalam-dalam
Agak bertengkar dengan para pengawas banjir tahunan
Yang menggali, menggali dan menggali-gali
Dan menemu reptilia kurus serta luka-luka
Petugas itu bicara di corong:
“Percobaan. Percobaan.
Hallo Indonesia. Percobaan. Percobaan. Over.”

Suara di ujung kabel amat lemahnya
Sembilan digit memang lompatan jauh dalam angka
Ular-ular itu putus ekor. Ekor bergeliatan

“Ini percobaan sembilan digit. Hallo Indonesia. Over.”

Suara serat jerami menyahut di ujung sana

“Ini bukan Indonesia. Ini...
Brrrrp. Nitnot. Gluk. Brrrrp. Nitnot. Gluk.”

Si Toni berhenti di tepi got, memungut
Tiga potong ekor putus-putus, melompat-lompat

“Teka-teki silang ini terlalu mudah diisi,
Juga determinasi toksikologi.”

Si Toni menghirup udara berisi asam arang yang tajam
Dia menengadah ke langit cerah
Matahari membelalak padanya dengan garang
Matahari meludahkan cahaya perak yang pijar
Dia mengelak cepat dan terjatuh
Perak berhamburan dan meleleh di trotoar

Udara semakin panas rasanya
Empat puluh merek alat pendingin berjajar di jendela
Membereskan persoalan udara tropika
Dia bersandar pada pagar kedai obat-obatan
Empat puluh merek obat bersedia membeli penyakitnya
Dia merasa langkahnya makin lambat saja
Empat puluh merek sepeda motor menggerungkan mesinnya.
Si Toni menekan keningnya ke kaca etalase biru tua
Empat ratus merek arloji meneriakkan waktu ke telinganya
Dia terkejut dan menoleh ke belakang
Empat puluh merek antena televisi mencucuki pantatnya
Si Toni merasa pekak gendang telinganya
Empat puluh merek alat perekam meledak dalam bahana

Pelipis Toni berdenyut-denyut
Dia membersihkan sandalnya
Belum juga bisa menyeberang jalan
Orang-orang sibuk mencoba suara mereka
Orang-orang sibuk mengubur kabel telepon dalam-dalam
“Brrp. Nitnot. Gluk. Brrp. Nitnot. Gluk.”
Mereka mengisap udara bercampur asam arang yang tajam
Si Toni melihat ke atas
Dia teriakkan isi petak-petak teka-teki silangnya
Suaranya tenggelam
Segugus tambang terapung-apung indah di angkasa
Bergegar melingkar khatulistiwa


Si Toni berdiri sekarang dan menyeberang
Tiba-tiba dia berserobok matahari
Tiba-tiba matahari mencambukinya dengan garang
Dengan selusin besi cor beton yang panjang
Dari atas meludahi Toni penuh benci cuh-cuh-cuh!
Dengan semburan cairan perak berpijar
Maka Toni luka-luka, gegar, terkapar
Pembuluh-balik betisnya diisap reptilia pelahan
Dia dipapah masuk rumah sakit
Empat puluh hari lamanya.

1981 
___________________

Aisyah Adinda Kita
Aisyah adinda kita yang sopan dan jelita
Angka SMP dan SMP sembilan rata-rata
Pandai mengarang dan berorganisasi
Mulai Muharram satu empat nol satu
Memakai jilbab menutup rambutnya
Busana muslimah amat pantasnya

Aisyah adinda kita yang sopan dan jelita
Indeks prestasi tertinggi tiga tahun lamanya
Calon insinyur dan bintang di kampus
Bulan Muharram satu empat nol empat
Tetap berjilbab menutup rambutnya
Busana muslimah amat pantasnya

Aisyah adinda kita
Tidak banyak dia berkata
Dia memberi contoh saja

Ada sepuluh Aisyah    berbusana muslimah
Ada seratus Aisyah      berbusana muslimah
Ada sejuta Aisyah      berbusana muslimah
Ada sejuta Aisyah
Aisyah adinda kita.

1984
(dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo) 
___________________

Sajadah Panjang
Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati

Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini

Diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki, mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara azan
Kembali tersungkur hamba

Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud dan tak lepas kening hamba
Mengingat Dikau
Sepenuhnya.

1984
(dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo) 
___________________

Sebuah Ziarah, Ke Kubur Sendiri
dengan sepenuh hormat dan cinta
pada ibunda dan ayahanda
yang tak jemu tak pernah luput
mengingatkan kami makna el-maut

I
Matahari sembilan Zulhijjah
Tinggal setengah hasta di atas padang Arafah
Sempurna bulatnya, berwarna merah
Terdengarlah olehmu doa terakhir itu
Diucapkan menjelang matahari terbenam
Dibacakan oleh dua juta jamaah
Diratapkan oleh mayat-mayat ini
Dua juta mayat yang tegak, yang duduk, yang tiarap
Apalagi beda antara doa dan ratap
Terasakan olehmu batas waktu yang gawat
Antara detik kau mengenakan sendiri kain kafan
Sampai mikro-detik menating diri sendiri ke lubang kuburan
Dua juta mayat
Di depan dua juta kuburan
Dalam ribuan saf yang amat teratur membelintang
Antara Arafah dan Muzdalifah
Aku membungkuk sedikit
Mengintip kuburku
Apa jenis tanahku
Apakah tanah khatulistiwa
Mungkinkah tanah sub-tropika
Di lingir kuburku, dua liter pasir Arafah
Mencucur kedalamnya
Mengepulkan debu yang amat tipisnya
Kucoba kini merenungkan soal strategi kubur
Kucernakan masalah unsur struktur kubur
Tiba-tiba kain ihramku meluncur
Turun dari pundak
Kuletakkan balik, dengan hati-hati
Kuintip kubur isteriku
Sekilas tampak tepinya
Sekilas hilang bentuknya
Terbayang pula kubur kedua orangtuaku
Aku menghambur
Sebuah dinding tembus cahaya
Menghadangku
Kepala dan lututku membenturnya
Aku termangu
Wahai, di dinding itu tergurat sebuah maklumat:
Setiap mayat mengurus kuburnya sendiri-sendiri
Setiap mayat masuk ke kuburnya sendiri-sendiri
Wahai
Aku mencangkung, kaku dan canggung
Kupandang tanah kapling bahagianku
Dua kali satu meter persegi
Dua papan nisan, jelas mengeja namaku
Taufiq bin Abdul Gaffar Ismail
Papannya surian, pinggirnya digergaji agak kasar
Belum sempat diamplas supaya halus sedikit
Tanah itu bergoyang
Nampak semacam ada gelombang
Bergaris-garis tipis macam gerakan air di pasir
Mungkinkah kuburku di dasar lautan?
Di dalam sana, sama gelapnya, berbeda sedikit lembabnya
Tak jelas berapa hasta dalamnya
Dingin, sempit dan pengap
Tanpa peta situasi ventilasi
Dan cacah jiwa sejuta serangga
Serta lalu-lintas reptilia bawah tanah
Yang akan mencengkeram seluruh lahiriahku
Dan menyelenggarakan total penghancuran
Dengan kawanan bakteri pembusukan.

II

Di  bawah kemah di Arafah
Diterjang panas 50 derajat
Hamba letakkan tulang-belulang hamba
Sejajar sumbu bumi
Hamba terbaring
Mayat hamba terbaring
Ini sebuah simulasi
Inilah inventarisasi
Menjelang pengembalian segala barang pinjaman
Kepada Yang Maha Empunya
Semua benda yang sempat hamba akumulasi
Selama X tahun: barang-barang bergerak
barang-barang tak bergerak
surat-surat dunia, dokumen-dokumen fana, bangunan, ideologi
isteri, anak, cucu, ilmu, puisi, budaya
Ternyata mereka
Bukan milik hamba
Mereka  bergerak serentak
Tapi tepat di tepi kubur ini
Mereka semua berhenti
Hamba kembalikan gumpalan protein
Air dan garam ini
Pada Dikau, Yang Maha Empunya
Mudah-mudahan masih utuh amanatMu ini, Ya Razzaq
Empat ratus tulang-belulang, tiga belas persendian utamanya
Enam ratus otot daging yang telah bertugas sempurna
Bergerak di bawah matahari, bulan, gemintang dan kegelapan
Seperangkat urat syaraf, susunan darah dan pencernaan
Yang cara kerjanya demikian fantastik
Sesudah X tahun lamanya kupinjam adi-komputer
Hadiah Dikau ini, Ya Rabbi
Sepuluh ribu juta neuron dalam otak yang Dikau pinjamkan ini
Dengan sinyal-sinyal pikiran sekencang 400 kilometer per jam
Wahai. Betapa sayang Dikau pada tanah liat bergaram
Hamba, khalifahMu ini
Yang Dikau hadiahi cerdas dan ilmu
Tapi ini semuanya pinjaman hanya
Bagaimana cara hamba mengembalikannya
Hamba malu
Hamba malu …

III

Badanku gratis zat asam di udara gratis
Air banyak, makanan tak sukar dalam ikhtiar
Dengan apa hamba kembalikan
Imbalan sifat Rahman dan Rahim Dikau
Berbuat baik di dunia?
Betapa rumit dan ruwetnya
Betapa sulit menyisihkan tempo
Menggesekkan kening 6 detik di atas bumi Dikau
Menyelinapkannya tiap hari di antara 86.400 detik hadiah Dikau
Yang Dikau bagi rata, tiada tanpa
Sejak dari sahaya sampai kepada raja
Dan bila habis bahagian hamba
Dan bila regangan akhir akan disentakkan
Dan bila hijab mulai disibakkan
Tak sempat lagi meninjau inventarisasi
Semua benda yang diakumulasi
Mudah-mudahan semuanya sudah rapi
Karena hanya Yaasin yang terdengar kini
Dan isteriku yang mulai merah matanya
Dan cucu-cucuku yang duduk tegak termangu
Dan anakku yang membuka lipatan kafan
Ya Muqallibal Qulub, jangan palingkan hati hamba
Hamba kembali pada Dikau dalam keadaan tumpas
Fakir dan fana
Seluruh barang pinjaman hamba kembalikan
Mudah-mudahan semuanya utuh
Rasa ikhtiar hamba memelihara titipanmu, sudah pada
Kalaulah ada bahagian dari lempung bergaram ini susut
Di tulang kapur yang gugur
Di bawah kulit banyak lemak yang membiak
Dan inilah tumpukan bukit dosaku
Laporan makar dan rahasia syahwatku
Tak dapat aku sembunyikan dari pandanganMu, Ya Bashir
Akan kau apakan hamba, Ya Ghafur
Bukankah ubun-ubunku sudah sejak dulu
Dalam genggaman Dikau, Ya Malik
Dan bila tiba saat itu
Betapa sakit tak terperi tenggorokanku
Ketika pahit menyeluruh dalam mulut
Pada saat ranting-ranting runcing berduri itu
Pelan-pelan dicabut
Lewat saluran pernafasan
Maka tataplah mataku
Aku tak melihatmu lagi
Karena yang kupandang kini
Adalah
Dunia
Sana.

1986 
___________________

Lonceng Tinju
Setiap kali lonceng berkleneng
Tanda putaran dimulai
Setiap kali mereka bangkit
Dan mengepalkan tinju
Setiap teriakan histeria
Bergemuruh suaranya
Aku kelu
Dan merasa di pojok
Sendirian

Setiap lonceng berklenengan
Dan tinju mulai berlayangan
Meremuk kepala lawan
Terkilas dalam ingatan
Nenekku dulu berkata
“Jangan kamu mengadu ayam”
Dan bila aku menuntut ilmu
Di Kedokteran Hewan
Guruku menasihatkan
“Jangan kamu mengadu hewan”

Kini lagi, bel itu berklenengan
Aku tersudut, bisu
Dan makin merasa
Sendirian.

1987 
___________________

Yang Menetes Yang Meleleh
Demikianlah tetes air mata kananku
Karena ingat 6 anak muda petinju
Mati berlatih dan bertanding di negeriku
Tidak banyak orang mau tahu
Dan yang tahu melupa-lupakan itu


Kemudian tetes air mata kiriku
500 petinju Amerika, begitu majalah Ring memberitahu
Mati bertinju selama jangka waktu 70 tahun lalu
Setiap lima puluh hari mati satu
Menyiarkan ini mana pers mau


Meleleh ingus lubang hidung kananku terasa
Di Madison Square Garden kucecerkan di gerbangnya
Omong kosong ukuran raksasa itulah WBC dan WBA
Mana pula olahraga, sejelas itu adu manusia
Lama nian habis-habisan kita bangsa minder ini dikecohnya


Lalu meleleh ingus lubang hidungku sebelah kiri
Kuhapus dengan koran pagi bergambar Don King ini
Si Rambut Tegak, Penipu Gergasi, Pembunuh dan Bandit Sejati
Di kakinya berlutut para petinju dan promotor satu negeri
Jutaan dolar kontrak ditilep masuk kantong jas dalam kiri sekali.

1988 
___________________

Lupa Aku, Nomor Telepon Hakim Agung Bismar Siregar

Adu hewan, katanya

Dilarang oleh etika, agama, akal waras

Dan peraturan pemerintah



Itu ‘kan di zaman Belanda. Kuna



Adu manusia, katanya

Bahkan tontonan pembantaian manusia

Dibolehkan oleh etika, agama, akal waras

Dan peraturan pemerintah



Ini ‘kan di zaman merdeka. Pancasila



Aku bingung

Ini bagaimana



Aku ingin bertanya

Pada Pak Bismar

Tapi lupa nomor teleponnya.

1989
___________________

Don King Makan Siang di New York
Setiap dua bulan tenggelam
Seorang petinju masuk kuburan
Atau di krematorium dipanggang
Di Amerika sana
Perdarahan otak sebab utama
Dan ini sudah berlangsung lama
Sejak 1918 sampai 1988
Ini catatan majalah adu manusia
Ring namanya

Mayat 500 petinju telah dibariskan
Yang 70 tahun dihasilkan
Kebudayaan padat kebringasan
Yang menyebar keganasan
Dan mengobarkan kecongkakan
Yang memberi sesajen kepada kepalan
Serta menyuburkan perjudian

Lihatlah siang hari ini
Seorang lelaki gendut sempurna
Rambutnya kaku bagai duri landak
Sedang makan siang dengan rakusnya
Kunyahnya berbunyi ke mana-mana
Sebuah otak bulat terhidang di piringnya

Ketika dia menjilat garpunya
Nampak darah segar berlelehan
Di sudut-sudut mulutnya

Lalu di depan kasir itu
Dia merogoh saku celananya
Muncul di lipatan dompetnya
Kepala dan leher ular berbisa
Putih tutul hitam warnanya
Menjulur-julurkan lidahnya
Yang bercabang dua.

1989 
___________________

London, Abad Sembilan Belas
1

Pada ronde ke-99 yang berdarah-darah
Petinju Simon Byrne selesai sudah
Dia mati memuaskan penontonnya

Tinju maut Si Tuli James Burke
Diacung-acungkan wasit
Para penonton berteriak gembira
Polisi Inggeris datang bertugas
Peraturan langsung menjerat kedua tangannya
Tapi anehnya dia dibebaskan, tak lama
Inilah ejekan pada undang-undang
Walau pun ada manusia masih terlarang
Putusan pengadilan bisa diperjual-belikan

2

Lalu tengoklah berbondong-bondong penonton
Naik kereta api dari Setasiun Jambatan London
Menuju tempat rahasia, 25 mil jauhnya
Inilah pertandingan pertama antarbangsa
Tom Sayers juara Britania
Diadu John Heenan jagoan Amerika
Sastrawan Dickens dan Thackeray menonton juga
Sesudah 42 putaran adu manusia
Keduanya berdarah-darah, lebam, habis daya
Tak berketentuan wasit apa keputusannya
Para penonton berteriak dalam histeria
Mengacung-acungkan tinju ke udara
Polisi melakukan interupsi
Para juri dipisuhi, wasit dimaki-maki
Penonton-penonton tak puas jadi buas
Mereka lalu bertinju sesama mereka
Mereka bergigitan seperti serigala
Melolong bagai gorila
Pertunjukan jadi lengkap
Dan lumayan biadab

3

Itulah adegan abad sembilan belas
Asal-usul adu manusia yang kita tidak tahu
Tapi ujungnya kita tiru-tiru
Sebagai bangsa minder apa saja dari Eropa dan Amerika
Seperti kawanan bebek diturut dan ditirukan saja
Sudah jelas ini adu manusia mereka bilang olahraga
Seperti kambing mengembik kita setuju pula
Inilah budaya tanpa pikir kita jiplak begitu saja


Dari abad 19 orang masuk ke abad 20
Di awal abad, adu manusia di sana dilarang undang-undang
Tapi pemilik modal si orang kaya membeli undang-undang
Disobek dicincang itu dokumen undang-undang
Sebagai sampah hukum masuk keranjang
Adu manusia jadi tidak lagi terlarang
Lengkaplah bagian biadab budaya barat
Yang garang, bringasan dan tamak pada uang
Menjalar ke negeri sini, ditiru dan diulang-ulang
Sudahlah minder, ditambah gebleg, kita tak kepalang

4

Pada hari ini akhir abad dua puluh
Kakiku satu sudah masuk abad dua puluh satu
Kita ketemu
Kau ajak aku balik ke abad sembilan belas
Lho tapi, kita ‘kan mau menembus abad 21
Kenapa kau bujuk aku balik ke abad 19 lagi
Mana aku mau

Tapi kau berkeras balik kanan juga
Kau tetap mau ditipu, adu manusia itu olahraga
Kau menanam bibit kekerasan dan kebringasan
Sudah berapa puluh tahun jangka waktunya
Kau sudah panen lama kau mana tahu itu
Bibitmu tumbuh, menyebar dan membesar
Karena kau rabun mana bisa itu kau baca
Ke masyarakatmu tak pernah kau berkaca
Dan kau berkeras balik kanan juga

Kau tak tahu sudah kusiapkan tali rafia biru
Diam-diam kuikat kedua pergelangan tanganmu
Kuseret kau masuk abad 21
Masih saja kau berteriak tak tahu malu
“Tidak mau! Tidak mau!”
Tengoklah anak-anak yang berpikir itu
Mereka terheran-heran melihat kamu.

1989 
___________________

Air Kopi Menyiram Hutan
Tiga juta hektar
Halaman surat kabar
Telah dirayapi api
Terbit pagi ini
Panjang empat jari
Dua kolom tegaklurus
Dibongkar dari pik-ap
Subuh dari percetakan
Ditumpuk tepi jalan
Dibereskan agen koran
Sebelum matahari dimunculkan
Dilempar ke pekarangan
Dipungut oleh pelayan
Ditaruh di mejamakan
Ditengok secara sambilan
Dasi tengah diluruskan
Rambut isteri kekusutan
Empat anak bersliweran
Pagi penuh kesibukan
Selai di ujung tangan
Roti dalam panggangan
Ketika tangan bersilangan
Kopi tumpah di bacaan
Menyiram tigajutahektar koran
Dua kolom kepanjangan
Apipadam menutup hutan
Koranbasah dilipat empat
Keranjang plastik anyaman
Tempat dia dibuangkan
Tepat pagi itu
Jam setengah delapan.

1988 
___________________

Mencari Sebuah Masjid
Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan
fondasinya batu karang dan pualam pilihan
atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan
dan kubahnya tembus pandang, berkilauan
digosok topan kutub utara dan selatan

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan
dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran
dengan warna platina dan keemasan
berbentuk daun-daunan sangat beraturan
serta sarang lebah demikian geometriknya
ranting dan tunas jalin berjalin
bergaris-garis gambar putaran angin

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya
menyentuh lapisan ozon
dan menyeru azan tak habis-habisnya
membuat lingkaran mengikat pinggang dunia
kemudian nadanya yang lepas-lepas
disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas
yang memperindah ratusan juta sajadah
di setiap rumah tempatnya singgah

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana
bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya
engkau berjalan sampai waktu asar
tak bisa kau capai saf pertama
sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu
bershalatlah di mana saja
di lantai masjid ini, yang luas luar biasa

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya
yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya
dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya
di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian
yang menyimpan cahaya matahari
kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan
ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna
di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta
terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya
tempat orang-orang bersila bersama
dan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbuka
dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian
dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan
dalam simpul persaudaraan yang sejati
dalam hangat sajadah yang itu juga
terbentang di sebuah masjid yang mana

Tumpas aku dalam rindu
Mengembara mencarinya
Di manakah dia gerangan letaknya

Pada suatu hari aku mengikuti matahari
ketika di puncak tergelincir dia sempat
lewat seperempat kuadran turun ke barat
dan terdengar merdunya azan di pegunungan
dan aku pun melayangkan pandangan
mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan
ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan
dia berkata
‘Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan’
dia menunjuk ke tanah ladang itu
dan di atas lahan pertanian dia bentangkan
secarik tikar pandan
kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran
airnya bening dan dingin mengalir beraturan
tanpa kata dia berwudhu duluan
aku pun di bawah air itu menampungkan tangan
ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan
hangat air yang terasa, bukan dingin kiranya
demikianlah air pancuran    
bercampur dengan air mataku
yang bercucuran.

Jeddah, 30 Januari 1988 
___________________

Percakapan Telapak Sepatu Berlumuran Lumpur Kuburan
I

Sepasang sepatu, kiri dan kanan
Sedang memperbincangkan keluhan
Terlalu banyak bertambah muatan
Tanah yang lekat jadi beban
Sehabis acara mengantar jenazah ke kuburan
Ketika hari rintik-rintik hujan

Tetapi aku yang punya sepatu
Tak mendengar percakapan itu

Bukan kepalang riang perasaan
Dua butir tanah dasar kuburan
Yang di telapak sepatuku ikut melekat
“Sudah dua ratus tahun bertugas di liang lahat
Kinilah baru terbawa naik ke atas
Lama benar tidak menatap matahari
Di tempat bertugas sehari-hari
Menemani mayat yang terbaring sendiri
Yang pelahan jadi tulang-tulang berantakan
Akulah tempat melintas bakteri, serangga dan reptilia
Yang bergilir membongkar onderdil kendaraan roh ini
Bermilyar-milyar mereka bergerak, merayap dan meresap
Mereka kerja diapit kelam dinding bercat tinta Hindia
Dan setelah berakhir penyerbuan pasukan bakteri pembusukan
Tak ada lagi otot, sususan syaraf,  pembuluh darah dan jeroan
Semua diserap bumi melalui kimia penghancuran
Sempurna dihimpit, sempit, dalam fisika kepadatan
Dua ratus tahun aku bertugas dalam kelam
Dan sore ini, aku mengalami mutasi.”

Tapi yang berlumur lumpur
Yaitu sang sepatu
Tak mendengar omongan itu

II

Gerimis sudah agak mereda, sesekali angin terasa
Menjelang pintu gerbang masih banyak orang-orang
Mencapai trotoar aspal, kuringankan beban sepatuku
Kugosokkan telapak bergantian kiri dan kanan
Kini terasa agak lumayan
Walau ada bagian yang bandel dan kukuh bertahannya
Berikut tiga helai rumput yang melekat dengan eratnya

Sesama rumput tersebut ternyata berkata pula
Sambil membenahi akar yang terbawa sempurna
“Mudah-mudahan kita dapat bumi yang sunyi
Tempat kita tumbuh menyebar dan menutup tanah
Memberi warna hijau dan menguapkan zat asam
Menyiapkan pucuk untuk dikutip hewan ternak
Bercanda dengan kumbang dan alang-alang
Menangkap angin yang mengibarkan sepi
Di atas bagian bumi yang agak sunyi
Cukuplah pengalaman menumbuhi pekuburan
Tempat yang paling bising di atas dunia
Betapa hiruk-pikuk tak pernah diam
Terguncang-guncang bagai lindu berketerusan
Pernah suara seperti teriakan orang-orang di stadion bola
Digilas seratus mesin giling bersama-sama
Sekawanan kerbau yang sedang memamah-biak
Tegak terperanjat, mengibaskan telinga
Lalu lari tunggang-langgang
Kadang-kadang kudengar jeritan massal hinggar-bingar
Para perempuan yang dibebat gurita kawat berduri
Sehingga induk-induk ayam tegak terpaku
Lalu berkotek-kotek tak ada putusnya
Tungku raksasa apa yang ada di bawah pusara
Mengambang panasnya ke atas
Memanggang putik-putik daun
Kuali penggorengan mayat yang luarbiasa busuk
Yang percikan uapnya membunuh bunga-bunga kamboja
Yang menjerit kesakitan
Sesudah diusap oleh warna kekuningan
Daun-daun itu gugur keletihan
Mudah-mudahan kita dapat bumi yang sunyi
Tempat kita menumbuhkan hijau daun yang teduh
Jauh dari gelegar kubur tak berkeputusan
Tapi heran aku. Lihatlah yang punya sepatu ini
Tertawa-tawa saja sesudah acara mayat masuk kuburan
Dia berkelakar terus dengan teman-temannya
Seperti dia tidak mendengar hingar-bingar
Kamar-kamar algojo di bawah sana
Betapa sempurna
Kedua telinga
Tulinya dia.”

Tanah pusara yang melekat di telapak sepatu
Tak mendengar kata-kata rumput itu


III

Aku memutar kunci penyala mesin kendaraan
Roda-roda menggelinding pelahan di musim hujan
Di sela rimba lalu-lintas yang penuh kemacetan
Dengan hati-hati kutekan dan kulepas pedal gas ini
Sebutir tanah dasar kuburan
Yang lekat di bawah telapak sepatuku kanan
Ditanyai teman-temannya, lumpur aspal jalanan
Dan menjawablah dia:
“Pengalamanku yang paling kukenang
Selama bermukim di bawah sana
Ialah menyaksikan hancurnya kain kafan
Kemudian runtuh membusuknya kulit dan daging
Lumatnya organ jeroan
Berserakannya rambut dan kuku
Melelehnya lemak dan kelenjar
Menerawangnya tulang-tulang rusuk
Termenungnya tengkorak
Menganganya rahang
Berlubangnya rongga pernafasan
Cerai-berainya persendian
Tapi, di sudut rongga mata kirinya
Sisa bola matanya masih menggelantung sipi
Nyaris terjatuh
Dan aneh
Di sudut bola mata membusuk keriput itu
Setetes air mata menggantung pula
Lama tersangkutnya
Seperti enggan jatuh
Antara gugur dan menggantung
Tapi tak juga luruh-luruh
Kemudian
Dari air mata itu
Yang berkilat dalam gelap
Meneteslah setitik air

tes

Jatuh di dekatku
Bertanya aku padanya
‘Siapa kamu’
Menjawablah dia
‘Aku air mata dari air mata’
Aku bingung
‘Maksudmu bagaimana’
‘Aku air mata. Dari air mata
Aku menitik berkepanjangan
Di bawah tanah
Karena sumberku, air mata sebenarnya
Tertahan menetes
Selama di atas tanah’
Aku tidak paham
Mungkin aku tak perlu paham”
Begitulah cerita butir tanah kuburan itu.

IV

Pedal gas yang kini berlumuran tanah liat itu
Tak mendengar kata-kata tanah kuburan tadi
Rumput yang tiga helai berikut akarnya
Tak mendengar pula kata-katanya
Sepatu yang membawa semua
Tak mendengar kata rumput dan tanah
Aku yang menginjak dan memasuki kedua sepatu itu
Tak menyimak kata-kata sepatu.

1988 
___________________

Penerbangan Terakhir
I

Pernahkah terlintas dalam pikiranmu
Ketika pesawatmu baru lepas landas
Ketika engkau meneguk secangkir air jeruk
Dan kabin dikuasai udara sejuk
Bahwa bersamamu, mungkin di ruang di bawah kakimu
Atau di bagian belakang situ
Ada penumpang ikut melayang
Tapi posisinya terbaring menelentang
Dalam peti yang pengap udara
Dalam struktur yang kedap suara
Hitam atau coklat tua warnanya
Penumpang ini tak kau temukan namanya
Dalam kertas manifes yang biasa
Dia tidak mendapat hidangan makan siang
Atau petunjuk menyelamatkan badan
Karena bagian dunia baginya, selesai sudah persoalan
Tinggal lagi menunggu hari penguburan
Yang masalahnya luar biasa rawan.

II

Kini, pesawatmu melayang dalam tinggi 37.000 kaki
Cuaca musim panas di belahan bumi sini
Pilotmu mengguratkan baris tipis di peta angkasa
Di bawah bulan sabit berumur lima hari
Di atas Lautan Teduh, biru hitam malam hari
Ketika para penumpang sibuk menyelenggarakan gizi
Ada yang mengganyang ayam teriyaki dengan pucuk brokoli
Disusul putik jagung, terung bakar dan potongan roti
Engkau mengunyah ikan kerapu masam dan legi
Sesudah secawan puding kau minta lagi krim dan kopi
Dalam keadaan lezat dan kau lupa segala ini
Di kursi 25 F sebelahmu seorang penumpang
Menepuk bahu kirimu
Engkau tidak merasa itu
Karena kursi itu kosong menurut perasaanmu
Dia menepukmu sekali lagi
Dan kau tetap tak merasa
Ketika tenggorokanmu sibuk mengatur irigasi kopi
Dia pun duduk, tersandar seperti terapung
Ingin berkomunikasi tapi tak bisa, baru dia sadar lagi
Dan ketika kau mengisi formulir bea-cukai dan imigrasi
Penumpang 25 F melongok namamu jelas sekali
Dia mempelajari profil wajahmu sebelah kiri
Engkau kini terengah kekenyangan
Dan mulai mengantuk
Dan seluruh penumpang kompak mengantuk
Dan malaikat melepaskan pasak-pasak pelupuk mata
Dua ratus lima belas pasang mata serempak tertutupnya.

III

Penumpang 25 F bangkitlah pelahan
Ditatapnya adegan tidur yang massal itu
Engkau ditinggalkannya kini
Dia bergerak di gang seolah melayang
Dikawal dua malaikat kanan dan kiri
Diikat dua utas rantai, berayun-ayun
Melewati sebuah tempat tidur kecil
Tiba-tiba terdengar tangis sang bayi
Dia menoleh sekejap
Kemudian di pertengahan jalan
Dia membenam ke lantai
Tembus masuk, ke ruang bagasi
Kini duduklah dia di atas peti mati
Memandang wajahnya sendiri.

IV

Pesawat menderu di atas Samudera Pasifik
Malam biru hitam, dingin dan dalam
Menembus papan peti mahogani, nampak olehnya
Tangannya bersidekap, kanan di atas yang kiri
Kafan tiga lapis, lutut diikat, rahang dibebat
Kedua matanya berlapis kapas terpejam erat
Dia ingin menghambur masuk ke badannya lagi
Tapi tidak bisa
Rantai malaikat terayun-ayun, berdenting-denting
Sejuta mata rantai, sejuta simpul penyesalan
Betapa inginnya dia membangunkan dirinya sendiri
Dan mengulang semua ini lagi
“Bangun, bangun!” serunya pada jasadnya
Wajahnya kaku dan dingin, mulai berbau
Matanya dua gumpal kapas, putih dan bisu
“Bangun, bangun!” serunya sedih, seraya memukul peti
Pukulannya keras, bablas ke bawah
Menembus tumpukan kopor penumpang
Dinding perut pesawat
Tersangkut dia di gumpalan awan mengandung hujan
Kedua malaikat menariknya keras
Rantai menegang, meregangnya ke atas
Terbentur di langit-langit proyektor pesawat
Terduduk lagi dia, di kursi deret 25, huruf F
Dilihatnya engkau tidur terteleng miring ke kanan

“Bangun, bangun!” serunya, dikusainya rambutmu
Diguncang-guncangnya kepalamu
Engkau tak merasa itu
Padahal rantai sesalnya terkait di selimutmu
Tetap tak ada yang mendengar
Tiada yang menggeliat

Semuanya tidur di atas lambung yang padat
Sesudah makan bistik Yokohama
Semua pulas, termiring-miring itu kepala
Sesudah nonton filem Amerika
Semuanya jauh melakukan perjalanan
Melalui perencanaan dan pembiayaan
Dengan mata tertutup kedua-duanya

“Bangun, bangun!” serunya
Dia melayang-layang kencang
Di atas 215 kepala penumpang
Seraya menempelengi pipi kiri dan kanan
Tak ada yang terjaga atau siuman
Dia berhenti dan menggemerincingkan rantainya
“Dengar ini, dengar,” serak suaranya
Seluruh bumi dan langit mendengarnya
Kecuali manusia.

V

Tiba-tiba bayi tadi menggeliat
Menangis dengan suara tipis tetapi kuat
Namun orang tuanya tidak terbangun jua
Dia mendekati bayi berpopok putih itu

“Wahai lucunya kamu sebagai bayi ...
Dengar dia menangis kini
Seperti pada waktu kontraksi rahim ibunya
Ruhnya itu, yang menangis itu
Dia melejit ke dunia
Dan menangis tersedu-sedu
Semua bayi lahir menangis
Tak ada bayi yang lahir terkekeh-kekeh
Dia tahu sesaknya kelak bernafas menghirup udara
Memarnya lutut merangkak di atas peta dunia
Repotnya menangkap capung beterbangan di halaman
Dan terus-terusan mereguk air lautan
Dan betapa cuek dan luas kuap menganga
Bersenda-gurau dengan umur
Menabung nikmat jangka pendek
Mengunyah-ngunyah daging saudara kandung
Bermain api dengan sesal
Sesal akhir yang tak jelas akhirnya
Wahai ruh bayi
Menangislah keras-keras
Agar terbangun kedua orangtuamu
Dan penumpang bahtera semuanya.”

Maka menangislah ruh bayi itu keras-keras
Kedua tangan yang alit itu seperti terkejang-kejang
Kakinya pun menerjang-nerjang
Suaranya melengking lalu menghiba-hiba.

VI

Tak ada yang mendengarnya
Tak ada yang menyimaknya
Karena semua grrrh, fuuu…
Tak ada yang menggeliat
Karena semua grrrh, fuuu…
Semua tidur terkenyang-kenyang
Sesudah usus ditimbun menu Jepang
Grrrh, fuuu…
Semua pulas, mulut lumayan menganga
Sesudah dipulas mentega Skandinavia
Grrrh, fuuu…
Semuanya jauh melakukan perjalanan
Menggunakan perencanaan dan besarnya pembiayaan
Tapi mata tertutup kiri dan kanan
Grrrh, fuuu…

VII

Seperdua bola dunia, bagai tempurung gelita
Gemuruh mesin pesawat lenyap diserap mega dan samudera
Gelap dan dingin pada ketinggian 37.000 kaki
Penumpang 25 F duduk di luar pesawat
Dia mencangkung di atas atap kelas bisnis
Rambutnya tak kusut, tak sehelai beringsut
Walau angin menyisirnya 800 km per jam
Dia memandang ke depan, seolah mempelajari gelap
Rantainya terjela-jela
Dia sangat ingin menangis
Tapi tak ada lagi persediaan air mata
Sepotong bulan berumur lima hari
Mengirim pantulan cahaya lima watt, dari atas sana
Semua sunyi
Semua dingin
Penumpang 25 F, berpeluk lutut di atas kelas bisnis
Tinggal beberapa jam saja jaraknya
Dari acara penguburan jasadnya
Pada saat itu juga
Mayat-mayat beterbangan di udara
Dalam suatu jaringan penerbangan tak pernah diumumkan
Mereka berpapasan sesama mereka
Mereka tak sempat lagi bertegur sapa di udara
Betapa basa-basi yang percuma
Betapa berat rantai yang mengebat gerakan
Dia melihat ke bawah kini
Semua penumpang bahtera ini
Tidur sepulas-pulas tidur
Betapa sukarnya
Membangunkan mereka
Grrrh, fuuu…
Grrrh, fuuu…

LA-NY, 1988 
___________________

Aku Rindu pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja
Mengenang Sjafruddin Prawiranegara

Dua hari    aku duduk ditribun sebelah kanan, di jejang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,

Dua hari     aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada Agresi Kedua, 1948 tahunnya,

Aku berenang di antara arus kertas kerja, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan,
kurasa sudah kukenal anatomi dan fisikologi sukmamu wahai sejarah,
tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,

Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia sangat belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tiada armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemuskilan dalam beribu format,

Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang jelas
kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomade yang lengket, dan
aku ingat betul mereka bercelana panjang model kedomrangan,

Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan
uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangnkan pikiran
serta ide,

Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan
ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi,
begitu pula kuingat beribu-ibu manusia Indonesia lain pada zaman
itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika
memerdekakan Nusantara,

Mari kita tundukkan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita
bacakan Al-Fatihah untuk mereka,

ada suara lalu-lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dam memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan.

Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori
Apa Siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam  buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi pertikelir atawa swasta,

Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keihklasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa bisa berjuta-juta merionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?

Aku saksikan kepala-kepala mereka yang cendekia menggeleng perlahan-
lahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufiq
Abdullah, “sebenarnya tahu sedikit saja,”

Sehabis masa yang dua hari itu, inilah yang kurindukan: suara zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu
zaman di mana kecambah ide dan lalu lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika seyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung  pementasan, zaman di mana sikap bersahaja
diperebutkan.

Seminar PDRI, 26 September 1989. 
___________________

Palestina, Bagaimana Aku Melupakanmu
Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh
menderu, serasa pasir     dan batu bata dinding kamartidurku
bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan
mengepulkan debu yang berdarah.

Ketika     luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan    apelmu dilipat-lipat
sebesar saputangan lalu di Tel Aviv dimasukkan dalam fail lemari
kantor agraria, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan
khatulistiwa, yang dirampas mereka.

Ketika     kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai kelakuan reptilia bawah
tanah dan sepatu sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening kita
semua, serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil
belajar tajwid Al-Qur’an 40 tahun silam, di bawahnya ada kolam ikan
yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini ditetesi

air
mataku.

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu

Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun  bilangan umur mereka,
menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi
pergelangan tangan dan lengannya, siapakah yang tak menjerit serasa
anak-anak kami Indonesia jua yang dizalimi mereka – tapi saksikan
tulang muda mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan
rantai amat panjangnya, pembelit leher lawan mereka, penyeret
tubuh si zalim ke neraka.

Ketika     kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al-    Qassem, Harun Hashim
Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang
dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami    semua berdegup
dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu,
darah kamipun memancar ke atas lalu meneteskan guratan kaligrafi

‘Allahu Akbar!’
dan
‘Bebaskan Palestina!’

Ketika    pabrik tak bernama 1000 ton sepekan memproduksi dusta,
menebarkannya ke media cetak dan     elektronika, mengoyaki
tenda-tenda pengungsi di padang pasir belantara,
membangkangi resolusi-resolusi majelis terhormat di dunia,
membantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser Arafat,
Ahmad Yassin dan semua pejuang negeri anda, aku pun
berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at sedunia: doakan
kolektif dengan kuat seluruh dan setiap pejuang yang
menapak jalanNya, yang ditembaki dan kini dalam penjara,
lalu dengan kukuh kita bacalah

‘la quwwatta illa bi-Llah!’

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu
Tanahku jauh, bila diukur kilometernya, beribu-ribu
Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu
Serasa terngiang-ngian di telingaku.

1989 
___________________

Kuitansi
Selembar kuitansi
Dua hektar luasnya
Terbentang di hadapanku
Tak tahu aku cara
Menandatanganinya

Sebuah kuitansi
Berbentuk bom waktu
Bila kuteken hari ini
Akan meledak dua dasawarsa
Dan mencencang anak cucuku
Tak tahu aku cara
Menandatanganinya

Selembar kuitansi
Seluas langit
Biru jernih di atas sana
Tak tergapai
Dalam jangkauan tak sampai
Tak tahu aku cara
Menandatanganinya

Sebuah kuintasi
Berbentuk lipatan kain kafan
Berwarna perak berkilauan
Dengan jari bergetaran
Di bagian bawah di sudut kanan
Tandatanganku
Kugoreskan.

1991 
___________________

Pelajaran Membunuh Orang
Sejak televisi bersaluran lima ini aku ditawari waktu untuk secara agak
mendalam ditatar cara membunuh orang yang didahului oleh
mukadimah belajar mengintai muslihat orang membunuh aku,

Kostum penting ternyata. Kalau kau kaya berlagaklah melarat karena
itu wajar dan kalau kau melarat berlagaklah berduit karena
itu lebih wajar lagi. Usahakan bersikap biasa, dingin seperti
agar-agar, agak acuh tak acuh, kunyah-kunyah permen karet
dengan aroma jahe, jangan beratkan titik pada nilai dramatik
tapi lebihkan pada gerak tipunya,

Sejak televisi bersaluran lima ini Sabtu lalu aku nyaris ditembak orang
dua kali, hari Ahad mau diculik sekali, Senin kejar-kejaran
mobil tiga belas menit, Selasa tabrakan beruntun sembilan
kendaraan, Rabu kecebur kolam satu setengah kali dan pada
hari Kemis tak terjadi apa-apa karena listrik mati,

Lewat layar kaca aku dilatih menghafalkan cara mencekik leher
perempuan kesepian dengan tali rafia, menusuk jantung
tetangga dengan linggis, menggergaji lengan demonstran,
membakar badan bajingan dan meledakkan perut laki-laki
hamil enam bulan,

Semua itu kulakukan santai sambil menggosok gusi dengan pasta gigi
berwarna biru, kumur-kumur cairan berduri yang warnanya
seperti pipis kuda, minum kopi sekental lumpur sawah
pegunungan, mengisap racun nikotin di atas pelana kuda
Arabia, mencuci bulu-bulu kaki dengan shampo 2-dalam-1 dan
melihat kamu yang memakai sepasang beha yang lebih mirip
seperempat beha,

Yang tivi agak ogah-ogahan adalah memberi simulasi cara bule pejantan
mengunyah bibir betinanya, tapi tivi membiarkan mata kita melihat
kepala orang terguling-guling atau tangan lepas dari engselnya yang
goyah. Tivi berwarna tidak lagi menyuguhkan misteri pelangi
apa pula air mata bianglala. Dia memaksa kita tersandar seperti
maling pemalas yang menyodorkan pergelangan tangannya diborgol
oleh waktu,

Yang tidak diajarkan oleh tivi adalah cara membunuh tivi.

Padahal aku tidak perlu terlalu cerdas untuk tindakan begitu berat. Untuk
membuatnya sekarat, cukup satu sentuhan saja pada sebuah tombol
yang keparat,

Ternyata aku memang gebleg, sudah agak lama.

1991 
___________________

Tiga Keinginan
Seperti peneliti di depan sebuah pustaka aku berdiri
Lalu berteriak sendiri
“Beri aku segenggam huruf
Karena aku ingin menyusun sebuah gunung.”

Seperti perantara di depan percetakan aku berkeliaran
Lalu mengetuk pintunya seraya berkata
“Beri aku seperangkat tanda baca
Karena aku ingin menyelesaikan sebuah sungai.”

Seperti pencari berita di depan kantor ensiklopedi aku ragu
Lalu minta janji waktu dan akhirnya bicara
“Beri aku kendara bahasa dengan suku cadang selengkapnya
Karena aku ingin mengukir sebuah peta.”

1992 
___________________

Mendoakan Khatib Jumat Agar Mendoakan
Berminggu-minggu debu Galunggun menyusupi kota-kota
Beratus-ribu saudara kita jatuh sengsara
Di Kalimantan berjuta hektar hutan terbakar
Asapnya menutup Asia Tenggara, apinya berbulan menjalar-jalar
Aku masuk sebuah masjid suatu Jum’at tengah hari
Tak kudengar khatib mendoakan mereka

Ada perang panjang di Palestina, Kashmir, Afghanistan dan Filipina Selatan
Beratus-ratus perempuan, lelaki dan kanak-kanak digilas penderitaan
Di atas Baghdad pesawat pembom menderu berminggu-minggu
Membuat puing dan kawah di tengah kota, mencecerkan bahan mesiu
Aku masuk sebuah masjid suatu Jum’at tengah hari
Tak kudengar khatib mendoakan mereka
Tak kudengar qunut nazilah dibacakan imam pada raka’at kedua

Banjir besar melanda Jawa Tengah, pesisir sebelah utara
Banjir paling dahsyat Bangla Desh melanda desa-desa yang papa
Gempa bumi menggoyang Flores, Liwa dan Gamalama
Beratus dan beribu orang tercabut nyawa, punah dalam nafkah
Aku masuk sebuah mesjid suatu Jum’at tengah hari
Tak kudengar khatib mendoakan mereka

Berjuta penduduk yang miskin dicekik permainan judi
Beribu warung menderetkan beratus-ratus botol alkohol
Saudara kita yang tak berpunya semakin tertelungkup miskin
Mereka bukannya pemalas, cuma sempit dalam rezeki
Aku masuk sebuah masjid suatu Jum’at tengah hari
Tak kudengar khatib mendoakan mereka

Marsinah dibunuh, masuk kubur, keluar kubur dan lagi masuk kubur
Siapa itu yang digusur, digusur dan lagi-lagi digusur
Upah kerja yang sangat rendah, tebing tergelincir kufur
Saudara kita yang melarat tergelepar, makin tertelungkup miskin
Aku masuk sebuah masjid suatu Jum’at tengah hari
Mengapa tak kudengar khatib mendoakan mereka
Mengapa khatibku tak pernah mendoakan ummat yang miskin tertindas itu?

Dua tahun derita Bosnia, dua puluh ribu perempuan diperkosa
Dua ratus mati, dua juta manusia mengungsi
Dan seminggu Bihac dihancur-luluhkan sementara dunia bisu
Gunung Merapi meletus, lahar mengalir, awan panas menjalar-jalar
Badai api menggeletar, mayat-mayat saudara kita hangus terbakar
Aku masuk sebuah masjid suatu Jum’at tengah hari
Tak kudengar khatib mendoakan mereka
Mana itu qunut nazilah pada raka’at kedua

Berbulan ekonomi ambruk, lima belas juta kehilangan kerja
Tangan-tangan menggapai harga, menggantung di awan sana
Lapar dan sengsara tak pulih dibarut dengan kata-kata
Ibu-ibu berdemo susu bayi di depan hutan yang terbakar kembali
Aku masuk sebuah masjid suatu Jum’at tengah hari
Tak kudengar qunut nazilah dibaca, penolak bala penyeka air mata
Tak kudengar khatib menghibur
Berjuta-juta ummat yang menganggur

Aku mencoba menarik nafas dalam-dalam
Dadakku nyeri, paru-paruku sesak dijepit tulang-dada
Sumpek, mampat, di ruang sempit hampa ukhuwwah
Begini sajalah
Aku ingin kita sama-sama berdoa
Mendoakan khatib-khatib setiap sebelum shalat Jum’at
Agar mereka tidak lupa mendoakan penderitaan ummat manusia
Ummat yang jauh, terutama ummat yang dekat
Supaya kita bisa
Supaya aku bisa
Ikut
Mengaminkannya.

1991, 1995, 1997 
___________________

Melawan dengan Gaya Orang Miskin Seadanya
Vietnam dihujani bom bertahun-tahun. Bermacam merek senjata berat
dicobakan di sana, sawah hijaunya berubah jadi kawah-
kawah hitam, berjuta penduduknya jadi orang paling malang
di dunia, mereka melawan dengan gaya orang miskin
seadanya, dan     bayangkan betapa derita perlawanan mereka,

Tapi saksikan Barat-Amerika jadi letih sendiri, lututnya patah,
ekonominya payah dan lantas mundur diam-diam,
benderanya terkulai kalah,

Afghanistan dihujani bom bertahun-tahun. Bermacam merek senjata
berat dicobakan di sana, ladang hijaunya dibakar rata jadi
jerami hitam, berjuta penduduknya jadi orang paling malang
di dunia, mereka melawan dengan gaya orang miskin
seadanya, dan     bayangkan betapa derita perlawanan mereka,

Tapi saksikan Timur-Uni Sovyet jadi letih sendiri, lututnya patah, negeri
pecah terbagi-    belah, lantas mundur diam-diam, benderanya
terkulai kalah,

Bosnia-Herzegovina dibantai berbulan-bulan. Desa dan kotanya yang
tenteram jadi puing     berantakan, berjuta penduduknya jadi
orang paling malang di dunia, mereka melawan dengan gaya
orang miskin seadanya, dan bayangkan betapa derita
perlawanan mereka,

Tapi kita bantu mereka dengan segala cara, lalu doakan Biadab-Serbia
jadi letih sendiri, penjahat-penjahat perangnya kena laknat
yang keji, lalu mundur dengan bendera terkulai kalah dan
terinjak-injak kaki sendiri.

1992 
___________________

Mikrofon
Aku lihat diriku berubah
di depan mikrofon.

Kukira aku bisa jadi merak
yang sanggup mengibarkan empat warna bulu
kiranya aku cuma tokek
dengan vokal yang bikin orang kesal.

Aku lihat diriku berubah
di depan mikrofon.

Sering kurasakan diriku
seperti seekor kadal yang ingin terkenal
tapi kadang-kadang mirip burung beo
dengan cara berdiri dan bicara
yang senantiasa salah tingkah.

Aku lihat diriku berubah
di depan mikrofon.

Di depan orang banyak aku jadi domba kampung
yang memperindah-indah bahasa
atau monyet genit yang lebar hidungnya
tapi yang paling sial adalah
ketika aku terjemahkan diriku
jadi babi yang lupa diri.

Di depan mikrofon
pada hari Senin aku jadi burung merak
Selasa tokek, Rabu bengkarung, Kemis beo,
Jum’at domba, Sabtu monyet dan Ahad babi.

Sepanjang minggu dalam diriku telah kuciptakan
sebuah kebun binatang.

Aku ingin bertanya pada angin
bagaimana cara dia
menghadapi mikrofon ini.

1992 
___________________

Surat Amplop Putih untuk PBB

kepada Sekjen

Boutrus-Boutrus Ghali



Dulu aku pada PBB percaya penuh sekali

Ketika Hadji Agoes Salim, Sjahrir, Soedjatmoko

Kesana pergi berdiplomasi

Memperjuangkan RI di zaman revolusi



Lalu tentang PBB datanglah ke diriku keragu-raguan

Ketika perang Vietnam berlarut berkepanjangan

Berikut selusin invasi lainnya lagi



Kini pada PBB aku tidak percaya lagi

Menilik caramu mendistribusi veto dan memilih negeri

Melihat caramu mengurus masalah Palestina, Afghanistan,

Perang Teluk, Kashmir, Myanmar dan Bosnia-Herzegovina ini



Karena serakah pada uang dan minyak bumi,

Berbondong-bondong dulu kalian mengirim pasukan dan senjata

Ke negeri sebesar telapak kaki tapi kaya-raya

Dan memperagakan otot kalian dengan congkak di media

Lalu menggaruk dolar bermilyar yang jadi upahnya



Karena tak terbayang uang dan tiada minyak bumi

Kalian kirim pasukan asal-asalan saja kini

Padahal inilah negeri yang kecil dan tak berdaya

Si alit yang lemah Bosnia-Herzegovina

Telah dibantai di sana berpuluh ribu manusia tanpa senjata

Beribu perempuan digilas kehormatan utamanya

Beratus kanak-kanak dipotongi tangan dan kakinya

Beribu orang jadi kerangka berkulit di kamp konsentrasi

Beratus ribu diusir, mengungsi, terancam dingin dan mati

Tak kudengar kalian dengan penuh semangat melindungi mereka



Bersama surat ini kukirimkan ludahku padamu

Di pinggir amplop berwarna putih bersih

Yang kutulis dengan hati yang sangat pedih.

1992
___________________

Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf
Sekarang bayangkanlah saya memegang terali kubur pertama
Tuan Yusuf,
dan memandang bekas tumpak bumi
yang pernah menating jenazahnya.
Kemudian lihat saya keluar bangunan itu,
pergi ke empat kuburan dengan empat nisan berjajar,
tiada bernama tapi berukir Asmaul Husna.
Di situ empat orang terbujur
mungkin ulama, mungkin komandan pasukan
Tuan Yusuf,
mungkin orang Makasar, Bugis atau Banten.

Kemudian bayangkan sebuah meriam bercat hitam
menunjuk cakrawala langit Afrika.
Ikutilah kini saya surut tiga abad mengingat-ingat
jalan pertempuran ketika Tuan Yusuf jadi komandan.

Dengar angin bertiup di Faure waktu itu
mungkin dari dua samudera yang bersalam-salaman
di tanjung paling ujung
mungkin juga suhu dingin dari Kutub Selatan.

Lihat dedaunan musim rontok pada dedahanan
mengitari teluk bermerahan
yang berbisik-bisik menyanyi ketika warna ganti berganti.

Dapatkah kita membayangkan
Tuan Yusuf
seorang sufi yang cendekia
zikir membalut tubuhnya karangan mengalir
melalui kalam terbuat dari sembilu bambu
dengan dawat berwarna merah dan hitam jadi buku
dalam tiga bahasa

Lantas fantasikan tulang-belulang seorang pemberani
tersusun dalam peti
berlayar lebih 10.000 kilometer lewat dua samudera
suara angin dari barat menampar-nampar tujuh layar
di pesisir Celebes buang jangkar
lalu orang-orang bertangisan menurunkan Tuan Yusuf penuh hormat
ke dalam bumi Lakiung dekat tempat
ibunya Aminah bertumpah darah melahirkannya.

Wahai sukarnya bagiku mereka-reka garis wajahmu
ya Syekh
karena rupa tuan tidak direkam dalam fotografi abad ini
tidak juga dibuatkan lukisan pesanan pemerintah
dalam potret cat akrilik lima warna
namun kubayangkan sajalah kira-kira
wajah seorang sangat jantan, 65, bermata tajam,
bernafas ikhlas berjanggut tipis bersuara dalam bertubuh langsing
berbahasa fasih Makasar Bugis Arab Belanda dan Melayu.

Orang-orang Tanah Rendah itu takut pada Tuan.
Dan sebenarnya di lubuk hati Gubernur
dan manajer-manajer maskapai dagang VOC
yang gemar menyalakan meriam dan mesiu itu
mereka kagum pada Tuan.
Tapi mereka mesti membuang Tuan ke Batavia, Ceylon,
lalu 10.000 kilometer ke benua ini  
karena mereka tak mau tergaduh dalam pengumpulan uang emas
disusun rapi dalam peti-peti terbuat dari kayu jati dengan bingkai besi
begitu kubaca catatan mereka.

Apa format dan fisiologi kecendekiaan dan kejantananmu ya Syekh?

Perhatikan kini kabut jadi gulung-gemulung mega,
lepas meluncur cepat dari Gunung Meja
yang memandang dua samudera.

Aku merasakan angin musim gugur bulan April berkata
kau merdeka hari ini karena tiga abad lalu
Syekh Yusuf  
telah membabat hutan rotan dan menyibakkan ilalang berduri untukmu.

Aku mendengar zikir mengalir
lewat sembilan burung camar
yang sayapnya seperti berombak menyanyi.

Cape Town, 26 April 1993. 
___________________

Resepsi Baca Buku di Kota Rotterdam
Siang panjang di bandar udara Schiphol, 23 tahun silam
Matahari musim panas setia mengirim cahaya
Ladang-ladang baru usai menyiarkan warna-warna tulipa
Ada gemeretak bunyi roda trem, ada aliran air di Heerengracht,
Ada sungai meninggi jalanan. Laut dibendung, negeri sepatu kayu
Bertabur rel kereta api, mendesiskan irama presisi
Kawanan sapi putih-hitam, kelepak sayap merpati di Dam
Pagar istana raja perempuan, gedung Konperensi Meja Bundar
Pelabuhan raksasa, deretan gudang dan cakar luka perang
Kini orang ramai di Balai Kota Rotterdam. Sebuah resepsi
Berbagai negeri mengirimkan arsitek dan insinyur puisi
Semua tertawa-tawa, semua senyum-senyum, memegang gelas kecil
Tiba-tiba sekali aku teringat pada datukku
Dari abad yang lalu. Lima-enam generasi lewat tahunnya
Sepulang dari Mekkah, bersama dua orang sahabatnya
Dan muridnya Peto Sjarif dari Bondjol, pemberani tak tertandingi
Mengerahkan penduduk bertempur melawan serdadu Belanda
Mereka mengenakan pakaian panjang putih, berserban putih bersih
Dia tertangkap dan wafat terbuai di tiang gantungan
Jenazahnya disembunyikan mereka, tak ada maklumat di mana makamnya
Wahai Hadji Miskin, kakek kami, di mana datuk berkubur
Di ngarai mana, di bukit mana, di laut mana
Jasadmu disembunyikan serdadu Belanda
Tiba-tiba aku terjaga di ruang resepsi Balai Kota Rotterdam
Seabad setengah kemudian
Orang tawa-tawa, senyum-senyum, orang minum-minum
Tangan siapa yang membuhul lalu mengalungkan tali gantungan
Ke leher Hadji Miskin
Dalam resepsi ini orang tawa-tawa, senyum-senyum, minum-minum
Tangan siapa, tangan siapa, tangan siapa
Barangkali, begitu fikirku, cucu-cucu serdadu itu ...
Barangkali, ada cucu serdadu itu di resepsi ini
Bagaimana kalau kini aku umumkan sebuah interupsi:
“Attentie, attentie,”
sambil mendentingkan sendok kecil ke gelasku
Kemudian orang-orang sangat sopan berpaling ke arahku
“Maaf, aaa, apakah ada datuk-datuk kalian
Pada abad yang lalu datang ke negeri saya
Dan ikut dalam Perang Paderi?”
Semua heran dan diam
“Maaf, aaa, kakek saya, ditangkap dan digantung
Dalam perang itu. Namanya Hadji Miskin
Jenazahnya tidak diserahkan pada keluarga
Adakah kakek-kakek kalian bercerita tentang, aaa,
Penggantungan seorang lelaki bergamis putih
Kampungnya Pandai Sikek di kaki Gunung Singgalang
Berserban putih, dan kuburnya dirahasiakan? Pernahkah?
Soalnya, tidak ada informasi ini dari
Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappe
Adakah? Saya hanya ingin tahu di mana kuburnya. Itu saja
Saya tidak membawa lipatan dendam dalam dompet saya. Sungguh.”
Ruang itu hening seperti kuburan
Terik bagai kemarau jam dua lewat tengah hari
Sungguh tidak sopan, seorang tamu Rotterdamse Kunstichting
Untuk mengajukan pertanyaan ini. Dia sudah terlambat
Satu setengah abad.

1993 
___________________

Sembilan Bait Nyanyian untuk Cheng Ho
Di tepi jalan raya Dongfeng Dongfu, aku bertanya pada sejuta sepeda
yang bergulir lalu, mereka sibuk mengukir nasib bersama
seraya mengepulkan anyaman debu,

Pada empat arah mata angin kubaca senarai 1000 juta manusia, tapi
telapak tanganku hanya mampu menyentuh permukaan
samudera 5000 tahun sejarahmu, lalu aku bertanya-jawab
dengan tembikar tua bertuliskan kaligrafi biru,

Di depan musium berderet bunga sembilan warna, cuaca menjelang
musim gugur tapi yang kau tawarkan senantiasa musim bunga,
dan kini kau putar balik arlojiku lima abad     jangkanya,

Di kampung kelahiranmu, Kun Yang, aku terkenang pada klenteng
Sam Po Kong di Semarang,     pada pelayaranmu ke Aceh
dan Palembang, lalu persinggahanmu di Malaka dan Singapura,

Angin bertiup mendaki bukitmu, merayap di antara dedaunan berangan
dan cemara berdaun     jarum biru, mengantarkan dingin pada
leher jaketku, ketika aku terpaku berdiri di depan makam Haji
Ma ayahmu, dan Al-Fatihah basah di lidahku,

Kami peziarah diingatkan tentang seorang pelaut perkasa melalui kubur
ini, kubur ayahnya, namun di mana makam ibunya tak ada yang
memberiku berita,

Di tangannya tujuh pelayaran, disinggahinya tiga puluh pelabuhan dunia,
dijinakkannya     badai samudera dengan awak kapalnya, dia lah
laksamana yang menjelajah tapi tidak menjajah, dan disulamnya
benang hijau di atas layar sejarah,

Di atas bis Hino 20366 yang meluncur laju, aku masuki gerbang abad 15 dan
16 di negeriku, sauhmu Hanafi tapi terjangkar di pasir pantaiku
Syafi’i, kelopak mataku bagai anak kucing yang lama buta lama
terbuka,

Cheng Ho.

Dulu cuma sebuah nama dengan dua suku kata Cina terngiang di telinga
semasa kanak-    kanakku di Semarang lama, dulu cuma gugusan
kaligrafi sebuah klenteng dengan    barongsai gduk-gduk-ceng duk-
ceng duk-ceng yang bising dengan paduan warna merah dan kuning,
tapi kini betapa dalam gaung makna penafsirannya,

Cheng Ho.

Kun Ming, Yunnan, 26 Agustus 1994. 
___________________

Kupu-Kupu di dalam Buku
Ketika duduk di setasiun bis, di gerbong kereta api, di ruang tunggu
praktek dokter anak, di balai desa, kulihat orang-orang di
sekitarku duduk membaca buku, dan aku bertanya di negeri
mana gerangan aku sekarang,

Ketika berjalan sepanjang gang antara rak-rak panjang, di perpustakaan
yang mengandung ratusan ribu buku dan cahaya lampunya
terang-benderang, kulihat anak-anak muda  dan anak-anak tua
sibuk membaca dan menuliskan catatan, dan aku bertanya di
negeri mana gerangan aku sekarang,

Ketika bertandang di sebuah toko, warna-warni produk yang dipajang
terbentang,  orang-orang memborong itu barang dan mereka
berdiri beraturan di depan tempat pembayaran, dan aku
bertanya  di toko buku negeri mana gerangan aku sekarang,  

Ketika singgah di sebuah rumah, kulihat ada anak kecil bertanya
tentang kupu-kupu pada mamanya, dan mamanya tak bisa
menjawab keingin-tahuan puterinya, kemudian  katanya,
“tunggu mama buka ensiklopedia dulu, yang tahu tentang
kupu-kupu”, dan aku bertanya di rumah negeri mana
gerangan aku sekarang,  

Agaknya inilah yang kita rindukan bersama, di setasiun bis dan ruang
tunggu kereta     api negeri ini buku dibaca, di perpustakaan
perguruan, kota dan desa buku dibaca, di tempat  penjualan
buku laris dibeli, dan ensiklopedia yang terpajang di ruang
tamu tidak berselimut debu karena memang dibaca.

1996 
___________________

Jose Rizal
acep, agus, saya dan abidah
ketika ke luneta berziarah

Pada suatu hari Revolusi Filipina
Mahkamah militer Spanyol di Manila
Menebas nyawa putera Calamba dari Laguna
Seorang revolusioner pada umur tiga puluh lima
Dibuang ke Dapitan, Mindanao empat tahun lamanya
Dia dokter cendekia yang sangat muda
Dua novel penting panas dari tangannya
Filipina tertelungkup, tanah pun basah air mata

99 tahun kemudian empat penyair Indonesia
Tegak di depanmu di Taman Luneta
Angin berhenti bertiup dari arah Teluk Manila
Matahari tergelincir ke dalam Laut Cina Selatan
Eksekusi 30 Desember 1896 serasa lagi berletusan
Di depan Intramuros dari sini agak ke selatan
Gema tembakan jauh menyeberangi lautan

Puisimu Mi Ultimo Adios sampai ke negeri kami
¡ Mi Patria idolatrada, dolor de mis dolores
Querida Filipinas, oye el postrer adiós!            
Tanah air pujaanku: dukacita perdana atas segala nestapa
Filipina tercinta, dengarkan salamku terakhir kali! ... *)
Bait-bait kepedihan bangsa bagian dari inspirasi
Puisi yang kau tulis beberapa saat sebelum ditembak mati
Soekarno, Rosihan Anwar dan Anwar Ibrahim hafal puisi ini
Tapi ada lagi satu hal luar biasa terjadi
Namamu sangat banyak dipakai di Sumatera Barat, sebuah propinsi
Bahkan sampai hari aku menulis puisi yang satu ini
Sementara Peto Syarif atau Imam Bonjol, nama pahlawan sendiri
Tidak jadi pilihan nama yang masuk ke dalam hati orang kami
Begitu kulihat di buku telepon Padang sampai Bukittinggi

Seorang revolusioner, dokter, sastrawan dan cendekia
Meninggalkan 7000 pulaunya dalam umur sangat muda.

1996
*) terjemahan Tjetje Jusuf. 
___________________

Fatahillah
Ketika masih berumur belasan tahun, pertama kali aku masuk kota
Jakarta adalah melalui pelayaran dengan kapal lautan, ketika
itu Indonesia baru enam tahun merdeka,

Citra Jakarta yang direkam oleh ingatanku hingga kini pertama-tama
adalah lautan, tiupan angin berbau garam, dan dermaga
pelabuhan yang dirapati oleh kapal-kapal mesin dengan
cerobong tinggi,

Aku rindu pada bunyi kleneng trem, bolak-balik dari Jatinegara ke Kota,
pada mobil Austin yang dirubah interiornya jadi angkutan
banyak penumpang dan pada armada becak yang karet-
anginnya mendengung sore dan malam hari,

Tapi aku lebih rindu pada adegan pelabuhan dan Pasar Ikan, di tempat
merapat perahu pinisi yang tiangnya bergoyang-goyang, serta
pasar yang beraroma lautan, tak habis sibuk dengan penjualan
ikan yang baru ditangkap nelayan,

Waktu itu aku mana paham bahwa di lautan dan di pantai ini, telah
beratus tahun berlangsung peristiwa penting, diisi ratusan
ribuan, bahkan ratusan ribu pelaku, dengan makna yang
dalam, semua itu sejarah, dinamakan,

Kini tabir panggung telah dibuka. Lihatlah seuntai rangkai gugusan,
17.000 pulaunya, 400 gunungnya, 300.000 sungainya, subur
setiap hasta buminya, orang menanam, orang memetik buah
beragam, menakik berbagai getah, mengumpul rempah-
rempah, menyuling ekstrak cairan, dengarkan musik daunan
bernyanyi gemerisik di atas flora tropika, sampai berita ke
mana-mana,

Kau dengar lagi kebar-kebar layar kapal yang berdatangan, suara derap
pasukan jalan kaki, gemuruh kuda kavaleri, dentuman meriam
di lautan serta azan yang dikumandangkan,

Kau lihat Demak, Cirebon, Pajajaran, Banten, Malaka, Pasai, semuanya
tersusun dalam adegan abad 16, empat ratus lebih tahun yang silam,

Kau lihat orang-orang datang berlayar dari Semenanjung Iberia, Portugal nama
negerinya, Portugis nama bangsanya, mereka tiba dengan kapal-kapal
layar besar, dengan senjata api berbagai ukuran,

Inilah orang-orang pewaris peradaban Gerika-Roma, yang dari Yunani
mewarisi penyembahan jasad dalam bentuk keindahan sensori, dari
Romawi penyembahan nafsu sensual inderawi, dan bergabung
sempurna jadi pembangun peradaban materi,

Di dalam buku-buku tarikh mereka disebut dengan istilah imperialis dan
kolonialis, padahal aku lebih suka menyebut mereka materialis yang
menyebarkan secara fanatik paham serba-benda,

Ciri mereka adalah memperagakan sifat serakah pada harta, berdagang dengan
cara curang, merampas dan menipu, membinasakan negeri yang
didatangi bila perlu, dan nyata membawa dendam lama yang
bersilang di dada mereka.

Para Wali di Pulau Jawa jadi sangat khawatir, mendengar pendatang Portugis
akan membuat benteng di Sunda Kelapa, dan membuat perjanjian
dengan Ratu Sang Hiyang raja Pajajaran, sehingga taktik ekspansi
mendapat kemudahan,

Kau lihat para Wali menyusun strategi, dan dipilihnya seorang pejuang sejati,
ternyata dia miliki kualifikasi panglima pertempuran, pengayom
dalam soal kemasyarakatan, guru dalam masalah keilmuan dan syaikh
dalam kaitan kerohanian,

Dia lah Fatahillah. Para wali tidak memilih seorang senopati guna operasi ini
karena tugasnya memimpin jihad fi sabil-il-Lah, jihad di jalan Tuhan,
yang perhitungannya bukan semata kemiliteran pertempuran,

Rakyat memerlukan pimpinan dengan sikap taqarrub yang mendalam, karena
situasi di lapangan bagaikan Perang Badar ketika pasukan kecil
berhadapan pasukan besar.

Dia lah Fatahillah. Berhadapan dengan berbagai kesukaran dan
ancaman, dari luar dan juga dari dalam, di abad 16 itu dia
meninggalkan jejak mengesan dengan memahatkan iman,
kecerdasan dan keteguhan hati sebagai teladan, yang
mengantarkan kepada kemenangan,

Nama Sunda Kelapa telah digantikan nama Jakarta, bermakna ‘telah
membuat kemenangan’, yang kelak lekat menjadi nama
ibukota,

Kemenangan, yang diilhami kemenangan Rasul Muhammad merebut
Mekkah dari kaum Quraisy, tercantum dalam ayat awal surat
Al Fath, Inna fatahna laka fathan mubina, sesungguhnya
Kami telah memberi kemenangan padamu kemenangan yang
nyata,  

Dia lah Fatahillah. Dalam perjuangan gigihnya, niat awal, landasan dan
tujuannya bukan persoalan kawasan tanah, perdagangan rempah-
rempah, suku, ras, bangsa, apalagi dendam,

Dia mengangkat perjuangan ke dataran lebih tinggi dan semesta dari semua,
yaitu tegaknya penghambaan manusia hanya kepada Allah sahaja,
dan terbebasnya manusia dari penghambaan sesama
manusia,

Dia lah Fatahillah.

1997 
___________________

Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang
“Murid-murid, pada hari Senin ini
Marilah kita belajar tatabahasa
Dan juga sekaligus berlatih mengarang
Bukalah buku pelajaran kalian
Halaman enam puluh sembilan

“Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi
‘Mengeritik itu boleh, asal membangun’
Nah anak-anak, renungkanlah makna ungkapan itu
Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu sendiri.”

Demikianlah kelas itu sepuluh menit dimasuki sunyi
Murid-murid itu termenung sendiri-sendiri
Ada yang memutar-mutar pensil dan bolpoin
Ada yang meletakkan ibu jari di dahi
Ada yang salah tingkah, duduk gelisah
Memikirkan sejumlah kata yang bisa serasi
Menjawab pertanyaan Pak Guru ini

“Ayo siapa yang sudah siap?”
Maka tak ada seorang mengacungkan tangan
Kalau tidak menunduk sembunyi dari incaran guru
Murid-murid itu saling berpandangan saja

Akhirnya ada seorang disuruh maju ke depan
Dan dia pun memberi jawaban

“Mengeritik itu boleh, asal membangun
Membangun itu boleh, asal mengeritik
Mengeritik itu tidak boleh, asal tidak membangun
Membangun itu tidak asal, mengeritik itu boleh tidak
Membangun mengeritik itu boleh asal
Mengeritik membangun itu asal boleh
Mengeritik itu membangun
Membangun itu mengeritik
Asal boleh mengeritik, boleh itu asal
Asal boleh membangun, asal itu boleh
Asal boleh itu mengeritik boleh asal
Itu boleh asal membangun asal boleh
Boleh itu asal
Asal itu boleh
Boleh boleh
Asal asal
Itu itu
Itu.”

“Nah anak-anak, itulah karya temanmu
Sudah kalian dengarkan ‘kan
Apa komentar kamu tentang karyanya tadi?”

Kelas itu tiga menit dimasuki sunyi
Tak seorang mengangkat tangan
Kalau tidak menunduk di muka guru
Murid-murid itu cuma berpandang-pandangan
Tapi tiba-tiba mereka bersama menyanyi:

“Mengeritik itu membangun boleh asal
Membangun itu mengeritik asal boleh
Bangun bangun membangun kritik mengeritik
Mengeritik membangun asal mengeritik

“Dang ding dung ding dang ding dung
Ding dang ding dung
Dang ding dung ding dang ding dang
Ding dang ding dung.”

“Anak-anak, bapak bilang tadi
Mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri
Tapi tadi tidak ada kosa kata lain sama sekali
Kalian cuma mengulang bolak-balik yang itu-itu juga
Itu kelemahan kalian yang pertama
Dan kelemahan kalian yang kedua
Kalian anemi referensi dan melarat bahan perbandingan
Itu karena malas baca buku apalagi karya sastra.”


“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata
Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi.”

1997 
___________________

Sumber: http://taufiqismail.com/