Sunday, April 01, 2012

Sajak Ladang Jagung (Buku Pertama) ~ Taufik Ismail


Januari, 1949

Butiran logam membunuh saudaraku Dirabanya pinggangnya Ketika dia rubuh

Sejemput dendam meluluh hatiku Di mana kuburnya Semakin jauh

Luka-lukamu Luka bumi kita Luka langit yang rapuh

Rumpun-rumpun bambu Dan lereng akasia Tempatmu berteduh

Matanya trembesi Ngembara di padang lalang Direnggutkan ke bumi Dengan tujuh letusan.

1956 
_____________

Turun Malam

Sebuah lembah di depan, sungai menggeliat di perutnya Di tepi hutan pinus sejenak kita istirah Ialah biru yang sepotong, awan menggumpal berkejaran Gunung benteng terakhir mendukung senja


Matahari terbakar dalam api yang sepi Garis-garis angin mengucapkan selamat malam Ke tengah kami tiga regu infanteri Dalam derap hening akan memasuki lembah

Ada bintang mulai kemerlap membisik cahaya Sebuah kota di bawah deru kabut yang jauh Gunung-gunung bergetar panji malam semakin jelaga Mengibarkan tangan angin pada dahanan meluruh

Seseorang pelahan menyanyikan lagu republik Bersandar di cemara, laras senjata menunjuk langit Memicingkan mata serta bahu memar ngembara Rimba akasia di pucuk paling biru

Kutepuk kini pundakmu, bukit benteng setia Sehabis di punggungmu kami sembahyang dalam doa Ialah langkah merayap malam penyergapan Ketika sebutir bintang gemerlap membisik cahaya.

1963 
_____________

Stasiun Tugu
Tahun empatpuluh tujuh, suatu malam di bulan Mei Ketika kota menderai dalam gerimis yang renyai Di tiang barat lentera merah mengerjap dalam basah Menunggu perlahan naiknya tanda penghabisan

Kleneng andong terputus di jalan berlinangan Suram ruang setasiun, beranda dan tempat menunggu Truk menderu dan laskar berlagu lagu perjuangan Di Tugu seorang ibu menunggu, dua anak dipangku

Berhentilah wkatu di stasiun Tugu, malam ini Di suatu malam yang renyai, tahun empatpuluh tujuh Para penjemput kereta Jakarta yang penghabisan Hujan pun aneh di bulan Mei, tak kunjung teduh

Di tiang barat lentera mengerjap dalam basah Anak perempuan itu dua tahun, melekap dalam pangkuan Malam makin lembab, kuning gemetar lampu stasiun Kakaknya masih menyanyi ‘Satu Tujuh Delapan Tahun’

Udara telah larut tanda naik pelan-pelan Seluruh penjemput sama tegak, memandang ke arah barat Ibu muda menjagakan anaknya yang kantuk dalam lena Berkata: lambaikan tanganmu dan panggillah bapa

Wahai ibu muda, seharian atap-atap kota untukmu berbasah! Karena kezaliman militer pagi tadi terjadi di Klender Seluruh republik menundukkan kepala, nestapa dan resah Uap ungu berdesir menyeret gerbong jenazah terakhir.

1963 
_____________

Penghianatan

Siapa lagi sekarang akan ditangkap. Menanti Mungkin sebentar lagi mereka akan datang mengetuk pintu Mendorong masuk dan menjerembabkan nasib Di ambang waktu. Dengan berbagai tuduhan Barangkali agen mereka ada di antara kita Dengan pestol Browning di pinggang dalam Kita tak pernah pasti tahu Mengapa engkau pucat sekali? Intip cermin di atas lemari Di luar angin pepohonan damar masih berseru Atau jip-kah itu yang menderu? Cek sekali lagi: sudahkah semua dokumen dibakar Bersihkan sisa abu di lubang kloset Granat dan sten di dinding-papan Hapalkan nama-nama palsu kalian Sudjono! Hentikan goyangan kakimu Merokoklah. Merokok di kolong kalau tak tahan Udara terlalu pekap di sini, dalam temaram Kita makin berpeluh tapi jari kenapa menggigil Udara panas bergetah dengan bau ikan sardin Seorang bangkit pelan, mengintip di balik gorden
Tiba-tiba berteriak, melolong-lolong Tjok dan Momo menerkamku tak berbunyi Dan menyumbat mulutku Aku berontak, lepas dalam geliat liar Tapi badan mereka bagai sapi Bali Lenganku dikunci mereka ke punggung. Badanku Dibengkok-busurkan Keluh serak dari mulutku
‘Lepaskan dia. Dan kau diam’
Kata Budi
‘Kau terlalu tegang’
Diapun menuding ke sudut kamar
Aku terhuyung ke sana, dua langkah
Dan tiga langkah surut kembali
Dalam gerakan terpincang, kataku serak:
‘Budi, aku telah berkhianat’

Seluruh kamar tegang dan pekat
Halilintar meledak dalam ruangan
Mata mereka nanap, duka perjuangan semakin berat
Angin pepohonan damar menebas tajam bagai kelewang

‘Budi, aku sudah berkhianat’Aku melihat berkeliling. Mereka diam anehLenganku mula mengulur, lalu bergantunganDengan gelisah aku berputar melihat kawan-kawanMataku merah dan liar serigalaMeneriakkan ‘Aku pengkhianat!’Dan aku tersedu, tertengkurap di tengah kamar
Mereka semua diam. Sudjono mematikan rokoknyaAku menangis seperti anak lima tahunYang kehilangan baling-baling kertasnya‘Tembaklah aku. Mereka sudah tahu semuanyaAku tak tahan Budi, tembaklah aku di sini’
Budi memberi tanda. Senjata-senjata dibongkar dari dinding
Dengan perkasa mereka siap berangkat dalam formasi rahasia
Mereka akan menyelinap lewat gang belakang
Sepanjang urat-urat kota memperjuangkan kemerdekaan
Di sela rapatnya rumah-rumah, meneruskan gerakan di bawah tanah

Budi melucuti belatiku dan Momo memberi perintah Menggamit Tjok dan Maliki dengan tangan perunggu Perlahan yang lain berangkat satu-satu Setiap orang memerlukan menoleh padaku sebentar Di lantai, aku menekuri jubin sebelah meja Dan Momo yang akan menjalankan perintah komandan Berdiri dengan belatiku telanjang di tangan.

1963 
_____________

Buku Tamu Musium Perjuangan

Pada tahun keenam Setelah di kota kami didirikan Sebuah musium perjuangan Datanglah seorang lelaki setengah baya Berkunjung dari luar kota Pada sore bulan Nopember berhujan Dan menulis kesannya di buku tamu Buku tahun keenam, halaman seratus delapan

‘Bertahun-tahun aku rindu Untuk berkunjung ke mari Dari tempatku jauh sekali Bukan sekedar mengenang kembali Hari tembak-menembak dan malam penyergapan Di daerah ini Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan Dan potret para pahlawan Mengusap-usap karaben tua Baby mortir buatan sendiri Atau menghitung-hitung satyalencana Dan selalu mempercakapkannya

Alangkah sukarnya bagiku Dari tempatku kini, yang begitu jauh Untuk datang seperti saat ini Dengan jasad berbasah-basah Dalam gerimis bulan Nopember

Datang sore ini, menghayati musium yang lengang Sendiri Menghidupkan diriku kembali Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya Di waktu kebebasan adalah impian keabadian Dan belum terpikir oleh kita masalah kebendaan Penggelapan dan salahguna pengatas-namaan Begitulah aku berjalan pelan-pelan Dalam musium ini yang lengang Dari lemari kaca tempat naskah-naskah berharga Ke sangkutan ikat kepala, sangkur-sangkur berbendera Maket pertempuran dan penyergapan di jalan Kuraba mitraliur Jepang dari baja hitam Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol Colt PENGOEMOEMAN REPUBLIK yang mulai berdebu Gambar laskar yang kurus-kurus Dan kuberi tabik khidmat dan diam Pada gambar Pak Dirman

Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali Ke ruangan yang sepi dan dalam Jendela musium dipukul angin dan hujan Kain pintu dan tingkap bergetaran Di pucuk-pucuk cemara halaman Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan

Di depan tugu dalam musium ini Menjelang pintu keluar di tingkat bawah Aku berdiri dan menatap nama-nama Dipahat di sana dalam keping-keping aluminia Mereka yang telah tewas Dalam perang kemerdekaan Dan setinggi pundak jendela Kubaca namaku di sana… 

Gugur Dalam Pencegatan Tahun Empat Puluh Delapan
Demikianlah cerita kakek penjaga Tentang pengunjung lelaki setengah baya Berkemeja dril lusuh, dari luar kota Matanya memandang jauh, tubuh amat kurusnya Datang ke musim perjuangan Pada suatu sore yang sepi Ketika hujan rinai tetes-tetes di jendela Dan angin mengibarkan tirai serta pucuk-pucuk cemara Lelaki itu menulis kesannya di buku tamu Buku tahun keenam, halaman seratus delapan Dan sebelum dia pergi Menyalami dulu kakek Aki Dengan tangannya yang dingin aneh Setelah ke tugu nama-nama dia menoleh Lalu keluarlah dia, agak terseret berjalan Ke tengah gerimis di pekarangan Tetapi sebelum pagar halaman Lelaki itu tiba-tiba menghilang.

1964 
_____________

Tentang Sersan Nurcholis

Seorang sersan Kakinya hilang Sepuluh tahun yang lalu

Setiap siang Terdengar siulnya Di bengkel arloji

Sekali datang Teman-temannya Sudah orang resmi

Dengan senyum ditolaknya Kartu-anggota Bekas pejuang

Sersan Nurcholis Kakinya hilang Di zaman revolusi

Setiap siang Terdengar siulnya Di bengkel arloji

1958 
_____________

1946: Larut Malam Suara Sebuah Truk
Sebuah truk laskar menderu
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
‘Sudah Bebas Negeri Kita’

Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun, terjaga:
‘Ibu, akan pulangkah bapa,
Dan membawakan pestol buat saya?’

1963 
_____________

Sumber: http://taufiqismail.com/