Sunday, April 01, 2012

Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia ~ Taufik Ismail


Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga Ke Wisconsin aku dapat beasiswa Sembilan belas lima enam itulah tahunnya Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya, Whitefish Bay kampung asalnya Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy Dan mendapat Ph.D. dari Rice University Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army Dulu dadaku tegap bila aku berdiri Mengapa sering benar aku merunduk kini

II
Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak Hukum tak tegak, doyong berderak-derak Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak, Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata Dan kubenamkan topi baret di kepala Malu aku jadi orang Indonesia.

III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal, anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden, menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat¬sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar¬besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak putus dilarang-larang
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah, ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja, fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor pertandingan yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula pembantahan tarang-terangan yang merupakan dusta terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan, dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak Hukum tak tegak, doyong berderak-derak Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak, Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata Dan kubenamkan topi baret di kepala Malu aku jadi orang Indonesia.
1998 
________________

Bersyukurlah San, Bersyukurlah
Bersyukurlah San, kau tak ikut-ikutan Mempersembahkan gelar Pemimpin Besar Revolusi Bersyukurlah
Bersyukurlah San, kau tak turut-turutan Menjunjungkan gelar Bapak Pembangunan Bersyukurlah
Bersyukurlah San, kau tak terpikat kedudukan Jadi anggota MPR mewakili seniman Bersyukurlah
Bersyukurlah San, kau menolak buku larangan
dan cekal pementasan Pegal lehermu melobi terus-terusan Bersyukurlah
Sehingga bila keturunanmu kelak bertanya Waktu lama dulu kakek tegak di mana Engkau agak lega bisa bercerita.
1998 
________________

Tiga Tangga Sama, Kau Daki Berulang Kali
I
Di tahun empat lima ketika situasi berbalik kilat Setelah berpuluh tahun orang menunggu Ketika akhirnya jadi proklamasi dibacakan Perubahan secepat telapak tangan dibalikkan Tiba-tiba banyak saja orasi berapi-api Pidato patriotik berhamburan kosong Cuma sedikit dalam catatan yang berisi Pasukan Jepang ditelikung, senjata dilucuti Inggeris dan Belanda dilawan dengan revolusi
Di kawasan kumuh dan pedesaan, rakyat susah makan Begitu sabarnya, tanpa suara, mereka menantikan Dan akan terus kalian atas namakan
II
Di tahun enam enam ketika situasi berbalik berkelebat Setelah bertahun-tahun orang menunggu Pembunuhan kiri-kanan berlangsung mengerikan Perubahan secepat telapak tangan dibalikkan Tiba-tiba banyak saja orasi berapi-api Menyalahkan sana, membenarkan sini Pidato-pidato patriotik kosong berhamburan Cuma sedikit yang berisi, yang pantas didengarkan Orang-orang berebutan dan membagi-bagi kekauasaan
Di kawan kumuh dan pedesaan, rakyat makin susah makan Begitu sabarnya, tak bersuara, mereka selalu menantikan Dan bukankah mereka akan terus kalian atas namakan

III
Di tahun sembilan delapan, seperti geledek bersambaran Ketika situasi tiba-tiba berjalan balik-kanan Setelah empat windu orang pegal menunggu Beberapa detik perubahan mirip telapak tangan dibalikkan Tiba-tiba banyak betul orang entah dari mana orasi berapi-api Menuduh menyalahkan sana, menyombong membenarkan sini Merasa hebat, pintar dan benar sendiri Pidato-pidato patriotik begitu bising, hampa dan berserakan Cuma sedikit dapat dicatat yang agak berisi Saksikan adegan penculikan dan penembakan Luar biasa terjadi penjarahan dan pembakaran 100 juta orang jatuh miskin dan dihimpit pengangguran
Di kawan kumuh dan pedesaan, rakyat makin susah makan Begitu sabarnya, tak bersuara, mereka selalu menantikan Dan bukankah mereka akan terus kalian atas namakan.
1998 
________________

Ketel Lokomotip
I
Dalam ketel lokomotip Dua ratus juta molekul air dikumpulkan Tenaga uapnya menggerakkan Tuas dan roda besi sangat beraturan Berpuluh gerbong barang dan deresi penumpang Leher panjang cerobong asap hitam berkepulan Dinding deresi kayu jati, terbagi rapi jadi bilah papan Menjalar sepanjang dataran mendaki perbukitan Bunyi peluitnya indah benar melengking dalam ingatan Nampak kecil dari Bangkirai di lereng Singgalang Di atas desaku Pandai Sikek penenun songket dan ukiran Sesudah hamparan berjuta batang tebu di perladangan Kilang saka dengan harum aroma gula merah tua Ladang lobak dan kentang sepanjang mata memandang Danau kecil bertepi rumput mensiang hijau terbentang Di Padang Giring-giring kawanan itik beriring-iring Di setasiun Kotobaru perempuan-perempuan berjaja bika “Bika eei bika, bika eei bika,” bernyanyi mereka Demikianlah di masa kecil aku sering keasyikan Melihat kereta api banyak deresi menuruni pegunungan Dalam kenangan kami sama berkejaran Membalap deresi paling belakang Suara rel dan roda berirama berdentang-dentang Sepanjang sawah nenekku di Jambu Aie, Banuhampu Selalu di paru-paruku harum gugus daunan ruku-ruku Lewat pematang, di bawahnya lukah ikan terpasang Sesak napas berlari aku pun melambaikan tangan Pada penumpang yang nampak ternyata kenalan Dan para penggalas yang membawa barang dagangan II
Suatu hari ketel lokomotip meledak berserakan Gemuruh letusannya bagai bom kedengaran Berpuluh gerbong barang dan deresi penumpang Sepanjang rel bergulingan dan serpih logam berserakan Suasana lebih dari gempa tahun dua puluh enaman Menggoncang Padang Panjang kota kecil pegunungan Rupanya isi ketel terus-terusan Ditekan, ditekan dan ditekan Bunyi peluitnya sudah lain kedengaran Uap yang terpancar kemerah-merahan Batu baranya api garang luar biasa Seorang anak SMP kelas satu Berkerumun bersama ratusan orang kampung situ
Berkata anak tiga belas tahun itu,
“Masinis tak paham ilmu alam catur wulan satu tekanan uap air batasnya tertentu berapa atmosfir per senti persegi dia mesti tahu untuk ketel seukuran itu.”
1998 
________________

Syair Empat Kartu di Tangan
Ini bicara blak-blakan saja, bang Buka kartu tampak tampang Sehingga semua jelas membayang
Monoloyalitas kami sebenarnya pada uang
Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara Koyak tampak terkubak semua Sehingga buat apa basi dan basa
Sila kami Keuangan Yang Maha Esa
Jangan sungkan buat apa yah-payah Analisa psikis toh cuma quasi ilmiah Tak usahlah sah-susah
Ideologiku begitu jelas ideologi rupiah
Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan Setiap jeroan berjajar kelihatan Sehingga jelas sebagai keseluruhan
Asas tunggalku memang keserakahan.
1998 
________________

Gurindam Satu
Secoret parafku memancarkan komisi seratus juta Bertahun-tahun begitu sampai mataku buta. 
________________

Gurindam Satu Setengah
Harimau mati meninggalkan belang Pedagang mati meninggalkan hutang
Rakyat mati tinggal belulang. 
________________

Gurindam Dua (Kesatu)
Ada 100 orang teramat kaya betapa boros di negeri ini Najisnya berlian berlumuran mengalir tiap pagi
Ada 100 juta orang miskin luarbiasa di negeri saya Minum mimpi, makan angan-angan, sudah sangat lama. 
________________

Gurindam Dua (Kedua)
Mei dan Juni ini bukan main 100.000 orasi Agaknya cuma 100 pantas didengar dan berisi
Tertekan lama, sangat menggebu-gebu bicara Lihatlah ludah berlentingan dari mulut mereka.
1998 
________________

Gurindam Tiga
Kalau adalah ikhtiar terasa sangat berat Adalah mengelak ditekan ikut P-4
Cukuplah indoktrinasi Manipol-Usdek saja sekali Mengapa harus mengulang trauma lagi
Berkali-kali sepanjang 25 tahun yang sulit Lumayan ajaib, aku masih saja bisa berkelit. 
________________

Gurindam Empat
Ayahmu kaya raya berbagai rupa caranya Mengapa engkau bangga cuma menumpang nama
Pamanmu generasi komisi angkatan pertama Engkau dan ponakanmu generasi komisi, II dan III
Silsilah dan wajah jelas bukan preman pasar Tapi praktek bisnismu sunyi akhlak begitu kasar
Jembatan ditelan, kapal diuntal, proyek habis dikunyah 100 keluarga kenyangnya terengah-engah, lihatlah.
1988 
________________

Gurindam Lima
Dalam arisan RT / RW aku disindir dengan lima kata
Agar menjadi manusia seutuhnya

Ketika pengarahan di kantor aku ditetapkan pula
Menjadi manusia seutuhnya

Di radio swasta aku dipertanyakan pembawa acara
Apakah aku manusia seutuhnya

Lewat layar televisi yang mendorong tak lupa-lupa
Cepatlah aku jadi manusia seutuhnya

Bagaimana ini, bagiku susah amat
Dulu waktu kecil saja aku ‘kan sudah disunat.

1991 
________________

Gurindam Enam
Ketika serakah mencapai daun batang tomat
Datang banjir ke kawasan kuasa camat

Ketika serakah menggapai daun kelapa
Datang gempa mengguncang kabupaten kita

Ketika serakah melangkah ke bukit sana
Meletus gunung api asap ke mana-mana

Ketika serakah tiba di puncak pegunungan
Berjuta hektar hutan terbakar berbulan-bulan

Ketika serakah bergelayut di tepi awan
100 juta miskin sengsara, dihimpit pengangguran

Ketika serakah menjangkau matahari
Mana kepalamu, kutembak kau dengan gurindam ini.

1998 
________________

Untuk Hadiah Potret Dinding, Terima kasih, Man
Sebuah potret berwarna, begitu indah komposisinya Tajam fokusnya dan total presentasinya Panorama formatnya, 140 derajat sudutnya Dengan bingkai yang serasi dan posmo gayanya Di dinding ruang tamuku telah kau pasangkan, Man Inilah pemandangan profil kota dan desa di kakilangitnya Dengan arsitektur mutakhir semua struktur bangunannya Termasuk pantai, sungai, bukit dan gunungnya Jaringan transportasi, telekomunikasi dan segala peragatnya Kontener dikerek turun berlayangan di dermaga Anyaman distribusi dari titik paling hulu bahan baku Hingga sudut etalase, melompat ke tas belanja tiba di meja Diturunkan rapi sepanjang lajur laporan keuangan dunia Kulihat pula wajah meliputi semua umur, suku dan etniknya Yang mencuri adegan tentulah anak-anak yang tembem pipinya Dan senyum itu meluas serta melebar ke mana-mana Di wajah orang, wajah hutan, sawah, ladang dan huma Hijau klorofilnya, dengan teori klimatologi seperti serasi Anjungan minyak dan rimba antena, tersaji setasiun transmisi Juga kerajinan tangan gemerisik serta deru beratus pabrik Lensa kamera panorama ini memang luar biasa Kini kuberi tahu kau, Man, tersembunyi istimewanya Gambar langit di atas adegan foto seluruh negeri ini Retak-retak nampak, akan tertelungkup berserak-serak Menyelimuti raib seluruh pemandangan di bagian bumi ini Sehingga warnanya cuma jingga, abu-abu dan hitam bervariasi Memang luar bisa lensa kamera panorama ini.
1998 
________________

Alangkah Betapa
Memisahkan benci pada orang Memisahkan benci pada sistem Alangkah susah
Apakah orang telah jadi sistem Apakah sistem telah jadi orang Membedakannya payah
Aku tak bisa benci pada orang Tapi sistem mesti dibongkar ulang Betapa lelah.
1998 
________________

Sebesar-besar, Setinggi-tinggi
“Kami mengucapkan terima kasih Sebesar-besarnya, dan Setinggi-tingginya Kepada Bapak Bupati Yang telah berkenan Membantu desa kami.”
Di luar, di bawah jendela aula Seorang murid SD kelas enam berkata “Terima kasihnya Untuk Tuhan tidak tersisa.”
1998 
________________

Saya Mendengar Orang-orang Bernyanyi
Saya mendengar orang-orang bernyanyi Bercelana pendek, cuek, Harry Rusli namanya Kakeknya dulu membedah hewan dengan pisau operasi Cucu menjahit sakit politik dengan senar gitarnya
Saya mendengar orang-orang bernyanyi Iwan Fals tanpa kejemuan mengabarkan kenyataan Dia lantang bernyanyi menjadi saksi
Gitar dipetik Ully, Chrisye, Leo dan Franky Tercium aroma hutan rimba, air terjun pegunungan Terdengar salawat putih yang ikhlas bersahaja Berkibar bendera kita langit biru di belakangnya Dan perahu retak bagaimana cara mengayuhnya
Saya mendengar orang-orang bernyanyi Sam Bimbo bersaudara seperti tak bosan-bosan Mengukur jarak jauh dan dekat dengan Tuhan Diiringi senandung Iin merdu sekali
Saya mendengar orang-orang bernyanyi Ebiet penyair biduan di Yogya dulu sekolahnya Dia mengajar kita bahasa tumbuh-tumbuhan Saya pun bicara dengan rumput yang bergoyang.
1998 
________________

Padamu Negeri
Al-Fatihah untuk Amir BikiDan semua yang masuk bumiDi ladang-ladang pembantaianBerserakan di negeri iniAceh, Priok, Lampung, Nipah, Haur Koneng,Santa Cruz, Irian Jaya, Banyuwangi dan mana lagi
Kami dianiaya bertahun-tahun berkali-kali Ramai-ramai dibunuh dan dihabisi Usai kami dibantai janda-janda kami disakiti Tak bisa melawan desa kami dibakari Panah mustahil tandingan senjata api Seperti rabies anjing dalam epidemi Sebutlah berapa nama kota lokasi propinsi Kubur di mana maklumat tak diberi Hidup kami berganti nyeri dan ngeri Mengenang satu malam ratusan ditembaki Mengingat bertahun ribuan dihabisi Jadi setiap menyanyikan lagu Padamu Negeri Tiba pada dua baris terakhir sekali Jiwa raga cuma pada Tuhan kami beri Bukan kepada negeri Jiwa raga kepada Pemberi Awal, dia kembali Bukan kepada negeri Sesudah itu terserah Dia sendiri Apa akan dibagikanNya juga pada negeri.
1998 
________________

Fiktif
Kata fiktif masuk ke dalam kertas cetak biru lalu menyelami kerangka besi beton stadion olahraga kotamadya yang sedang dilas sore hari, bunga apinya bepercikan ke segala arah seperti kunang-kunang merah tapi padam sebelum mencapai tanah,
Dua belas bulan kemudian stadion itu ambruk berselengkang patah-patah pada acara musik keras yang dua belas ribu penontonnya sangat marah dan semua menyumpah-nyumpah, kaca mobil parkir dipecah dan polisi menyerah kalah,
Fiktif menjadi kata kerja, masuk ke simpul ganglia, pembuluh arteri dan vena, memicu semua glandula dan secara ajaib membuat jaringan birokrasi lapis atas bergairah kerja, berpuluh tahun menuangkan dinamika tak bertara, mencambuk pembangunan berpacu melawan waktu,
Menjelang tutup abad arsitektur pemerintahan sudah bopeng penuh karat,  tiang dan kasaunya dimakan rayap, lantainya kumuh dan dindingnya berpeluh, di sana-sini pagu ditopang bambu karena rusak seluruh, atap-atap bocor gawat dan kaki administrasi terseok-seok darurat,
Fiktif jadi kata benda dan bersenyawa secara fisik dengan permukiman keluarga mirip istana dengan tampak muka gaya gotik Eropa dan garis kontur Mediterania, berlantai marmar Italia, sekolah anak-anak di mancanegara, liburan di lima benua, koleksi keramik dinasti Chi dan mobil balap Lamborghini, pembibitan harta di lima ratus bentuk bisnis utama, bukit, gunung, rimba dan pulau khatulistiwa, disertakan juga sepuluh negara sub-tropika,
Memasuki abad baru selapis tipis birokrat betapa dahsyat kaya raya, bahkan dalam ukuran bundaran dunia. Ajukan semua kriteria, mereka penuhi itu semua. Lihatlah alat nafas mereka yang siap dengan seperangkat nasihat dikutip dari penataran setiap saat, perhatikan lipatan kulit perut terbuai melompati gesper ikat pinggang dan lemak kembung meliputi pipi kanan dan kiri, ciri sebuah generasi lima lapis 30-an, 40-an, 50-an, 60-an dan 70-an yang tumbuh, kukuh dan tak kunjung runtuh, diisi tangki penuh enersi komisi dan angka yang fiksi,
Kata sifat bertransisi ke kata kerja, kata kerja beringsut diseret kata hubung dan berhenti penuh pada kata benda,
Di lapangan parkir mahasiswa terbenam kesibukan membawa kain rentang panjang penuh alfabet kapital dan tanda seru ancaman, besok malam dimaksudkan sekaligus jadi kain kafan, berdesak-desak riuh rendah menggergaji batang leher fiktif, kenyal luar biasa,
Mana bisa.
1998 
________________

Komisi
I
“Komisi itu, ada di dalam UUD ’45,”Kata sobatku seorang pengacara terkemukaRagu-ragu aku membantahnya“Ah, apa iya.”
“Kata komisi, ada di dalam UUD ’45,” tegasnya
“Kau ini mengejek atau bagaimana?”

Karena tak mau taklid langsung begitu saja
Saya pergi mencari pendapat mazhab kedua dan ketiga

Pendapat kedua mengatakan tidak adaTapi mungkin juga akan adaBila kemudian terbukti ada
Pendapat ketiga mengatakan bila memang adaItu adalah kebalikan dari kemungkinan tak adaKarena ketika dia tak ada, keadaan adanya ituMerupakan situasi diametral adaMaknanya karena kata a-d-aKalau dibolak-balik tetap a-d-aDan adanya itu akan kemudian ternyataTak tergantung pada eksistensinya awal lahirnyaAda yang mengada
Tunggu dulu, tunggu
Apa betul kata Ada sudah ada
Sebelum semua yang ada ini
Ada?

Ke mulut pengacara sahabatku itu Saya hampir saja memasukkan petasan Dia untung diselamatkan korek api yang tak ada Karena saya memang tak merokok sudah lama.
II
Pada suatu cuaca terik tengah hariDengan kepala dan lambung penuh berisiDua liter filsafat dan setengah kilo tata-negaraMemang sangat berat beban terasaDi w.c. TIM yang sanitasinya tak begitu terjagaKukeluarkan beban itu semuaSehingga jasmani dan rohani terasa sangat lega
Ee, di ujung Cikini kulihat UUD ’45 berjalan gontai
Diam-diam dari belakang kuikuti dengan santai
Ketika dia baru masuk ke Jalan Proklamasi yang ramai

Kuculik dia, kubebat matanya, kupaksa naik bajajSetelah lewat 4 perempatan dan menyusuri sungai3 jembatan, 2 pasar dan 1 penyeberangan keretaKumasukkan dia ke sebuah rumah dan kubuka bebat matanya
“Ee, kamu,” kata U-uk yang terkejut melihatku
“Aku ini diculik atau bagaimana?”

(Oleh kawan-kawan karibnya
Sehari-hari UUD ’45 ini memang dipanggil U-uk)

“Kau jangan banyak tingkah, Uk,” kata saya,
“Kamu kan lebih muda dari saya. Sopanlah sedikit.
Panggil aku mas, atau uda,” kataku

“Baik bang,” jawab U-uk padakuKemudian aku memberi perintah“Nah, berbaring di atas meja tenang-tenangJangan pergi ke mana-mana, kamu akan kuperiksa ulang.”
III
Aku telah siap dengan seperangkat paradigma Memeriksa U-uk yang terlentang di atas meja Lensa cekung dan lensa cembung berbagai kombinasi Ada mikroskop klasik, juga mikroskop elektronik Ada loupe, macam-macam kaca mata dan suryakanta Maka halaman demi halaman kubalik-balik dia Alinea demi alinea kujalani dengan mata Dari baris ke baris kusisir dia Sampai perih pelupuk mataku Sehingga berkunang-kunang pandanganku Matahari terbit dan matahari tenggelam Bulan sabit lahir dan bulan purnama silam Ternyata memang di antara renggangnya baris itu Di sela-sela semua alinea Di antara paragraf yang ada Huruf enam itu membayang jadi kata Kata k-o-m-i-s-i itu memang ada
Ada!
IV
Mesin pembangunan menderu dan menggegar-gegar Digegarkan oleh komisi Mesin besar ini meraung dan menggetar-getar Digetarkan oleh komisi Sumbunya licin berputar-putar Diputarkan oleh komisi Jenteranya berkisar-kisar lancar Dilancarkan oleh komisi
Pak ketipak ketipung Pembangunan lancar sekali Pak ketipak ketipung Gara-gara banjir komisi
Setelah berpuluh tahun mesin besar ini berfungsi Lalu melahirkan berlapis generasi komisi Geng perantara, broker, pengintai proyek, pencium tumpukan uang Mereka juragan berumur 30-an, 40-an, 50-an, 60-an dan 70-an Makelar berbagai ukuran bising saling bersaing Tengkulak tamak bergigitan dan bercakaran Fanatikus fundamentalis pembangunan tak ada tandingan Sekaligus ekstrim kiri, ekstrim tengah dan ekstrim kanan Fasih GBHN berikut petunjuk pelaksanaan Dan UUD ’45 dengan cuma satu tafsiran
Pak ketipak ketipungPembangunan lancar sekaliPak ketipak ketipungGara-gara banjir komisi
Tapi kata Suap dan Upeti sejak awal interaksi selalu dihindari Karena kedua kata itu nista dan jauh dari kategori gengsi Oleh generasi komisi itu, yang memborong nikmat sebutkan semua sisi Segala yang melibatkan inspeksi, evaluasi dan barang mesti dibeli Apa saja yang memerlukan kalkulasi, perizinan dan pembuatan Segala yang menunggu disposisi, konsesi dan persetujuan Apa saja yang melibatkan kontrak tertulis dan tanda tangan Semuanya pasti akan masuk wilayah mutlak monopoli Geng perantara, broker, penerkam proyek, pencium tumpukan uang Makelar berbagai ukuran bising saling bersaing Tengkulak tamak bergigitan dan bercakaran Grup vokal yang bernyanyi pop dangdut mantera pembangunan Kualifikasinya perkoncoan, hubungan darah dan ideologi rupiah Fanatikus sila pertama Keuangan Yang Maha Esa
Pak ketipak ketipungPembangunan lancar sekaliPak ketipak ketipungGara-gara banjir komisi
Maka dengan mata pedih kami amati sepenuh kesaksian Dua puluh ribu kali matahari terbit dan tenggelam Pembuatan semua gedung pemerintahan, pusat perdagangan Perkantoran, kampus dan sekolahan Konstruksi jalan raya, jalan layang, jalan tol Properti, real estat dan perhotelan Pembelian senjata, kapal terapung, kapal bawah lautan Penyedian satelit angkasa dan tanker minyak samudera Pabrik penggilingan gandum, tekstil, karet sintetis Kilang pupuk, semen, kabel, pembatikan, dan petrokimia Bisnis pertambangan, industri kecil, perkebunan, kehutanan Usaha agribisnis, kayu lapis, horikultura dan angkutan udara
Ee ya eyoo
Ee ya iyii
Pembangunan lancar
Karena komisi

Kata Suap dan Upeti sejak awal interaksi selalu dihindari Karena kedua kata itu cemar, tak bergengsi, tak serupa komisi Dan generasi komisi negeri kami telah menukilkan nama mereka Tak kepalang tanggung dalam sejarah kriminologi dunia Generasi dengan penampilan penuh sofistikasi dan elegansi Kawanan juragan ketajaman visi dan selektif dalam diksi Generasi mark up enam sampai sembilan angka nol tanpa risi Merekalah tukang potong berapa sen dolar per barrel minyak bumi Juragan komisi tak sekutu malu mengaku jadi pengusaha mandiri Merekalah penembak hewan buruan dari atas kuda berlari Generasi main layang-layang di lantai sepuluh gedung yang tinggi Bersikap sangat manja dan kuasa, apa yang disebut mesti jadi Pelanggan setia kasino mancanegara semua format dunia judi Generasi tukang sadap sepertiga pinjaman dari Bank Dunia Merekalah tukang sulap angka bantuan mancanegara
Ee ya eyoo
Ee ya iyii
Pembangunan lancar
Karena komisi

Inilah generasi yang telah mencatatkan rekor sejagat raya Dalam Olympiade Komisi pemegang Trofi Dunia 20 tahun lamanya Inilah Geng Perantara, The Kickback Mutual Admiration Society Makelar besar, Makelar Tersebar dan Makelar Gergasi Penjambret dan Tukang Tadah yang rapi bersinergi Jaringan Distributor, Grosir dan Pengecer komisi Pengintip Proyek, Penerkam Proyek dan Pelapah Proyek Kanin Sejati Si Hidung Pesek Bulldog Pencium Tumpukan Uang Lihatlah ludahnya berceceran berserak kiri dan kanan Gelambir pipinya longgar berguncang-guncung Rasa takut dipancarkan cukup dengan menggeram-geram Dia tak menggonggong, tapi gigitan taring tajam dan dalam
Ee ya eyoo
Ee ya iyii
Pembangunan lancar
Karena komisi

Generasi komisi ini pengagum dan peniru Amerika Teladan mereka geng abad 19, Tweed Ring di New York sana Komisi 65% sekali sikat, dibagi-bagi empat pejabat kotapraja Yang paling dahsyat 5 juta dolar satu proyek sabetannya Dibagi-bagi antara Tweed, Connolly, Sweeney dan Hall namanya Generasi ini penjiplak tipu-menipu bisnis dan birokrat Amerika Proyek pembangunan rel kereta api jadi teladan mereka Satu mil rel $30.000, naik jadi $50.000, naik lagi $60.000 biayanya Komisi guna menutup mulut anggota DPR $ 450.000 besarnya Untuk rel kereta api beratus-ratus mil membelah benua Inilah pelajaran dari The Great Train Robbery sangat berguna Bahan studi dan referensi sebuah generasi komisi Para juragan Indonesia peniru apa saja aroma Amerika Dalam gaya hidup materi, boros konsumsi, sekolah anak-anaknya Kecuali demokrasi dan trias-politikanya
Pak ketipak ketipungEya eyo eya iyiiPak ketipak ketipungNasib bangsa jadi begini
V
U-uk baru terbangun sore masuk senja Sesudah puas tidur seharian lamanya Maklumlah kerjanya malam sama saja Sibuk menonton pertandingan bola Piala Dunia “Bagaimana kabar, bang,” tanyanya pada saya, “Sudahkah ketemu yang dicari-cari lama?”
“Baru ketemu, memang dia sebuah kata luar biasa,” bersemangat kata saya
Kemudian menjawablah U-uk secara longgar saja “Ah, apa yang luar biasa. Kata itu merajalela sudah lama Berlindung di belakang dan atas nama saya Lebih dari tiga puluh tahun lamanya Masa baru tahu sekarang saja Abang ini naif ‘kali, ya?
Dan inilah hal terakhir sangat pentingnya Abang kulihat tak kunjung paham-paham juga UUD ’45 itu dalam implementasi sudah sangat lama Adalah singkatan dari Uang Uang Dasar ‘45"
Mulutku ternganga mendengarnya “Ya, begitu fakta prakteknya Uang Uang Dasar ‘45 Itu sebabnya komisi tercantum jelas di halaman pertama.”
1998 
________________

UUD 45

Di negeri tempat pada yang serba sakti Ada saja orang masih percaya UUD ’45 sudah lama dilantik jadi semacam Dewa Mata rabun menyangka dia memancarkan kesaktian Dari dia mantera pembangunan digumamkan Dalam paduan suara yang penuh keteraturan Haram ada penjamahan, apalagi pelengkapan Amanat dari penyusunnya dilupakan Dia harus disempurnakan Tapi dia jadi Kitab Steril yang dibebas-hamakan Dia bahkan dinaikkan eselon jadi Tuhan Kepadanya secara periodik sesajen dihidangkan Anak-anak kecil sampai anak-anak berkumis dipertakut-takuti Pikiran mereka dibekukan dan dibebalkan Ketika 25 pelanggaran dilakukan terang-terangan*) Laras pestol ke tengkuk oposisi ditodongkan.

1998
*) (Deliar Noer, 1995)
________________

Disumpahi Jabatan
Burung tekukur menyampaikan bunyi
Yang bagaimana manafsirkannya
Bila bergesekan dengan semak ilalang di ujung halaman
Yang tumbuh liar, mempermainkan cahaya
Di beranda pendopo rumah seorang pensiunan
Lihat dia sedang menghitung perimbangan
Huruf hidup dan huruf mati, dalam ucapan
Sementara anak-anaknya mengikat gugusan kata benda
Di atas meja ukir kayu jati marmar bundar bentuknya

“Sesudah ibu kalian tak ada,” kata
Lelaki yang lumpuh kiri itu seraya
Memainkan tangkai rem kursi roda
“Sesalku seperti bayang-bayang tak habis mengejar
Matahari lepas waktu asar
Imaji yang goyang bergoyang secara gaib
Matahari tergelincir masuk magrib
Kursi roda ayah menggulir ke timur mata angin
Pedalaman penuh kabut dan angin dingin…”

Dia menatap anak-anaknya di sekitar meja marmar
Semua siap dengan tameng penangkis huru-hara
Garis-garis fana mencuat dari lampu gantung tua
Berkas guratan yang diikhtiarkannya bulat sempurna

“Sesalku bagai geraham berbisul di distal kiri
Dengan elemen nyeri tak tercantum di senarai patologi
Seraya melepasku memenuhi panggilan bandar udara
Terimalah tembakan mitraliur pengakuan ayahmu ini
Testamenku dulu kubatalkan sama sekali.”

Ke sekitar meja marmar dia melayangkan mata
Semua anak menaikkan tameng penangkis huru-hara
Menutup pandangan agar tembakan tak terkena

“Ayah tak tahan dikejar bayangan ibu kalian
Tentang kebersihan rezeki debat berkepanjangan
Sejak masih hidup, sampai jadi ruh sudah tiga bulan
Dari dulu mamamu tak habis mempertanyakan
Setiap habis mengurus sertifikat atau bentuk usaha apa
Atau ekaun di bank yang menggelembung tiba-tiba
Kami selalu bertengkar diam-diam tapi runcing dan tajam
Kamu semua tak tahu orangtuamu lama terancam perceraian
Tapi selalu mengalami penundaan demi penundaan
Sungguh semua itu sandiwara nyaris sempurna
Menunggu dulu anak-anak selesai sekolah
Lalu menunggu anak-anak selesai kuliah
Kemudian menanti anak-anak satu-satu menikah
Lalu menunggu datangnya cucu-cucu
Yang ternyata setiap satu lucu-lucu
Sementara itu karir ayah melesat maju
Eselon demi eselon, jabatan dami jabatan
Lalu meja kerja yang masuk dalam fokus tembakan
Di kabinet, sebuah kursi jati ukiran, seperti sudah disiapkan
Kalian jangan terkejut ibumu apa kalian kira gembira
Jangankan sujud syukur, dia malah istigfar tiga kali
Mas, kata ibumu, aku khawatir jangan-jangan kamu nanti
Disumpahi jabatan.”

Ke sekitar meja marmar dia melayangkan mata
Semua anak menurunkan tameng penangkis huru-hara
Membuka pandangan menatap mata ayah mereka

“Kata ibu kalian, keluarga kita sudah terlampau kaya
Sebagai pegawai negeri, sangat menyolok mata
Walaupun ditutup-tutupi ketahuan senantiasa
Ketika bermuka-muka tentu orang enggan bicara
Waktu itu pada ibumu ayah marah luar biasa
Isah, jangan itu diulang juga, ayah berkata
Di semua eselon kawan-kawanku berbuat serupa
Yang lebih menyolok lagi banyak pula
Tetapi ibumu membantah tetap berani saja
Cuma di depan anak-anak kami seperti tak ada apa-apa
Tapi di dalam kalbuku pergolakan luar biasa
Kemudian ibu kalian meninggal tiba-tiba.”

Burung tekukur kini berbunyi-bunyi lagi
Pesan apa dari pohon sawo dan semak ilalang ini
Keletak kuda andong dan bel beca yang aneh sunyi

“Testamen ayah dua tahun lalu, kini kubatalkan total
Rumah di Kemang, Bintaro, Blok M, Tanah Sareal
Jalan Den Pasar, Warung Buncit, Menteng dan Kuningan
Usaha pom bensin, apotik, bengkel mobil dan percetakan
Angkutan antar pulau, helikopter berikut konsesi hutan
Jasa asuransi, rumah produksi lalu studio rekaman
Ruko, rental video, kios internet yang disewa-sewakan
Pabrik kosmetik, jamu tradisional serta biro konsultan
Tanah di Pluit, Karawaci, Bogor Baru dan Batam
Deposito di Jakarta, Singapura dan Amsterdam
Delapan atau sembilan perusahaan berbentuk saham
Apartemen di Johor Bahru, San Francisco dan Boston
Yang semuanya akan kalian terima sebagai warisan
Kini aku batalkan secara keseluruhan
Dan penjualan itu semua disegerakan
Sekitar satu triliyun dalam taksiran penjumlahan
Lalu pikirkan cara kepada bangsa dikembalikan
Dan jangan satu rupiah pun singgah ke tangan kalian.”

Burung tekukur, sepasang, mengirimkan bunyi
Hinggap pada cakrawala suara tanpa bayang-bayang
Pesan apa dalam panorama ketika ditanyakan makna

“Kini berikutnya inilah yang ayah risaukan
Tentang asal usul pembiayaan pendidikan kalian
Bertujuh anak bertahun-tahun dikirimkan
Ke Pantai Barat, Pantai Timur, Texas dan Michigan
Ibumu dulu sebenarnya tak setuju modus begini
Karena terdedahnya nampak jadi menyolok sekali
Kalian memegang kartu kredit emas bahkan nyetir Ferrari
Demikianlah kalian dapat S-1, S-2 sampai Pi-Eic-Di
Semua berasal dari dana taktis, hasil Komisi dan Upeti
Sangat jelas tak mungkin berasal dari struktur gaji
Ayah sebenarnya lebih memajukan kepentingan diri sendiri
Rahasia negara bagi ayah kecil tak berarti
Selama itu bisa terhadap mata uang dikonversi
Rakyat pun hanya kata benda dalam kalimat melengkapi
Ayah menerima kickback dengan mata tertutup kanan dan kiri
Dari para pemasok proyek bertimbun-timbun hadiah dan upeti
Ayah bekerja tidak jujur tapi berhasil mengkreasi imaji
Citra pekerja keras, lugu dan populis sejati
Tapi di muka ibumu ayah tak bisa berpretensi
Dan ibumu tak bangga kalian sekolah di luar negeri
Dan untuk membersihkan kekotoran rezeki ini
Ayah tak mungkin mengembalikan dengan bekerja lagi
Ayah minta ampun dengan istigfar Nabi Yunus beribu kali
Semoga ayah terlempar ke luar dari sumur dalam segelap ini…”

Ketika semua anak-anak menitikan air mata mereka
Mendengar pengakuan sang ayah yang begitu terbuka
Aib keluarga yang disimpan sudah demikian lama
Kini sunyi penuh tensi diisi cahaya datang dari mana
Berbunyilah burung tekukur mungkin dengan  makna
Sang ayah capek bicara, terkulai di sandaran kursi roda
Ketika itulah Maut pelahan melayang membawa nyawanya.

1998 
________________

Ketika Sebagai Kakek di Tahun 2040, Kau Menjawab Pertanyaan Cucumu
Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu
Bersama beberapa ribu kawanmu
Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju
Bersama-sama membuka sejarah halaman satu
Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru
Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru
Terpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluru
Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu
Dihajar dusta dan fakta dalam berita selalu
Sampai kini sejak kau lahir dahulu
Inilah pengakuan generasi kami, katamu
Hasil penataan dan penataran yang kaku
Pandangan berbeda tak pernah diaku
Daun-daun hijau dan langit biru, katamu
Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu
Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu
Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu
Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu
Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu
Dan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu
Maka kami bergeraklah kini, katamu
Berjalan kaki, berdiri di atap bis yang melaju
Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dulu
Memasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu
Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satu
Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu
Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu
Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu.

1998 
________________

Pegawai Negeri
Setiap kami menyaksikan berbagai penghargaan diberikan
Di istana negara, dalam macam-macam upacara
Satu saja yang tak tampak di layar kaca
Penyerahan medali dan selempang warni-warna pada

Pegawai  Negeri
Paling        Jujur
Tahun           Ini

Wakil dari mereka yang tak pernah kecukupan dalam rezeki
Wakil dari mereka yang sudah luluh dalam keluh
Anak-anak berlahiran juga, nafkah selalu payah
Dalam pemilihan umum selalu diancam macam-macam
Tak pandai ngobyek, tak disertakan dalam proyek
Dalam kalkulasi hidup mana pernah bisa cukup
Tapi ajaib tak sampai terdengar bergeletakan kelaparan
Ada saja jalan keluar yang meringankan beban
Anak-anak pun tahu diri orang tua pegawai negeri
Susah payah sekolah dan kuliah, dan kok ya jadi
Insinyur, dokter, pengacara, S-dua dan Pi-Eic-Di
Lumayanlah, walau tak sangat banyak barangkali
Apabila di dunia ada tujuh macam keajaiban
Maka fenomena pegawai negeri sini mesti yang ke delapan
Menurut teori mutakhir administrasi dan metoda renumerasi
Mestinya di awal karier dulu dari dunia sudah permisi
Memang ada yang terlibat proyek dan bersiram komisi
Tapi itu ‘kan jumlahnya terbatas sekali, yakni
Mereka yang berkerumun di sekitar keran pembangunan

Selebihnya hidup rutin ya begitu itu
Dan pastilah ada juga yang jujur secara sejati
Yang membuat lentur tegang-kakunya prosedur
Bukan mempersukar-sukar, justru memudahkan urusan
Yang betul-betul melayani rakyat, bukan budak kekuasaan
Yang susah payah istikomah di dalam kehalalan rezeki
Yang menahankan pedihnya susah nafkah
Yang masih saja bisa bertahan dilanda arus materi
Mereka tak tampak oleh mata kami
Mereka bukan tipe mengeluh-mengadu ke sana ke mari
Mungkin karena maqamnya sudah mirip orang sufi
Siapa tahu mereka lah sebenar penyangga struktur ini
Yang begitu lapuk rayap dan roboh sudah mesti
Tapi sampai sekarang masih juga berdiri
Mereka sungguh kami hormati
Terutama para guru yang begitu sabar menyebar ilmu
Dan semua yang berdedikasi sejati di struktur birokrasi
Masih tetap bertahan diterjang gelombang hidup serba materi
Kalian tidak nampak, karena memang merundukkan diri.                                     

1998 
________________

V.O.C
Melintas di Rijswijk dalam lompatan kuantum serasa
Siapa bila yang menetapkan nama rentang ini Djalan Segara
Dalam lalu lintas antara sepenuh warna dan gambar sepia
Tersebutlah V.O.C. yang tidak semata singkatan nama
Vereenigde Oost Indische Compagnie. Dari abad lama
Simakkan telinga derap kereta kuda di jalan berbatu kota Batavia
Beralih tiba-tiba adegan kemacetan kendara di Jakarta Kota
Kantor V.O.C. arsitektur Eropa begitu kukuh dahulu kala
Pelahan fade in berubah rupa jadi Bina Graha
Dengan konstruksi sebuah republik khatulistiwa
Tampak depan kantor dagang kekar bentuknya
Tampak dalam kukuh formasi serta fondasinya

Lalu elang laut melayang dari muara sungai ke pelabuhan
Dan kawanan unggas berhinggapan dari hutan ke perkebunan
Nyanyian perdagangan, reglement, di belakangnya popor senapan
Semua hasil bumi, rempah dan belasting dihisap ke pusat di Batavia
Berkat raja-raja Jawa, kapiten Cina serta centeng kota dan desa
Sesudah ditabuh genderang perdagangan sebagai panglima
Dan politik jadi hulubalang pengawal sangat setia
Kalam berdawat mencatat kolom kiri-kanan dan jelas saldonya
Kapal laut layar-banyak, memuat jarahan menyeberang samudera
Abad lewat abad, bangunan demikian kokoh ajaib roboh
Keropos di dalam, tipu-menipu, saling mencopet sesama Belanda

Elang laut lihatlah kembali melayang dari muara sungai ke pelabuhan
Kawanan unggas berhinggapan dari hutan ke perkebunan
Belibis tegak-tegak di kawasan kilang minyak, putih sangat bulunya
Semua hasil bumi, tambang dan pajak dihisap ke pusat di Jakarta
Lintah raksasa saksikan berdenyut-denyut sedotan darahnya
Daerah asal dibagi hasil seujung jari kelingking kaki kirinya
Bina Graha yang bakhil kedekut, puncak tamak gurita loba
Kuasa Raja Jawa, juragan Cina, bisnismen bermacam bangsa
Maskapai seribu-muka spesialis dalam mematok tarifnya
Nyanyian perdagangan dan regulasi dipahatkan di popor senapan
Excel mencatat setiap fluktuasi harga dan jelas gergasi labanya
Lewat jaringan saiber jarahan melesat pindah tak tampak mata
Bertalu ditabuh genderang perdagangan sebagai panglima
Dan politik jadi hulubalang pengawal sangat setia

Dekad lewat dekad, bangunan demikian kokoh ajaib roboh
Keropos di dalam, tipu-menipu, hutang menggunung tanpa malu
Kantor abad lama V.O.C. pindah ke abad baru Bina Graha
Kendali politik negara berbanding lurus kalkulasi bunyi sipoa
Tak peduli gulden namanya atau pula sebutlah rupiah
Belanda kah Melayu kah, bila berkuasa sama payah serakah
Di depan gardu seorang pejalan kaki lihatlah dia meludah.

1998 
________________

Brazil Lawan Belanda
Ketika pertandingan delapan Juli Brazil lawan Belanda
Saya lah penonton peragu tak bisa tegas memihak mana
Saya suka Brazil karena sama-sama negara blok ketiga
Kecantikan permainannya terkenang-kenang senantiasa
Tapi suka juga Belanda karena merah putih warna seragamnya
Icak-icaknya PSSI yang masuk perempat final Piala Dunia
Lalu saya memihak Brazil karena sama-sama punya hutan rimba
Tiba-tiba saya sedih karena hutanku dibakar hangus membara
Lantas kupihaki Belanda karena pada Ajax dan Feyenoord saya terpana
Oper-operan bolanya kencang, tak pernah ragu, berbentuk segitiga
Tapi lihat Ronaldo gundul, kaki kirinya menyurukkan bola gol pertama
Stadion hampir pecah karena penonton Brazil meledak gembira
Hati saya menyebelah pada kesebelasan Amerika Latin ini pula
Cuma ketika pemain hitam membobol gawang balasan Belanda
Patrick Kluivert dengan sikap badan indah menanduk bola
Saya pun tak urung pada adegan puitik itu terpesona
Begitulah bolak-balik pendirianku pindah ke sini dan ke sana

Lalu kuperhatikan cara anak-anak Brazil itu mengoper-oper bola
Yang semua orang bilang itu adalah gaya Samba
Aku tak melihat itu. Pernyatan itu dilebih-lebihkan saja
Sebuah kata sifat perlu untuk gaya permainan mereka
Jadi dipas-paskanlah irama terkenal negeri mereka lagu samba
Begitulah kuamati selama 3-4 pertandingan Piala Dunia
Misalkan PSSI masuk ke perempat final sejagat raya
Karena gesit, kencang, banyak gol dan terkenal ke mana-mana
Cara oper-operan bola PSSI pastilah gaya dangdut namanya

Setelah perpanjangan waktu tibalah tendangan penalti dua kali lima
Bagi penonton fanatik ini tes berat kestabilan jiwa
Tak baik bagi jantung lemah dan pengidap tekanan darah
Tapi adegan tegang ini bagi saya oke-oke saja
Karena saya tak berpihak pada salah satu dari yang dua
Atau karena berdiri di tengah, berpihak pada kedua-duanya
Kalau mau sastra terdengarnya, ya berpihak pada puitika sepakbola

Demikianlah, ringan saja kotonton enam gol berikutnya
Inilah adegan penalti gergasi dalam sejarah Piala Dunia
Semua ingat tendangan Ronaldo, Rivaldo, Emerson dan Dunga
Dan Var der Sar yang kerja keras menjaga gawang negerinya
Dan Claudio Taffarel kiper pahlawan menepis dua tembakan Belanda
Lalu stadion Marseilles yang nyaris belah karena sorak gempita
Kostum berwarni-warna, pipi bercat warna bendera negara
Inilah adegan musim panas pantai Eropa Mediterania
Lapangan hijau rumput sintetis di sebuah kota selatan Perancis
Lelaki-lelaki Brazil, berteriak tak habis, bertelanjang dada
Gadis-gadis jelitanya, bergoyang menarikan samba gembira
Bendera mereka dan gendang ditabuh tak putus-putusnya
Sementara pemain Belanda berjalan keluar lesu bersama
Bendera merah-putih-biru tertunduk letih pula
Para penonton Tanah Rendah itu mengemasi kesedihan bangsanya
Dan lihatlah Mario Zagallo, pelatih Brazil itu menyeka mata
Bersama Pele dulu dia, veteran pendekar di lapangan bola
Pele, penyair besar Brazil yang menulis puisi dengan kakinya
Dan stadion itu alangkah tertib beradab suasana penontonnya
Yang kalah tak bringas marah, melempar ke sana dan ke sini

Demikianlah saya menonton semifinal Piala Dunia di TV Singapura
Seperti empat tahun yang lalu, kebetulan di kota yang sama
Di rumah sastrawan Suratman Markasan, ada Danarto juga
Sambil mengunyah kacang Mexico pistachio, kegemarannya
Keesokannya ketemu Djamal Tukimin, penyair Singapura asal Jawa
“Bagaimana demo mahasiswa di Jakarta, kok sepi-sepi saja?”
Saya pun menyahut asal jawab sekenanya
“Mahasiswa tidur sampai siang, ngantuk nonton Piala Dunia,
Jadi sampai habis pertandingan final, kau tunggu saja.”

1998 
________________

Surat Mobil Paman Si Toni
Ton,

Berhati-hati dalam bersikap dan berucap itu biasakan
Di peralihan pemerintahan yang dalam konfigurasi kekuasaan
Belum jelas, bagai merenungi buah catur di papan
Berpikirlah dalam delapan kemungkinan langkah ke depan
Dan posisi skak-ster, selalu dikhtiarkan

Bugatti 1929 dua kursi dua pintu tanpa atap, Citroen 11 CV 1930-an front- wheel-drive rem hidraulik mesin 1302 cc; Benz 1905 “Taurenwagen” 40 tenaga kuda empat kursi tanpa atap; Austin 1954 A 30 dua pintu setir kanan 803 cc; kamu tahu ini semua sudah ada Pakde masih penasaran Ford 1915 model “T” belum dapat-dapat sudah mengejar-ngejar sampai tahun keempat tapi keluaran 1926 nyaris sama boleh juga masih tawar-menawar dengan relasi  pakde di Colorado sana

Kamu jangan terlibat demo langsung begitu
Apalagi dalam perencanaan strategi macam-macam ini-itu
Informan akan mengawasi dan mencatat namamu
Bukan saja adresmu tapi juga silsilah dan biodatamu
Jangan nyetir ke luar rumah Mazda atau Honda Civicmu itu
Dalam kerusuhan massa resiko dilempar atau dibakar besar
Kalau terpaksa ya pakai hardtop tua saja
Yang suka sok-sokan naik atap mobil ‘kan mahasiswa
Walau hardtop, kalau dinaiki sepuluh orang bisa jadi peot
Hindari pula konser musik di lapangan terbuka
Massa bisa beringas dan sekali ada yang menyulut
Blup! Terbakar lalu main lempar-lemparan
Mobil kamu yang diparkir kacanya konyol berpecahan
Mengindari resiko, naik saja taksi meteran

Kumat Pakde sudah agak reda tidak sangat tergila-gila pada model coupe- cabriolet yang atapnya bisa dilipat ke belakang gaya tahun 1920-an tapi stabil double berlina yang langsing panjang itu begitu chic bagaimana bisa melupakannya belum lagi landautte dua kursi beratap lipat-pasang wah  alit  dan begitu selesai dalam perfeksi, jadi toni, Pakde sangat bahagia kamu ikuti nasihat Pakde studi disain industri maka di semester tahun 1999 ambil S-2 di mana kamu mau you just name it pelajari katalog lovejoy tahun akademik akan datang yang Pakde sudah kirimkan masa depan industri otomotif bukan pada mesin tapi pada disain sekali lagi pada disain bodi maka ton kejar ilmu disain industri otomotif dan kamu sejak kecil sudah Pakde perhatikan kreatif menggambar kamu ‘kan dulu mau masuk senirupa gila apa bakatmu belum tentu selutut affandi, sadali, zaini atau basuki hari depan nanti susah duitnya susah sudahlah

Susahnya lagi kamu sekarang aktif dalam gerakan
Ya bolehlah sementara untuk beberapa bulan
Seperti katamu hitung-hitung cari pengalaman
Tapi jangan terlalu menonjol usahakan
Pakde khawatir kalau sainganmu pegang kekuasaan
Kamu nanti sengsara habis ditekan-tekan
Sori ya, memang ini generasi Pakde punya kesalahan
Kami mewaris-wariskan politik kedendaman
Tapi Pakde ‘kan tak mau jadi korban
Catat di saat gawat Si-Ai-E pasti melibat
Sebagai Siskamling Dunia yang kurang pekerjaan
Dengan pesuruh mata-mata lama algojo pejagalan
Pembantai sangar jagoan dalam diteil perencanaan
Rapi tersembunyi dalam eksekusi pelaksanaan
Dan Pakde tak mau kamu di pinggir jalan jadi korban

satu Mercedes Mannheim produksi 1931 75 tenaga kuda mobil sport dua pintu berhidung panjang; dua Jaguar merah padam SS90 karya William Lyons dengan garis kontur sangatlah elegan; tiga Ferrari 5125 Speciale yang didisain Pininfarina dengan kemiringan 78 derajat edan-edanan; empat Lamborghini Diablo kuning bening berpintu gulotin dari 0 sampai 97 kilometer per jam dalam empat detik pertama dengan kecepatan setan

Karena ketagihan koleksi mobil begini gila
Kamu tahu Pakde sampai cerai dengan Budemu sudah lama
Mungkin karena kami tak punya anak juga
Kamu tahu Pakde tersinggung betul pada suatu ketika
Budemu bertanya tentang halal-haramnya rezeki dan harta
Bukan saja bertanya malah menggugat pula
Budemu ‘kan tahu suaminya Pejuang Empat Lima
Dan kalau aku berbisnis ketika boom minyak dunia
Mengatur tanker, gas bumi, konsesi hutan dan tambang lainnya

Wajarlah kalau Pakdemu jadi sangat kaya
Wajar ‘kan Ton, wajar saja di dunia kesatu kedua atau ketiga
Argumentasi logis ini Budemu itu tidak bisa terima
Sampai-sampai titik airmatanya
Ya itulah, sehingga ketika ultimatum ditembakkannya
Pilih koleksi mobil atau pilih dia
Kamu sudah tahu putusan Pakde pada akhirnya

Keponakanku Toni
Orde boleh datang orde boleh pergi
Presiden bisa tumbang presiden bisa berdiri
Pakdemu selamat karena profil rendah sekali
Inilah rumus kehidupan camkan dalam di hati
Hiduplah pragmatis, sesekali saja kutip filosofi

Kau tahu Pakde menikmati hari tua jauh di luar kota
Di tempat koleksi mobil tersembunyi dan terpelihara
Kau pernah lihat basement parkir luarbiasa lapangnya
Tapi Pakde sangat khawatir pada kecemburuan mata
Mudah-mudahan barang kesayangan Pakde selamat saja

Semuanya ini Toni, untukmu bila Pakde mati
Surat wasiat sudah Pakde tulis dengan rapi
Tersimpan di bank dalam kotak sekuriti
Pengolah kata Macintosh dokumen dilaminasi
Dan uang tabunganku yang tersembunyi di empat negeri
Berapa trilyunnya kau baca saja di testamenku nanti
Sementara itu Toni, ambil S-2 disain industri
Khususkan otomotif jangan yang lain lagi
Di Stanford, Cornell atau Em-Ai-Ti
Lalu jangan kepalang teruskan S-3 sekali
Tulislah tesis tentang interior kayu jati
Yang serba plastik kini mesti diganti
Apalagi di mobil ratusan ribu dolar sangat tidak serasi
Polypropylene selama ini terlalu dominasi

Toni,
Peluk cium dari Pakdemu ini
Kirimlah pamanmu fax sekali-sekali.

1998 
________________

American Corruption Watch
Si Toni mendarat musim panas 1998 di pelabuhan Manhattan Bersama delegasi berdiri di tepi kapal di pagar haluan Masuk perairan New York disambut lambaian Patung Kemerdekaan Pelabuhan kecintaan penyair kenamaan Walt Whitman
Sembilan burung camar di permukaan laut berlayangan Udara panas bergetar lembab cuaca berkilauan Pencakar langit berbaris tinggi rendah dari kiri ke kanan Begitu mendarat mereka berangkat ke ibukota Di-Si di selatan

Delegasi America Corruption Watch bersemangat empat lima Di ibukota bertanyalah Department of State lewat jurubicara “Mengapa ikut campur urusan kami bapak-bapak dari Indonesia Apakah anda sudah jadi Siskamling Dunia?”
Menjawab si Toni ketua delegasi, dia orang masih sangat muda “Itu betul bahkan kami juga Hansip Antarbangsa Pos Komando RT Belahan Utara / RW Benua Amerika Kegiatan ini adalah karena kami memang tak ada kerja
“Jadinya sibuk mengurus negeri lain 10.000 kilometer jauhnya Di samping itu sebagai negara Indonesia telanjur adidaya Kemana-mana mengajarkan Hak Asasi Manusia Bagaimana bertata cara budi pekerti yang mulia.”
Jurubicara kulit pucat itu merah mukanya: “Janganlah bapak mengajari kami akhlak utama Bagi bangsa saya moralitas itu sangat luhur letaknya Maaf, bukankah skandal di pendopo istana Jakarta Akhirnya sesudah berdusta, kepala negara mengaku juga Yang melibatkan Genduk Meniko tebal rambutnya?”
Menjawab si Toni II bergaya lumayan arogan:
“Di negeri saya moral syahwat tidak jadi persoalan
Kalau diisap cerutu kepala negara jadi kecanduan
Itu masalahnya sendiri secara kepribadian

“Terserah pula mau sistem borongan atau ketenganJangan diaduk-aduk soal moral dengan perpolitikanYang penting warga kami makmur tak ada pengangguranSedangkan di Amerika ini depresi moneter sudah 12 bulan
“Di layar TV kami lihat rakyat kalian antri roti berdesakan
Orang dilucuti kerja sampai berjumlah jutaan
Mahasiswa berdemo besar-besaran setiap akhir pekan
Begitulah akibat salah urus yang berkepanjangan.”

Mendengar ini jurubicara Deparlu tiba-tiba merendah diri:“Salah urus negara memang itu soal gawat kamiTapi tolonglah dana bantuan pinjaman Ai-Em-Ef dicairkan diniJangan biarkan rakyat Amerika sengsara sangsai begini.”
Si Toni III, kedua tangan berkacak pinggang berkata:
“Soal Ai-Em-Ef soal Bank Dunia
Masalah kurangnya roti dan hilangnya lapangan kerja
Organisasi Ei-Si-Dabelyu kami tak ada tanggung jawabnya

“Dari jauh-jauh kami datang ke sikaMau memantau langsung koruptifnya AmerikaMenghajar birokrasinya memutar telinga swastanyaMemang kerja kami mengorek-korek aib ini bangsa
“Untuk itu kami dengan LSM sini kerjasama LSM kulit hitam dari Louisiana LSM kulit merah dari North Dakota LSM Chicano dari South California Majalah Time, SeCond dan Editor yang dicabut SIUPP-nya Semua kami guyuri rupiah besar jumlahnya.”
Jurubicara State Department mengeluarkan perkataan: “Dos pundi, woalah kepriben to mas, cara anda menyikapi persoalan Bahasa badan yang menyolok kok digunakan Di sana sini, maaf, terasa berlebihan arogan Begitu jauh mendalam hobi sampeyan campur tangan
“Mentang-mentang sudah 222 tahun merdeka Dan kini Indonesia satu-satunya negara adidaya Kami Amerika ‘kan merdeka baru 53 tahun saja Ukuran kalian tak kena, kepada kami kalian paksa”
Si Toni IV bersemangat melakukan penyelaan: “Hey bagaimana tidak kena? Dan ini bukan paksaan Nilai-nilai ini universal, man Universal, man.”
Jurubicara Deparlu Amerika, pernah bertugas di Tanah Sunda: “Kiyeu kang, Indonesia teh, memang sejak 1776 sudah merdeka Proklamasi Amerika, ‘kan baru tahun 1945 saja Tapi kalian menuntut ukuran HAM sederajat setara Begitu juga tingkat korupsi disamakan pula
“Ini jauh, atuh, di luar garis keadilan namanya Jadi kalau kalian gigih mau memeriksa kami juga Ya jajarkan Amerika 1998 dengan Indonesia 1829 saja Ketika keduanya sama-sama 53 tahun merdeka Baru parameternya kena dan setara.”
***
Sementara itu suhu panas akan sangat jauh bepergian Dan musim gugur bersiap-siap merontokkan dedaunan Membagi warna cokelat, merah dan kuning ke hutan-hutan Serangga menggerik dan unggas bersiul bersahutan
Cuaca berkaca di termometer pelahan menurunkan angka Lihat penyair rambut perak Robert Frost di rimba berkereta kuda Malam beribu juta serpih putih turun ke bumi tanpa suara Begitu banyak jawab tersedia tapi kenapa yang kucari tanya
* * *
Delegasi America Corruption Watch dengan semangat empat lima Sibuk mengurus negeri lain 10.000 kilometer jauhnya Mengemasi pakaian dalam, mencucikan dan menjemur semua Saban sebentar memberi wawancara di media massa
Setelah tentang parameter kedua pihak saling setuju Bertukar dokumen lah Deparlu dan Ei-Si-Dabelyu Dihitung-hitung jumlah halamannya dua ribu Dan diangkut dengan dua van berwarna biru
Masing-masing lalu mempelajari dengan teliti Perangai generasi revolusi kedua negeri ini Kemerdekaannya satu deklarasi satu proklamasi Presidennya pernah sama-sama politisi Pernah pula satu anggota ABRA yang satu anggota ABRI Yang fenomenal 32 tahun, woalah ngger, kok lama sekali Keduanya membangun lancar diminyaki Komisi Keduanya mengkampiunkan diri demokrasi Keduanya menindas bangsa sendiri Ladang pembantaian susah dihitung di kedua negeri Kulit merah ditenggaki alkohol dan dikelabui Keduanya sama  land grabbing, satunya slavery Sayup-sayup di telinga John Brown digantung berani menyanyi
Si Toni I, Toni II, Toni III dan Toni IV termenung bersama Orang State Department termangu-mangu juga Sesudah mempelajari bahan demikian banyaknya Kearifan bertumpuk-tumpuk di atas meja kerja Tiba-tiba jurubicara Deparlu bergurindam dua baris saja
“Kok sabana sayang sabana cinta
Uruih lah kampuang awak barasiahkan palanta.”

Dan delegasi Ei-Si-Dabelyu mendengar jadi terpana Karena makna gurindam Minang samar-samar saja Mereka minta diterjemahkan dengan segera
Sinar laser ditembakkan ke langit tiba-tiba Di atas sungai Potomac berderet alfabet bercahaya Kata demi kata hingga lengkap semua
TRUE PATRIOTISM HATES INJUSTICE IN ITS OWN LAND MORE THAN ANYWHERE ELSE (so Clarence Darrow said)*)
Lalu delegasi empat Toni saling bertanya
“Klarens Dero, saha eta Jelema ti Tasik, meureun nya?”
***
Musim semi membebaskan cuaca dan kawanan insekta Berlompatan dari dahan ke dahan unggas dengan seratus suara Paru-paru dipenuhi aroma dan semua terasa jadi ringan Kini kuisap angin dari Kanada di tepi danau Michigan
Puisi-puisi alit Emily Dickinson, kini lah saat tepat membacanya Seumur nenek dari nenekku dia tapi bau tubuhnya betapa remaja Teka-teki kehidupan perempuan Puritan, sampai sebagai bisikan Selalu saja ini saat kasmaran menjelang musim panas Indian.
1998

*) Pakar hukum, orator dan pengacara terkemuka  Amerika, Clarence Darrow (1857-1938), lahir di Ohio, meninggal di Chicago. 
________________

Cek Kosong
dari Nurcholish Madjid
tahun itu kau catat itu tahun paling sihir di bagian dunia kita berjuta orang serempak membubuhkan tanda tangan di sudut bawah cek sebuah bank bangsa secara sah dan dengan sangat riang menghadiahkannya selepas sebuah gergasi tembus ditikam di medula oblongata sehingga nafasnya terceguk-ceguk lalu dia gelepar menggelepar terbanting-banting dan raib ditelan pasir berputar dan kau dengar kami sampai serak menyanyi Sorak-sorak Bergembira dan cek itu diisinya selesa luar biasa nolnya luar biasa banyak nolnya lu-lu-luar biasa pa-pa-panjang nolnya sementara mata kita diperciki lalu disiramnya pasir pembangunan dan sihir tahunnya sangat berkepanjangan.

1998 
________________

Demokrasi
pah pah kok papah orasi ngotot begitu amat sih dengarkan juga kami-kami ini dong mbok yo sing sabar ngono to pak tos sabaraha tahun nya bapa teu nyetir ha iko apak lah tigo puluah sambilan tahun indak manjalankan oto daddy daddy your democracy license expired in the fifties dad in the late fifties

pah pah papah ambil ujian SIM lagi dong jangan malu-maluin keluarga sampeyan niki karepe menang dewe piye to pak aih urang mah ari demokrasi terpimpin demokrasi pancasila sarua keneh ha rombak majelis buek pamarintah samantaro apo rasian anarki ko daddy daddy are you making a complete guided democracy cycle to collective dictatorship or what

pah pah ujian ambil SIM demokrasi yang sabar makan waktu luama yang kompromi dengar 100 pendapat partai orang coba bikin pemilihan umum lurus takda bunuh-bunuhan tanpa sandiwara penghitungan suara woalah piye to ngger ngger bakatmu nek slonong ngono yo angele ora jamak aih aih urang mah asararipuh pisan ha sutan baa ko ka ditaruihkan juo barang ko daddy daddy please listen

pah pah ujian SIM demokrasi papah mau nyogok lagi?

PAH!
1998 
________________

Miskin Desa, Miskin Kota
Kakekmu di zaman Jepang kena kudis dan beri-beri
Bengkak di kaki, kelaparan dan mati

Beribu kami mengais
beribu pula mengemis

Keluarga kita di zaman PKI makan bulgur kuda
Panen sedesa dilindas cuaca dan hama
Bu-likmu, misanmu, semua mati muda

Berpuluh ribu kami mengais
berpuluh ribu pula mengemis

Tahun ini lagi kita ditebas kesengsaraan
Negeri rubuh, kasau-jeriau dan pagu dapur berantakan
Sesabar-sabar makhluk makan angan-angan
Jam berdetak, angin lewat di atas tungku penjerangan
Di halaman depan menanti keranda ke kuburan

Tak terhitung kami mengais
tak terhitung  pula yang mengemis.

1998 
________________

Remah
Di atas truk, dari karung jatuh bertetesan
Di lantai bak, beras di sana-sini berceceran
Cuaca gudang tengah hari atap seng seperti api
Beras tiga genggam dicakar-cakar dengan sapu lidi

Berempat anak di balai-balai duduk
Menjilati piring kaleng hingga terbungkuk
“Jangan sampai ada remah tersisa,”
kata ibu mereka, tadi siang mengais-ngaisnya.

1998 
________________

Mana Aku Kenal Rakyat Itu
Siapa itu rakyat? Di mana alamat mukim mereka, bagaimana potret nafkah mereka, tunjukkan konfigurasi kesehatan mereka, tolong perjelas status mutakir demografi sesungguhnya,
Karena itu di masa puncak kelaparan saya dengan ringan bisa makan di pesta perkawinan yang satu porsi tagihan lima puluh ribu rupiahnya, setara untuk mengisi perut 50 orang miskin perkotaan dan pedesaan, dengan musik Kopi Dangdut bising memecah gendang telinga,
Siapa itu rakyat? Kalau tak silap rakyat adalah kumpulan selugu-lugu wajah, gampang dibariskan, mudah dicatat sebagai sederetan angka, menerima saja dihujani sejuta kata-kata dengan perangai tak banyak tingkahnya,
Karena itu di waktu satu bangsa ditebas sengsara saya enteng-enteng saja melahap daging bulat smorgasbord Skandinavia dan rijstafel Hindia Belanda seporsi seratus ribu rupiahnya, setara untuk melepaskan pedih lambung sekali makan 100 orang miskin kota dan desa, sementara daun telingaku di acara ulang tahun itu dipijat-pijat lagu Kukuruku Amerika Latin yang merdu itu,
Siapa itu rakyat? Di mana kawasan geografi mereka, bagaimana lapisan asli populasi mereka, peragakan patologi pencernaan mereka, lalu perinci naik-turun tensi rohani orang-orang itu yang sesungguhnya,
Sebagai penimbang rasa betapa saya luar bisa pendusta.
1998 
________________

Legasi
“Kalau dia hidup, seratus delapan puluh umurnya tahun ini,” ujarmu terpesona sepanjang hiruk-pikuk repetisi Dan di tanganmu berkibar secarik panji-panji Dikenal sangat lama warna bandana, slogan dan teriakan Karena di titik absis-ordinat 0 ini kau memerlukan sebuah peran Di bawah dan di atas tanah gerakan bersama kawan-kawan
Kalau dia hidup, umurnya tahun ini seratus delapan puluh Dan yang kau baca itu naskahnya ditulis berdua ketika masih tiga puluh Sahibnya, dua tahun lebih muda, menafkahinya penuh Bergelora, egaliter, masuk akal, populis dan romantis Strategi selalu tersembunyi, front kebangsaan dan aliansi taktis Berikut selimut penyamaran dan penyangkalan lapis berlapis
Lapis terluar dengan lapis berikut mana saling bersentuhan Molekul sel beratus bertautan dalam histologi anyaman Inilah fisiologi subversi dalam sejarah tak ada tandingan Di kawasan Ji-En-Pi tinggi dan keadilan benar ditegakkan Ideologi ini gulung karpet dan jadi bahan tertawaan Tapi di negeri represi dan di kuduk mendingin laras senapan Tempat orang sangat lapar dan sangat kenyang tak bersentuhan Tumpak bumi subur adegan pertentangan dan kebencian Sejarah mengulang siklusnya tanpa sekelingking rasa keraguan
Kalau dia hidup, umurnya tahun ini seratus delapan puluh Dia heran sendiri di jagat ini idenya Serba Materi begitu berpengaruh Struktur boleh runtuh, tembok Berlin sepanjang itu bisa rubuh Tapi ideologi tak mati, tanpa tubuh kaki ke mana terus berlari Bila pengalaman dibagi teori tak pernah cocok diimplementasi Kau tetap tak mau menyeka itu garis bekas ingus, kanan dan kiri.
1998 
________________

Mencatatkan Kerinduan
kepada Bimbo
setelah 25 tahun
lirik dituliskan

Sam, tolong catatkan kerinduanku
Pada daun-daun pohon jati
Cil, tolong catatkan kerinduanku
Pada nelayan laut sunyi
Jaka, tolong catatkan kerinduanku
Pada kata si rendah hati
In, tolong catatkan kerinduanku
Pada penangkap ikan dan 25 Nabi

Adalah sunyi sipres tua
Ada pula awan bulu domba
Adalah anak tak putus bertanya
Ada pula serangga berkata-kata
Adalah merdu Daud burung-burungnya
Ada pula dedahanan berkosakata
Adalah tongkat nabi Musa
Ada pula eling Ranggawarsita
Ada sakratulmaut di mana dia

Dari seribu kerinduan berapa kiranya
Yang Dikau berikan
Dari sepuluh kerinduan
Manakah kerinduan
Yang bersangatan?

1998 
________________

Si Toni Berdebat Mengenai Sistem Mengemis Antri 20.000 Kilometer Atau Tengkurap Digorok Upeti
Si Toni I berdiri di depan cermin merenungi identitas diri
Si Toni II berdiri di depan cermin merenungi identitas diri
Wajah peminjam dengan sikap jiwa peminta-minta
Wajah pengemis terdesak meminjam berapa saja
Atau gabungan sedikit banyak dari keduanya

Mereka, muda-muda, tak suka itu semuanya
Tapi cermin ini berterus-terang juga

Si Toni I tak percaya dengan cara yang lama
Setiap pinjaman bocor di jalan sepertiga
Daripada menambah kaya mereka yang bertengger di atap negara
Kini dia kerahkan orang-orang berjuta antri  
Dari Lapangan Monas ini menuju Nineteenth Street di Di-Si
Tempat  Ai-Em-Ef dan World Bank berkantor di dua sisi
Dua puluh ribu kilometer jaraknya dari sini
Dua ratus juta orang antri bersama jalan kaki
Menyeberang Pasifik sudah dibikinkan jembatannya
Kalau satu menit satu orang dilayani di loket sana
Tiga ratus delapan puluh tahun bisa selesai urusan semua
Bersih tanpa potongan pinjaman sampai ke kocek keluarga

Si Toni II tak setuju dengan cara kolosal radikal begini
Dua ratus juta orang bila sama-sama bergerak antri
Panjangnya itu satu seperempat keliling bumi
Bagaimana dengan logistik perjalanan begitu lama
Itu harus dipikirkan oleh 76 presiden Indonesia
Yang mati dan lahir di jalan sangat repot mengurusnya
Sudahlah tekan perasaan, tutup mata pada kebocoran
Berapa dulu ditilep, sepuluh persen?
Bisa jadi dua puluh, bahkan kalau diperas terus
Paksa saja rakyat tengkurap sampai tiga puluh
Picing mata tuliskan laporan yang tertutup transparan
Sangkal secara meyakinkan mana ada kebocoran
Sumbang yayasan-yayasan ini dan itu
Beri upeti semua yang dirasa perlu
Sebuah orde bisa berangkat, sebuah orde boleh mendarat
Tapi ‘kan birokrasi itu juga tetap masih jadi aparat
Jadi urusan yang identik sama masih jadi hakikat

Maka lihat si Toni I dan si Toni II tak habis berdebat
Alternatif satu dan alternatif dua pilih yang mana
Karena alot dan panasnya diskusi jadi mampat
Dan belum sampai juga pada kesimpulan bagaimana.

1998 
________________

Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis, Lalu Kalian Paksa Kami Masuk Penjajahan, Kata Si Toni
“Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri
Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan
Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami
Sejak lahir sampai dewasa ini
Jadi sangat tepergantung pada budaya
Meminjam uang ke mancanegara
Sudah satu keturunan jangka waktunya
Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula
Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni
Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi
Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini
Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi
Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia
Kita gadaikan sikap bersahaja kita
Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta
Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka
Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita
Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia
Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama
Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia
Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi
Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri
Sambil kepala kita dimakan begini
Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti
Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi
Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni
Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama
Menggigit dan mengunyah teratur berirama

Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi
Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini
Bagai ikan kekurangan air dan zat asam
Beratus juta kita menggelepar menggelinjang
Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang
Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya
Meminjam kepeng ke mancanegara
Dari membuat peniti dua senti
Sampai membangun kilang gas bumi
Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi
Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi
Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri
Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis
Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis
Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa
Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa
Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya
Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami
Kalian lah yang membuat kami jadi begini
Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi
Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini.”

1998 
________________

Proklamasi Generasi Si Toni, Tertua 30 Tahun
I

Di Depan Media Massa Cetak dan Elektronik Dunia

Atas nama rakyat empunya Indonesia
Yang berumur 30 tahun dan lebih muda
Dengan ini resmi kami bubarkan Republik Indonesia
Beserta seluruh perangkat pemerintahannya

Negeri ini menyatakan diri bangkrut secara keseluruhan
Yang patut dipertahankan dari A sampai Z tak ada lagi
Percuma kerja lama tambal-menambal dan sulam-sulaman
Kami tenun kini paradigma kain, kuat dan baru sama sekali

Dengan ini hutang yang dibuat generasi tua
Kami batalkan semua dan selama-lamanya
Para institusi dunia, kalian pasanglah telinga
Kami batalkan hutang semua dan selama-lamanya!

Kami jatuh sangat miskin tapi tinggi percaya dan harga diri
Dari koordinat nol bangsa ini mulai beringsut lagi
Tanpa mewariskan hutang pada anak cucu kami
Kerja keras menggarap sumber alam dari bumi sendiri

Seluruh jajaran aparat kenegaraan di atas umur tiga puluh
Sudah bersedia berdiri ke pinggir secara menyeluruh
Bangsa kini dipimpin oleh anak-anak muda yang sebenar bersih
Kami muncul lewat tahun-tahun pengalaman yang sangat pedih.

II

Laporan Pandangan Mata Adegan Generasi Tua yang Memalukan

Penyerahan kekuasaan di lapangan Monas ibukota
Hadir bersimpuh di tanah seluruh petinggi penguasa
Mencucurkan air mata semua menyerah kepada yang muda
Akhirnya mereka mengaku tak mampu mengurus negara


Inilah adegan komikal sekali gus betapa mengharukan
Di lapangan luas seperti ribuan kambing menjelang Idul Adha
Gembala sapi gringo gaek berpuluh tahun sesak nafas kekenyangan
Kulit perut terbudur terjuntai membuat malu ikat pinggangnya
Beratus juta ditipu wajah-wajah terpelajar dan bahkan kebapakan
Kalau omong ababnya kosong, kosa kata berjuta-juta

Berpolitik penuh intrik, moordenaar ganas dalam pembantaian
Lihatlah semua cuci tangan tapi darah bepercikan di kemeja
Para peracik tuba pikiran dalam 1000 penataran
Seperti berisi kaidah ilmu tapi dalamnya sejari saja
Sejak muda sampai keriputan urusan duit lincah cekatan
Referensi suci mereka Uang Uang Dasar Empat Lima

Perencanaan dan visi mereka seperti tinggi penuh sofistikasi
Tapi implementasi di lapangan, kerja bandit Sicilia sejati
Ekstrim tengah duit-fungsi, menggergasi jadi fanatikus multi-fungsi
Bagai haus air lautan tak tertahan berwindu minum lagi minum lagi

Hasil bumi, tambang dan hutan daerah disedot pusat keserakahan
Semua pelaku di atas sana kecuali tanpa, kaya harta luar biasa
Super spesialis dalam penginjakan dan penekanan
Perubah sejarah penghapus nama sangat entengnya
Tukang ancam, pakar penyadapan, cekatan pelarangan
Ahli manipulasi semua laporan tertulis mata-mata

Tukang belah partai, peniup-niup isu, pemecah-mecah golongan
Pencencang demokrasi, penyulap total trias politika
Demikian ringan tak sungkan membagi kursi majelis dan dewan
Karena tak terbantah kursi-kursi itu sejak dulu milik nenek mereka
Sekali lima tahun menipu hitungan suara, kerja para penjahat kambuhan
Sangat terbiasa sehingga wajah mereka tampil tanpa dosa di layar kaca

Kini lihatlah mereka bertobat-sehabis-tobat mengakui ketidak-mampuan
Seraya mengembalikan seluruh rampasan harta benda
Hasil komisi, proyek, mark up, upeti dan jarahan
Saksikan kini ditumpuk di  Monas setinggi Gunung Muria
Rakyat berdiri menonton berjuta-juta, mata mereka kelilipan
Bersimpuh, koor menangis menyerahkan Republik pada yang muda
Berlutut minta maaf kepada rakyat, bertobat nasuha kepada Tuhan
Ternyata tak kompeten berpuluh tahun mengurus ini negara.
III

Konperensi Pers Bangsa yang Total Ambruk, Puing Berantakan

Membuat nama baru bangsa sedang kami pertimbangkan
Nama Indonesia ini ‘kan orang lain yang menetap-netapkan
Hal begini prinsip generasi tua itu tak pernah merenungkan
Nama sendiri pun tak punya, betapa sungguh memalukan

Istilah republik pun gantinya sedang kami pikirkan
30 tahun lebih feodalis-aristokratis melekat citra
Demokrasi dan kebebasan ekspresi cuma kata permainan
Belum ketemu nama yang pas bentuk baru ini negara

Kamilah bangsa termuda di permukaan dunia hari ini
Generasi tua total gagal, mereka rela kini berjongkok di tepi
Payah sangat kami membuat akhlak kembali berdiri
Dan mengembalikan hukum agar kukuh lagi membumi

Karena akhlak rusak hukum mana mungkin tegak
Karena hukum tak tegak keadilan mustahil dijalankan
Secara sengsara beban sebesar ini kami pikul di pundak
Saksikan inilah yang kepada kami mereka wariskan.

1998 
________________

Sersan Hasan
San, aku melihatmu sudah berkali-kali rasanya
Paling pertama ketika masa darurat Clash Kedua
Aku masih kanak-kanak engkau sudah bergerilya
Dulu kau tukang cukur di pasar, ayahku bercerita
Kemudian kulihat kau di sebuah gardu jaga
Terlindung dari terik matahari Oktober lima dua
Di ujung sana tampak meriam tank baja
Belakangan setelah empat belas tahun jaraknya
Aku dan kawan-kawan jalan kaki di Ikada
Keluar dari got, sesudah tembakan mereda
Menghitung barikade masihkah ada gunanya
Kita berselisih jalan, aneh umurmu sebegitu juga
Dari lenganmu selintas kau sersan masih tetap saja
Di tangan kananmu karaben tak ada bayonetnya
Menutup kepala ketat melingkar sebuah topi baja
Badanmu basah keringat, aku begitu juga
Mata kita berpapasan memang mungkin kenal di mana
Kita biarkan pertanyaan mengambang di udara
Lalu ada gulungan kawat berduri setinggi manusia
Dipasang mengancam langit melukai cuaca
Adegan sembilan delapan sore pengap peristiwa
Hasan sahabatku lama, umurmu sebegitu juga
Sekilas kulihat lagi engkau bersikap sempurna
Orang-orang berdemo beribu berteriak membahana
Kau dipungkangi 1000 kalimat bertanda seru mencerca
Tidak menjawab, kau jadi pagar tanpa kata
Matamu jauh memandang menyidik cakrawala
Perlukah aku bertanya masihkah engkau bintara
Dan kabarnya kau tidak lagi tinggal di asrama
Pulang dari tugas letih di batas dewan berjaga
Seragam penuh peluh itu kau lepas semua
Kecapekan duduk berkaos oblong tua
Tanpa karaben kini kau tiba-tiba jadi rakyat biasa
Yang luput dari sudut pandang mahasiswa
Kini kau hirup kopi pahit hangat yang kau suka
Seraya memeluk anak-anak kangen bapaknya
Ada yang memijat betis dan telapak kakinya
“Bapak capek ya,” begitu kata Aisa
Ditindih letih kau tertidur begitu saja
Diam-diam kupotret adegan Hasan sekeluarga
Lewat jendela sepuluh senti terbuka
Dengan sudut pengambilan tak diketahuinya
Dalam puisi 57 baris panjangnya
Dan diam-diam aku beri tabik padanya
Tercatatlah ini sebagai salut kedua
Karena yang dulu kulakukan pertama
Dengan badan tegak dada busung sempurna
Sembilan belas enam tiga tahunnya

Kulakukan itu di sebuah musium perjuangan
Di depan gambar Panglima Sudirman.
1998 
________________

Doa Orang Kubangan
di hilir pemandian masih saja Kau sediakan logam mulia sebagai pancuran dan bejana platina bergagang emas tempat kami membasuh getah membilas dahak menguliti lendir mengikis selaput nanah menyadap barah ludah yang bertetesan berguguran berserakan di genangan yang jadi kubangan menggerakkan cairan isi lambung bertukak insisi pada hepar dijerat lemak dengan aroma yang menggilas dedaunan jadi kuning kering berguguran dan bermilyar insekta bunuh diri bersama

kami pun sejadi-jadi mandi, serasa untuk terakhir kali

setiap kerak lumpur gugur penyesalan macam cengkeram dengan sembilu seribu
ada kultus dinyanyikan ada kultus berbayang-bayang ada pula tiada mana kentara beda lumpur selutut atau luluk bepercikan telah ke tangan dan muka

dan bejana ini kami tating bersama ada hangat air dari mata dan telapak kaki bergerak ke hulu terasa sejuk penuh di atas lantai pualam pemandian dengan air pancuran hening bening bercucuran.

1998 
________________

Sumber: http://taufiqismail.com/