Sunday, April 01, 2012

Puisi - Puisi Langit ~ Taufik Ismail


Menengadah Keatas, Merenungi Ozon Yang Tak Tampak
Langit masih biru di atas halaman dan kampungku
Awan dengan beberapa juta jemarinya,
saling berpegangan bergugus-gugusan
Mereka bergerak perlahan bagaikan enggan
Masih adakah angin yang bertugas dalam keindahan
Aku tidak mendengar lagi suara unggas dan siamang
Seperti di desaku Baruh, di masa kanakku
Kini yang beringsut adalah gemuruh kendaraan
Menderu di jalanan kota besar
Menderu di jalanan kota sedang
Menderu di jalanan kota kecil

Semua berkejaran dalam jalur nafkah dunia
Semua menanam mesin dan menabur industri
Semua memburu panen angka-angka
Bergumam dan menderam dalam paduan suara
Kemudian selesma, bersin lalu terbatuk-batuk
Punggungmu jadi terbungkuk-bungkuk
Siapa yang akan mengurutmu di bagian tengkuk
Danau yang menyimpan warna biru
kenapa engkau jadi kelam dan hijau
Sungai yang meluncurkan air berkilau
Kenapa engkau keruh, suaramu sengau
Hutan yang menutup daratan, perbukitan dan gunung
kudengar tangismu dipanggang nyala api
seraya kesakitan engkau melahirkan
luasan gurun pasir kering kerontang
Mereka menggergaji dua lubang raksasa di atas sana
Terdengarkah olehmu gemeretak suaranya
Pasukan klor yang garang membantai lapisan ozon
Dan lewat sobekan-sobekannya
menerjuni kawah stratosfer menganga

Meluncur-luncurlah gerimis sinar ultra ungu
Menusuki kulit bumi
Menusuki daun-daunan
Menusuki kulit kita
dan mengukir rajah kanker
dengan tinta ultra ungu
Dan makin panaslah kulit bumi
Engkau akan jadi penghuni padang pasir
Aku akan mengukur bentangan kersik membara
Di atas unggun ini
Akan kita kemanakan anak-cucu kita
Bongkahan es di kedua kutub, utara selatan
Dikabarkan meleleh perlahan-lahan
Menggenangi kota-kota pelabuhan
Di atas unggun, dikepung pasang lautan
Akan kita kemanakan anak-cucu kita
Mereka bertanya
Masih adakah angin yang bertugas dalam keindahan
Engkau terpaksalah berkata
Ada memang getar sejuta senar gitar
Tapi kini nyanyian lagu radiasi
Yang melelehkan air mata terlambat sekali
Jatuh membasahi catatan-catatan keserakahan
Ketika semua menanam mesin dan menabur industri
Ketika semua memburu panen angka-angka
Berkejaran dalam jalur nafkah dunia
Lalai membaca isyarat-isyarat demikian jelasnya
Dari Pemilik Semesta yang menitipkan ciptaanNya
Pada kita semua.

1989 
___________________

Membaca Tanda-Tanda
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas
dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita

Ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merindukannya

Kita saksikan udara
abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau
yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil
tak lagi berkicau pagi hari

Hutan         kehilangan ranting
Ranting    kehilangan daun
Daun        kehilangan dahan
Dahan        kehilangan
hutan

Kita saksikan zat asam
didesak asam arang
dan karbon dioksid itu
menggilas paru-paru

Kita saksikan
Gunung    memompa abu
Abu        membawa batu
Batu        membawa lindu
Lindu         membawa longsor
Longsor    membawa air
Air         membawa banjir
Banjir        membawa air

air
mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?

Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu

Allah
Ampuni dosa-dosa kami

Beri kami kearifan membaca
Seribu tanda-tanda

Karena ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kami
mulai
merindukannya.

1982 
___________________

Lingkungan Mati
Kau     sebut orang bicara tentang hijau daunan, rimbun
pepohonan, bermilyar kilometer kubik air yang
memadat, mencair dan menguap, garis gunung dan
lembah yang serasi, komposisi zat asam yang rapi
dalam harmoni,
Tapi     yang nampak oleh mataku orang-orang bertanam
tebu seluas lapangan sepakbola di bibir mereka.
Kau     bercerita orang bicara tentang serangga dan fisika
tanah, unggas dan kimia udara, ikan dan habitat laut-
an, manusia dan tetangganya, bumi dan klimatologi,
Tapi    yang terdengar oleh telingaku adalah serangkai lagu
dimainkan lewat instrumen tua sudah, dan bertabur
debu.
Kau     tulis orang telah bicara mengenai rekayasa genetika
padi dan sapi, penggergajian kayu dan pengedukan
mineral bumi, penyuburan industri dan transportasi,
distribusi laba dan budaya, pemerataan angka-angka
di atas bilangan jajaran kepala demi kepala,
Tapi    yang terasa olehku adalah dusta yang bergincu lalu
ejekan terus-terusan pada kemiskinan, perpacuan
dalam keserakahan, dengan paduan suara pengatas-
namaan dengan penuh keteraturan.
Kau     ingat-ingatkan aku tentang harmoni budaya antara
tetumbuhan – hewan – angkasa – perairan – dan manu-
sia, lalu kau beri aku 1000 kauseri tentang kemanu-
siaan yang adil dan beradab, serta 1000 petunjuk
mengenai sivilisasi yang lestari,
Yang     kulihat di layar kaca adalah hewan diadu hewan
untuk mengeruk isi kantong wisatawan walau itu
jelas melanggar peraturan, manusia diadu manusia
walau itu menghina otak manusia dan menggilas
akal waras, semua itu cuma karena kalap pada
sepotong nama dan serakah pada sejumlah rupiah,
Kau    bercerita tentang orang yang berkata bahwa sesudah
hewan diadu hewan dan hewan diadu manusia
budaya jahiliah diresmikan sah, lalu manusia diadu
manusia bermula dengan pemujaan pada kepalan
dan luas-luas dipertontonkan, lalu naik satu tangga
manusia diadu manusia dengan senjata, naik tangga
berikutnya keroyokan atau pembantaian manusia
pada rakyat sendiri atau bangsa lain, dengan bedil
sundut bom napalm atau hulu nuklir, dengan ciri
kekerasan dan penindasan yang makin naik kelas
dalam kebiadaban, maka paripurnalah perusakan
pada kehidupan lingkungan.
Kau     berkata orang masih juga bicara tentang lingkungan
hidup,
Aneh    ingatanku malah-terpaku kini
pada
lingkungan
mati.
1990 
___________________

Ketika Pratiwi Sudarmono Baca Puisi di Taman Ismail Marzuki
(I)

Di ujung tahun delapan-delapan
Hari Jum’at 23 Desember malam
Dua belas orang ibu-ibu baca puisi
Dulu nama tempatnya Kebun Binatang Cikini
Kini berubah jadi Taman Ismail Marzuki
Bersama para bapanda, ananda dan kaum muda
Mereka memperingati Hari Para Ibunda
Mereka ibu-ibu pendidik, psikolog, ekonom, wartawati
Ustazah, perancang bunga, doktor mikrobiologi
Aktris teater, penerbit, pekerja sosial dan penyanyi
Yang sehari-hari sibuk dengan pekerjaan mereka
Di sebuah kota yang ruwet dan padat keadaannya
Tapi mereka menyisihkan waktu
Untuk Hari Ibu
Dan memperingati dengan bersama baca puisi
Di Teater Utama, yang hampir penuh semua kursinya.

(II)

Puisi yang dibacakan semua karya penyair Indonesia
Tahun 30-an sampai 80-an jangka karyanya
Ada yang mengenai perempuan miskin penumbuk padi
Ada puisi tentang perempuan-perempuan perkasa
Ada puisi tentang ikhlasnya hati ibu-ibu guru
Ada puisi nina-bobo untuk si kecil cindur mata
Yang tidur bersama rama-rama
Ada puisi kasih sayang pada anak sibiran tulang
Ada pula yang meratapi ibu yang selamanya pergi

Kemudian adalah puisi berjudul Nyanyian Para Babu
Yang dimuat dalam buku program malam itu
Istilah babu itu memang kurang enak bagi perasaan
Dan kini diganti, dan dimanis-maniskan
Tapi apakah sikap sudah betul berganti
Atau juga cuma dimanis-maniskan
Ini memang puisi protes bagi perlakuan
Terhadap sebagian besar kaum perempuan
Yang bekerja belasan jam sehari sebagai pembantu
Tak pernah sempat bersatu dalam organisasi Darma Babu
Atau memakai hak berserikat dalam kumpulan Darma Pembantu
Terlewat oleh mata undang-undang
Tersisih di percaturan peraturan perburuhan
Di sebuah negeri yang telah memerdekakan
Diri sendiri
Simaklah kata penyair pembela babu ini:
“Kami adalah sisa-sisa penghabisan
Dan zaman perbudakan
Perkembangan kemudian dari budak belian
Yang terdampar di abad ini dan dilupakan”
Tertusuk ujung jantung oleh puisi
Penyair Hartoyo Andangjaya ini
Ditulisnya sekitar seperempat abad yang lalu
Gemanya begitu keras di gendang telingaku
Darah pucuk aortaku menitik ke lantai Teater Utama
Habis telak aku disindir puisi Hartoyo Andangjaya
Sebelum keadaan rumah orang lain aku cerca
Aku jadi malu pada perlakuan di rumahku sendiri
Aku malu

(III)

Demikianlah semua puisi yang dibacakan
Adalah dalam semangat menghargai para ibu
Yang telah mengandung, melahirkan
Dan membesarkan kita semua

Kemudian tampillah di depan maik, lagi seorang ibu
Sehari-hari kerjanya di laboratorium mikrobiologi
Cantik dan anggun dia, panjang gaunnya
Terpilih mewakili negerinya
Untuk pengembaraan di ruang angkasa
Kelak pada suatu ketika
Kini dia memegang lembaran puisi
Berjudul Manusia Pertama di Angkasa Luar
Ditulis penyair Subagio Sastrowardoyo
Pada tahun 1961
Ketika itu, astronot lebih  banyak ditemukan
Di buku komik ketimbang di dunia nyata
Ketika Subagio menulis puisi itu
Pratiwi masih dalam umur anak-anak
Dan tak terpikir tentu oleh penyair ini
Bahwa seorang calon astronot Indonesia
27 tahun kemudian akan membacakannya
Dan dihadirinya pula

Karena astronot dalam imajinasi Mas Bagio
Adalah seorang laki-laki
Maka berubahlah kata ganti
Dalam puisi yang dibacakan Pratiwi
Dan mari sama kita simak dia kembali. 
___________________

Subagyo SastrowardoyoManusia Pertama di Angkasa Luar
Beritakan kepada dunia
Bahwa aku telah sampai pada tepi
Dari mana aku tak mungkin lagi kembali
Aku ini melayang di tengah ruang
Di mana tak berpisah malam dan siang
Hanya lautan yang hampa di lingkung cemerlang bintang
Bumi telah tenggelam dan langit makin jauh mengawang
Jagat begitu tenang. Tidak lapar
Hanya rindu kepada isteri, kepada anak, kepada ibuku di rumah
Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah
Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu
Dengan membaca dongeng dalam mimpi tentang bota
Dan raksasa, peri dan bidari. Aku teringat
Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari
Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa
Yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya padaku
Yang merasa. Dia kini tentu berada di jendela
Dengan Alex dan Leo, -itu anak-anak brandal yang kucinta
Memandangi langit dengan sia. Hendak menangkap
Sekelumit dari pesawatku, seleret dari
Perlawatanku di langit tak berberita
Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu
Kutinggalkan kemarin dulu?
Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita
Sebab semua telah terbang bersama kereta-
ruang ke jagat tak berhuni. Tetapi
ada barangkali. Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi
yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi
Tetapi aku telah sampai pada tepi
Dari mana aku tak mungkin lagi kembali
Ciumku kepada isteriku, kepada anak dan ibuku
Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang.
Jagat begitu dalam, jagat begitu diam.
Aku makin jauh, makin jauh
Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi
Makin gemuruh.
bunda,
Jangan biarkan aku sendiri.

(V)

Demikianlah Pratiwi baca puisi dengan penuh perasaan
Dia hayati manusia yang mengembara di angkasa
Karena dia sudah lalui beratnya latihan itu semua
Sebagai ibu, telah berlatih berpisah dengan ananda
Sebagai isteri, berlatih berpisah dengan kakanda
Bertarung dalam berbagai andai dan tanya
Di atas sana mana kiblat arahnya
Masalah takdir dan ketawakkalan
Pratiwi jadi sangat dekat pada Tuhan
Dengan penuh emosi dia bacakan itu puisi
Imajinasi jadi penghayatan dalam sekali
Hadirin terpukau menyimak Pratiwi
Semoga kelak ada seorang perempuan Indonesia
Menjelajah di atas sana
Bukan untuk  berbangga-bangga
Tapi untuk kedalaman ilmu
Yang bermanfaat bagi ummat manusia
Untuk itu kita
Berdoa baginya.

1990 
___________________

Malam Seribu Bulan
Malam biru hitam
Di planit tua ini
Ketika margasatwa
Suhu. Suara. Perpohonan
Embun mengendapkan intan
Angin membisiki hutan
Gunung jadi keristal
Bisu,
Sungai-sungai menahan
Napasnya
Sumbu bumi berhenti
Ketika sangkakala angkasa
Ditiup pelahan
Dalam suara
Firdausi
Ketika Mukjizat turun
Ketika Sifat Rahim mengalun
Di planit tua ini
Dan gerbang kosmos
Dibuka
Dalam angin berkelepakan
Sayap-sayap malaikat
Dengan cahaya suarga
Meluncur-luncur
Melinangi bumi
Ketika bulan akan sabit
Dan berjuta bintang
Gemerlap
Dan manusia menangis
Di bumi
Di bawah Nur Ilahi
Pada malam benderang
Ketika margasatwa senyap
Waktu pun berhenti
Embun membasahi dahi
Pohon-pohon menunduk
Wahai:
Mukjizat telah turun
Sifat Rahim mengalun
Lelaki itu
Perempuan itu
Menangis dalam syukur
Berair mata dalam doa
Dalam teduh Mukjizat dan Keampunan
Ketika bulan belum sabit
Ketika malam seribu bulan.

1965 
___________________

Jamaah Baytl-Maqdis
kuda itu telah ditambatkan
di luar
Masjid Paling Jauh Ke Utara
malam pun terselubung
di atas terjal
Dinding Al-Buraq
di atas Bethlehem
yang pulas

para nabi dan rasul
dalam waktu jang lebur
mengelukan
lelaki berkuda itu
mereka berpandangan rindu
dan erat berjabat tangan
dengan nostalgia
mengulurkan titipan tarikhi
insan yang semesta

Ibrahim menyilakan lelaki itu
memimpin ibadat shalat
dua rakaat
seluruh nabi dan rasul
bersaf-saf dalam jamaat Rohianiat
meluluh abad demi abad

dan
berangkatlah
Muhammad
diapit Jibril
dan Mikail.

1966 
___________________

Kopi Menyiram Hutan
Tiga juta hektar
Halaman surat kabar
Telah dirayapi api
Terbit pagi ini
Panjang empat jari
Dua kolom tegak lurus
Dibongkar dari bak pik-ap
Subuh dari percetakan
Ditumpuk atas aspal jalan
Dibereskan agen-agen koran
Sebelum matahari dimunculkan
Dilempar ke pekarangan
Dipungut oleh pelayan
Ditaruh di atas meja makan
Ditengok secara sambilan
Dasi tengah diluruskan
Rambut isteri dalam penataan
Anak-anak bersliweran
Pagi penuh kesibukan
Selai di ujung tangan
Roti dalam panggangan
Ketika tangan bersilangan
Kopi tumpah di atas bacaan
Menyiram tiga juta hektar koran
Dua kolom yang kepanjangan
Api padam menutup hutan
Koran basah dilipat empat
Ke dalam keranjang plastik anyaman
Dia dibuangkan
Tepat pagi itu
Jam setengah delapan.

1988 
___________________

Syair Lima Tahun Anak Asongan
Seorang anak kecil laki-laki
Berdiri di bawah matahari pagi
Matanya silau, kepala tak bertopi
Nanak, di mana kau kini?

Pagi itu, kau masih kelas enam
Mengepit koran di tangan kiri
Melambaikan tangan menangkap rezeki
Nanak, di mana kau kini?

Pagi lagi, kau sudah kelas satu
Kau tangkas berlari di sela kendara
Hidup begitu keras di ujung Jalan Pramuka
Bersaing di bawah terik matahari Jakarta
Nanak, kau kini di mana?

Pagi itu, kau naik kelas dua
Di  bawah pohon kau duduk kecapekan
Dan kulihat kau istirahat baca koran
Tiap lima detik kau hirup debu jalanan
Nanak, kau di mana gerangan?

Pagi lagi, kau cerita kau kelas tiga
Kaki tetap kurus, kecil dan dekil
Terhimpit tiga warna lampu jalanan
Paru-paru muda penuh karbon dioksida
Nanak, kau kini di mana?

Siang itu, kau tak bisa naik ke kelas satu
Tak terbayar, begitu katamu
Kulihat basah kuyup kemejamu
Ini bulan Januari, cuma bukan hujan itu
Tapi cucuran air matamu
Nanak, kini di mana kamu?

1990 
___________________

Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu
Ketika     rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer
dengan suara gemuruh menderu, serasa pasir
dan batu bata dinding kamartidurku bertebaran
di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan
mengepulkan debu yang berdarah.

Ketika     luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan
apelmu dilipat-lipat sebesar saputangan lalu di
Tel Aviv dimasukkan dalam fail lemari kantor
agraria, serasa kebun kelapa dan pohon mang-
gaku di kawasan khatulistiwa, yang dirampas
mereka.

Ketika     kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai
kelakuan reptilia bawah tanah dan sepatu-
sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening
kita semua, serasa runtuh lantai papan surau
tempat aku waktu kecil belajar tajwid Al-Qur’an
40 tahun silam, di bawahnya ada kolam ikan
yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini
ditetesi
air
mataku.

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu

Ketika     anak-anak kecil di Gaza belasan tahun  bilangan
umur mereka, menjawab laras baja dengan tim-
pukan batu cuma, lalu dipatahi pergelangan
tangan dan lengannya, siapakah yang tak
menjerit serasa anak-anak kami Indonesia jua yang
dizalimi mereka – tapi saksikan tulang muda
mereka yang patah akan bertaut dan mengulur
kan rantai amat panjangnya, pembelit leher
lawan mereka, penyeret tubuh si zalim ke neraka.

Ketika     kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al-
Qassem, Harun Hashim Rashid, Jabra Ibrahim
Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang diba-
cakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami
semua berdegup dua kali lebih gencar lalu ter-
sayat oleh sembilu bambu deritamu, darah kami
pun memancar ke atas lalu meneteskan guratan
kaligrafi

‘Allahu Akbar!’
dan
‘Bebaskan Palestina!’

Ketika    pabrik tak bernama 1000 ton sepekan memproduksi
dusta, menebarkannya ke media cetak dan
elektronika, mengoyaki tenda-tenda pengungsi
di padang pasir belantara, membangkangit reso-
lusi-resolusi majelis terhormat di dunia, mem-
bantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser
Arafat dan semua pejuang negeri anda, aku pun
berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at
sedunia: doakan kolektif dengan kuat seluruh
dan setiap pejuang yang menapak jalanNya,
yang ditembaki dan kini dalam penjara, lalu
dengan kukuh kita bacalah
‘laquwwatta illa bi-Llah!’

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu
Tanahku jauh, bila diukur kilometer, beribu-ribu
Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu
Serasa terdengar di telingaku.

1989 
___________________

Kereta Malam Daratan Asia
Ada yang memburu-buru di belakang kereta malam Thai Express
Ada yang yang menembus-nembus di antara jutaan dedaunan
Angin meluncur, mersik gugur, bayang-bayang rawa malam
Serasa bukit-bukit benua
Serasa lewat jembatan tua
Dentang-dentang suara
Ada yang meloncat-loncat di bantalan rel kereta malam
Ada yang menggores garis sinar di atas kelam
Cahaya tak terjangkau, mungkin sebutir bintang yang dilupakan
Ada bulan lepas sabit, tegak lurus atas bukit
Tanah-tanah hitam
Padang-padang lalang
Pagoda-pagoda tua
Siul sunyi
Disini…
Burung-burung hutan
Bunyi air terjun
Warna-warna yang hilang
Warna-warna yang berlarian
Siapa saling mengejar? Kini?
Suara. Warna. Nafas. Cahaya
Musim kemarau yang terlampau keras
Telah singgah di sebuah setasiun kecil
Tak jauh dari danau. Di barat teluk yang menganga
Penjaja yang meneriakkan jajanan
Debu September yang naik perlahan
Ketika tiga rahib, berjubah merah muda, melintas di jalanan
Pecahan-pecahan batu cadas
Sebuah sinyal yang letih
Dan bunyi peluit putih
Ada yang menggariskan jalan paralel ini
Malam diturunkan, bintang-bintang dipasang dan
Angin jadi dingin
Bulan lepas sabit
Pun terbit
Serasa bukit-bukit benua
Serasa lewat jembatan tua
Tanah lalang
Padang habis terbakar
Dentang-dentang suara
Dan garis cahaya parabola, tipis dan tajam
Mungkin sebutir bintang yang kulupakan
Selama ini. Gugus Bimasakti
Lewat jendela kayu jati
Meluncur angin dingin
Ada kesunyian memburu di belakang itu dan
aku merasa
ingin
Menoleh. Tapi adalah kelam jutaan daunan
Serasa mersik gugur
Serasa di atas rawa malam
Menggaris cahaya parabola, tipis dan tajam
Mungkin sebutir bintang yang terlupakan
Selama ini.

Bangkok, 30 September 1967 
___________________

Bangku Tunggu Stasiun Bis Antar Kota
Rupanya aku harus pergi lagi. Sendiri
Kembali duduk di bangku-tunggu malam ini
Sehelai koran sore dan bis penghabisan belum berangkat
Lampu pijar sekian ribu wat, sisa2 lagu
Desafinado
Lalu-lintas mulai surut, malam pun berangkat larut
Kami sama menunggu ini, duduk di bangku kayu jati
Mengenang beberapa nama dan sekian peristiwa
Yang telah dipadatkan dan diberi selaput sunyi…
Tetanggaku gelisah, portir gelisah, siapa lagi resah
Sehelai karcis peron, tadi sore sobek di tengah
Denyut lalu lintas malam menyerap di nadiku
Panas, namun mulai sunyi serta ada yang tak terjawab
Pada bintik-bintik air di pelataran aspal hitam,
rata dan dingin
Setasiun bis ini, terbuka rongga dan dipukul angin
Menganga, tanpa kata, lagu itu pun telah berhenti
Dimanakah jawaban terhadap sunyi? Kubaca langit
Diantara temaram daun-daun asam. Hanya sedikit
Tapi adakah? Benarkah? Dinding kaca loket berkilau
Portir itu mengenakan jaketnya
Pegawai Kotapraja memasang pipa. Mereka tak bicara
Padaku lagi. Mereka memasangkan sekrup-sekrup sunyi
Pada sistim mesin yang kelam ini
Sedangkan sunyi juga tidak lagi
Bicara padaku dengan bahasa itu
Aku tidak peka lagi? Mengapa kesunyian tidak…
Terlalu terlibat diri. Aku harus kini
Mengejar itu sunyi
Sendiri

Apakah ini tiket terakhir untuk tiba besok pagi?
Bukan soal lagi. Perjalanan adalah perjalanan
Dan sebuah sinyal atau pengumuman pengeras suara
Memanggil nama kita
Membacakan baris-baris cuaca
Satu demi satu. Kita berangkat sendiri
Mungkinkah menoleh sempat lagi sekali
Mungkinkah ini tiket terachir

Untuk tiba
Besok pagi
Bumi gemuruh yang sepi
Langit guruh yang sunyi.

1968 
___________________

Penerbangan Terakhir
I

Pernahkah terlintas dalam pikiranmu
Ketika pesawatmu baru lepas landas
Ketika engkau meneguk secangkir air jeruk
Dan kabin dikuasai udara sejuk
Bahwa bersamamu, mungkin di ruang di bawah kakimu
Atau di bagian belakang situ
Ada penumpang ikut melayang
Tapi posisinya terbaring menelentang
Dalam peti yang pengap udara
Dalam struktur yang kedap suara
Hitam atau coklat tua warnanya
Penumpang ini tak kau temukan namanya
Dalam kertas manifes yang biasa
Dia tidak mendapat hidangan makan siang
Atau petunjuk menyelamatkan badan
Karena bagian dunia baginya, selesai sudah persoalan
Tinggal lagi menunggu hari penguburan
Yang masalahnya luar biasa rawan.

II

Kini, pesawatmu melayang dalam tinggi 37.000 kaki
Cuaca musim panas di belahan bumi sini
Pilotmu mengguratkan baris tipis di peta angkasa
Di bawah bulan sabit berumur lima hari
Di atas Lautan Teduh, biru hitam malam hari
Ketika para penumpang sibuk menyelenggarakan gizi
Ada yang mengganyang ayam teriyaki dengan pucuk brokoli
Disusul putik jagung, terung bakar dan potongan roti
Engkau mengunyah ikan kerapu masam dan legi
Sesudah secawan puding kau minta lagi krim dan kopi
Dalam keadaan lezat dan kau lupa segala ini
Di kursi 25 F sebelahmu seorang penumpang
Menepuk bahu kirimu
Engkau tidak merasa itu
Karena kursi itu kosong menurut perasaanmu
Dia menepukmu sekali lagi
Dan kau tetap tak merasa
Ketika tenggorokanmu sibuk mengatur irigasi kopi
Dia pun duduk, tersandar seperti terapung
Ingin berkomunikasi tapi tak bisa, baru dia sadar lagi
Dan ketika kau mengisi formulir bea-cukai dan imigrasi
Penumpang 25 F melongok namamu jelas sekali
Dia mempelajari profil wajahmu sebelah kiri
Engkau kini terengah kekenyangan
Dan mulai mengantuk
Dan seluruh penumpang kompak mengantuk
Dan malaikat melepaskan pasak-pasak pelupuk mata
Dua ratus lima belas pasang mata serempak tertutupnya.

III

Penumpang 25 F bangkitlah pelahan
Ditatapnya adegan tidur yang massal itu
Engkau ditinggalkannya kini
Dia bergerak di gang seolah melayang
Dikawal dua malaikat kanan dan kiri
Diikat dua utas rantai, berayun-ayun
Melewati sebuah tempat tidur kecil
Tiba-tiba terdengar tangis sang bayi
Dia menoleh sekejap
Kemudian di pertengahan jalan
Dia membenam ke lantai
Tembus masuk, ke ruang bagasi
Kini duduklah dia di atas peti-mati
Memandang wajahnya sendiri.

IV

Pesawat menderu di atas Samudera Pasifik
Malam biru hitam, dingin dan dalam
Menembus papan peti mahogani, nampak olehnya
Tangannya bersidekap, kanan di atas yang kiri
Kafan tiga lapis, lutut diikat, rahang dibebat
Kedua matanya berlapis kapas terpejam erat
Dia ingin menghambur masuk ke badannya lagi
Tapi tidak bisa
Rantai malaikat terayun-ayun, berdenting-denting
Sejuta mata rantai, sejuta simpul penyesalan
Betapa inginnya dia membangunkan dirinya sendiri
Dan mengulang semua ini lagi
“Bangun, bangun!’ serunya pada jasadnya
Wajahnya kaku dan dingin, mulai berbau
Matanya dua gumpal kapas, putih dan bisu
“Bangun, bangun!” serunya sedih, seraya memukul peti
Pukulannya keras, bablas ke bawah
Menembus tumpukan kopor penumpang
Dinding perut pesawat
Tersangkut dia di gumpalan awan mengandung hujan
Kedua malaikat menariknya keras
Rantai menegang, meregangnya ke atas
Terbentur di langit-langit proyektor pesawat
Terduduk lagi dia, di kursi deret 25, huruf F
Dilihatnya engkau tidur terteleng miring ke kanan
“Bangun, bangun!” serunya, dikusainya rambutmu
Diguncang-guncangnya kepalamu
Engkau tak merasa itu
Padahal rantai sesalnya terikat di selimutmu
Tetap tak ada yang mendengar
Tiada yang menggeliat
Semuanya tidur di atas lambung yang padat
Sesudah makan bistik Yokohama
Semua pulas, termiring-miring itu kepala
Sesudah nonton filem Amerika
Semuanya jauh melakukan perjalanan
Melalui perancanaan dan pembiayaan
Dengan mata tertutup kedua-duanya
“Bangun, bangun!” serunya
Dia melayang-layang kencang
Di atas 215 kepala penumpang
Seraya menempelengi pipi kiri dan kanan
Tak  ada yang terjaga atau siuman
Dia berhenti dan menggerincingkan rantainya
“Dengar ini, dengar”, serak suaranya
Seluruh bumi dan langit mendengarnya
Kecuali manusia.

V

Tiba-tiba bayi tadi menggeliat
Menangis dengan suara tipis tetapi kuat
Namun orang tuanya tidak terbangun jua
Dia mendekati bayi berpopok putih itu
“Wahai lucunya kamu sebagai bayi…
Dengar dia menangis kini
Seperti pada waktu kontraksi rahim ibunya
Ruhnya itu, yang menangis itu
Dia melejit ke dunia
Dan menangis tersedu-sedu
Semua bayi lahir menangis
Tak ada yang lahir terkekeh-kekeh
Dia tahu sesaknya kelak bernafas menghirup udara
Memarnya lutut merangkak di atas peta dunia
Repotnya menangkap capung beterbangan di halaman
Dan terus-terusan mereguk air lautan
Dan betapa cuek dan luas kuap menganga
Bersenda-gurau dengan umur
Menabung nikmat jangka pendek
Mengunyah-ngunyah daging saudara kandung
Bermain api dengan sesal
Sesal akhir yang tak jelas akhirnya
Wahai ruh bayi
Menangislah keras-keras
Agar terbangun kedua orangtuamu
Dan penumpang bahtera semuanya.”
Maka menangislah ruh bayi itu keras-keras
Kedua tangan yang alit itu seperti terkejang-kejang
Kakinya pun menerjang-nerjang
Suaranya melengking lalu menghiba-hiba.

VI

Tak ada yang mendengarnya
Tak ada yang menyimaknya
Karena semua grrrh, fuuu …
Tak ada yang menggeliat
Karena semua grrrh, fuuu …
Semua tidur terkenyang-kenyang
Sesudah usus ditimbun menu Jepang
Grrrh, fuuu …
Semua pulas, mulut lumayan menganga
Sesudah dipulas mentega Skandinavia
Grrrh, fuuu …
Semuanya jauh melakukan perjalanan
Menggunakan perencanaan dan besarnya pembiayaan
Tapi mata tertutup kiri dan kanan
Grrrh, fuuu …

VII

Seperdua bola dunia, bagai tempurung gelita
Gemuruh mesin pesawat lenyap diserap mega dan samudera
Gelap dan dingin pada ketinggian 37.000 kaki
Penumpang 25 F duduk di luar pesawat
Dia mencangkung di atas atap kelas bisnis
Rambutnya tak kusut, tak sehelai beringsut
Walau angin menyisirnya 800 km per jam
Dia memandang ke depan, seolah mempelajari gelap
Rantainya terjela-jela
Dia sangat ingin menangis
Tapi tak ada lagi persedian air mata
Sepotong bulan berumur lima hari
Mengirim pantulan cahaya lima watt, dari atas sana
Semua sunyi
Semua dingin
Penumpang 25 F, berpeluk lutut di atas kelas binis
Tinggal beberapa jam saja jaraknya
Dari acara penguburan jasadnya
Pada saat itu juga
Mayat-mayat beterbangan di udara
Dalam suatu jaringan penerbangan tak pernah diumumkan
Mereka berpapasan sesama mereka
Mereka tak sempat lagi bertegur sapa di udara
Betapa basa-basi yang percuma
Betapa berat rantai yang mengebat gerakan
Dia melihat ke bawah kini
Semua penumpang bahtera ini
Tidur sepulas-pulas tidur
Betapa sukarnya
Membangunkan mereka
Grrrh, fuuu …
Grrrh, fuuu …

LA-NY, 1988 
___________________

Sumber: http://taufiqismail.com/